Jumat, 26 Desember 2008

A Never Ending Love: Jogjakarta

Bicara Jogja tidak pernah ada habisnya. Dengarlah cerita dan pengakuan Katon Bagaskara ketika menciptakan lagu Yogyakarta yang legendaris ini:

Katon diminta Adi membuat lirik. Dalam pikiran Katon, lagu mestinya berbau latin. Itu berarti ia harus membuat setting kota di mana di kota itu terjadi romantika percintaan seseorang yang lama ditinggalkan kekasihnya. Namun, kota tersebut selalu membawa kenangan indah. Romantika lagu sudah jadi, tetapi kotanya belum terpilih. Konsep awal yakni nama kota yang berbau Eropa, membingungkan Katon.

“Saya lalu berpikir, kenapa tidak kota di Indonesia, namun yang bisa membangkitkan romantisme, dan terpikirlah Yogyakarta. Langsung kebayang Malioboro, Tugu, Tamansari, yang tiap sudut menyapaku bersahabat”, kata Katon Bagaskara.

Jogjakarta, akan selalu menjadi kota yang istimewa bagi orang yang pernah tinggal disana. Dan aku akan selalu merindukan Jogjakarta, dengan segala kisahnya.

Tapi maafkan aku Jogja, aku tidak memasukkan namamu dalam daftar yang harus kukunjungi dalam perjalanan panjangku tahun ini. Bukan karena aku tidak merindukanmu, tapi biarkan rasa rindu ini semakin terpendam dan menjadi dalam, sehingga pada waktunya nanti membuncah menjadi sebuah kemesraan yang tak terlupakan.

Dengarkanlah lagu baru Katon yang berjudul Jogja, Never Ending Love

In the sand
I can see my footprints left behind
Parangtritis waves calling in rhyme

For the longest time
life has been a struggle in the past
Now it’s time to free my soul at last

Between waves chasing each other to the shore
The sound of Gamelan enticing even more
This calm I’ve been waiting for

Letting myself fly
I see all these people passing by
bicycles are everywhere I go

Smiles so beautiful
friendly faces greeting me so nice
My heart’s found its home in paradise

Watch that lady
dancing gracefully
She brings to life the legend of Tamansari
How softly and sweetly
tradition’s calling me

Oh please let me stay
time don’t pass away
I treasure your beauty
day to day

Here peace I can find
leave troubles behind
just this city in my mind

A place that’s so real
and yet makes me feel
like being in heaven up above
Pure white like a dove
a passion deep in my heart

A never ending love:
Jogjakarta
Hoo~ woo~

Deep within my heart will never be apart
Javanese romance enchanting like a dance
Oh.. so innocently tradition’s calling me

~-~

Oh please let me stay
time don’t pass away
I treasure your beauty day to day

Here peace I can find
leave troubles behind
just this city in my mind

A place that’s so real
and yet makes me feel
like being in heaven up above
Pure white like a dove
a passion deep in my heart

A never ending love:
Jogjakarta

Kamis, 18 Desember 2008

Bandung Military Tour



Salah satu sudut bangunan milirer
Selalu menyenangkan jalan-jalan. Apalagi kalau jalan-jalan tersebut dapat memberikan banyak pengetahuan baru. Minggu yang lalu, aku mengikuti acara Militour, jalan-jalan mengintip fasilitas militer yang ada di kota Bandung. Memang, Bandung (Priangan), selain dulunya disiapkan sebagai ibukota Negara Hindia Belanda sebagai pengganti Batavia, juga disiapkan sebagai pusat militer pemerintah kolonial. Maka tidak mengherankan bila di Bandung terdapat banyak fasilitas militer.

Di mulai dari Gudang Utara, yang merupakan arsenal militer Hindia Belanda, perjalanan bermuara di Museum Mandala Wangsit, museum perjuangan Kodam III/Siliwangi. Seperti biasa, militer selalu mengklaim dirinyalah sendiri yang menopang kedaulatan dan pejuang sejati kemerdekaan Indonesia. Istilah seperti “tentara berjuang bersama rakyat”, sering mereka keluarkan daripada pernyataan: “rakyat berjuang bersama tentara”. Seolah-olah merekalah komponen utama perjuangan dulu. Tapi sudahlah, bangunan dan fasilitas militer lebih menarik untuk diamati daripada memikirkan hal itu.


Sayangnya, kita tidak bisa masuk ke dalam instalasi dan fasilitas militer, alasannya sih katanya demi menjamin kerahasiaan Negara (hehehe..padahal fasilitas mereka sudah bisa dipotret lewat Google Earth). Jadi kita hanya bisa menikmati arsitektur klasik romantik dari luar aja. Kalau dari sudut sejarahnya sih ga ada yang menarik menurutku. Bukannya nyombong, tapi aku sedikit banyak tahu tentang sejarah militer di Indonesia, mulai dari KNIL, PETA, dan laskar-laskar rakyat sampai TNI sekarang. Cuman mungkin dengan berkunjung ke tempat-tempat itu, aku ngerasa seperti terlibat langsung dengan sejarah militer Indonesia sendiri.


Alat musik Karinding
Yang menarik bagiku adalah karinding yang dimainkan oleh seorang anggota Bandung Heritage. Karinding merupakan alat musik tiup sederhana yang terbuat dari batang bambu, yang ukurannya kecil sekali, panjang sekitar 10 cm, lebar 1 cm, dan ketebalan 1-2 mm. Ketika ditiup oleh satu orang, suaranya emang lirih dan kecil. Tetapi ketika ditiup secara bersamaan oleh eberapa orang, interferensi suara menghasilkan suara yang nyaring. Menurut pengakuan orang itu, frekuensi yang dihasilkan oleh interferensi suara itu dapat mengusir hama di sawah. Alat musik ini dulunya banyak dimainkan oleh urang sunda saat di sawah. Sambil menunggu sawah, mengusir hama, juga bermain musik dengan karinding. Bayangkan “kebudayaan petani” yang bersahaja dan memiliki kohesi sosial yang sangat kuat. Saat individualisme belum mencemari pematang sawah. 

Keberadaan karinding ini sudah sangat langka, untuk tidak mengatakan hampir punah. Dan sudah jarang sekali orang yang bisa memainkannya. Begitulah nasib budaya kita…Tergusur oleh kekuatan besar yang sekarang lagi dominan: KAPITALISME. Saat kita melupakan karinding, bisa jadi dalam beberapa tahun mendatang Malaysia akan meng-klaim bahwa karinding adalah produk budaya mereka. Siapa peduli?...


Yang tersisa dari perjalanan ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang terkadang klise tapi jawabannya sulit tersedia. Lantas, peran Dinas Pariwisata dimana? Justru kelompok-kelompok masyarakat seperti Bandung Heritage inilah yang memiliki kepedulian nyata terhadap warisan sejarah dan budaya bangsa. Bukankah gila kalau Tommy Winata mau membeli gedung Sabau (bekas gedung Department van Oorlog dan bekas gedung KNIL) untuk dijadikan hotel, dan Pangdam III/Siliwangi mengijinkannya.


Sejarah memang harus ditulis ulang, dengan kajian akademik yang objektif lepas dari kepentingan penguasa. Kenapa? Karena apa yang tertulis dan terpampang di Museum adalah warisan sejarah Orde Baru yang militeristik. Apakah otak dan kesadaran anak cucu kita harus terkontaminasi sejarah yang “bengkok”?

Selasa, 02 Desember 2008

Arti sebuah puncak: Mi'raj menuju kesempurnaan

Apa arti sebuah puncak?
Sebuah puncak adalah sebuah pencapaian akhir dari usaha yang sangat keras
Puncak bukan sebuah akhir dari perjalanan.
puncak adalah sebuah proses.
puncak adalah sebuah perjalanan spiritual
menuju kesempurnaan jiwa dan pikiran

Perjalanan dari mahluk menuju Allah (min al-khuluq ila al-khaliq)
itulah saat kita memantapkan hati, meluruskan niat, membersihkan jiwa, meninggalkan dunia dengan segala hirup pikuknya untuk memenuhi panggilan nurani. Apapun yang terjadi, meski hujan menghadang, puting beliung menerjang, hati yang mantap tidak tergoyahkan membawa kita menuju semesta. Membawa kita berjalan dari alam kemakhlukan menuju alam spiritual.
Perjalanan di dalam Tuhan bersama Tuhan (min al-haq fi al-haq)
saat kita mulai mendaki, itulah saat kita menetapkan sebuah keyakinan. Saat mendaki menuju puncak, terasa sangat berat. Keyakinan telah melahirkan kekuatan untuk terus mencapai puncak. Keyakinan bahwa akan ada sebuah kenikmatan yang tidak terbayangkan saat mencapai puncak. Keyakinan yang mampu membawa kaki-kaki kita melewati setiap tanjakan, tikungan. Setiap langkah kaki kita adalah sebuah keyakinan. Keyakinan itulah hakikatnya. Berjalan dalam keyakinan bersama keyakinan.
Puncak, adalah akhir sebuah perjalanan sekaligus awal perjalanan baru. Puncak adalah hikmah/kearifan (al-hikmah al-muta’alliyah), pencerahan tertinggi (rausyan fikr). Melihat luasnya alam, betapa kerdilnya manusia. Menyadari sepenuhnya kemakhlukan, hamba sahaya sekaligus wakil-Nya di alam semesta ini. Penyatuan dengan Sang Maha Segalanya (liqa ila Allah).
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan (min al-haq ila al-khuluq bi al-haq)
Puncak adalah awal dari perjalanan baru. Awal untuk meneruskan perjalanan turun kembali menuju kemakhlukan dan menjalankan tugas kekhalifahan, bersama kearifan puncak dan pencerahan tertinggi. Maka perjalanan turun kembali adalah sebuah perjalanan suci, dengan kesadaran baru.Bersama Tuhan (liqa ila Allah)pula turun ke bumi bersama semua problematikanya.
Perjalanan di dalam makhluk bersama Tuhan (fi al-khuluq bi al-haq)
Adalah saat kembali dalam masyarakat dengan kearifan. Dengan kearifan itu pula menjalankan tugas kemakhlukan sekaligus kekhalifahan. Menciptakan kehidupan yang lebih baik, kebudayaan dan peradaban tinggi, yang dibangun dengan moral dan etika yang luhur. Menghadirkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Itulah makna sebuah puncak bagiku.
mi’raj menuju kesempurnaan spiritual.
bukan hanya untuk diri kita, tapi juga untuk orang lain
untuk rakyat, bangsa, dan negara




Jumat, 28 November 2008

Makam Sunan Bayat

Gerbang candi bentar menuju Makam
Wali songo adalah sebuah lembaga agama yang menjadi penopang utama kerajaan Demak Bintoro. Anggota dewan tersebut ada sembilan (songo) orang, dan dalam periode tertentu, salah satu anggotanya adalah Sunan Bayat.

Makam Sunan Bayat ada di kecamatan Bayat, kab. Klaten. Makamnya terletak di atas bukit. Kompleks makam Tembayat ini sendiri dibangun sejak tahun 1526 (sengkala: murti sarira jleging ratu) dengan nuansa Hindu yang sangat kental. Jadi lebih tua dari makam Imogiri. Desain kompleks makam ini mengikuti pandangan kosmologis masyarakat Jawa. Begitu masuk, sudah disamput gapura Segara Muncar yang berbentuk candi bentar. Gapura ini sekarang sudah menyatu dengan kompleks permukiman warga dan berdiri di sudut lapangan balai desa.

Agak naik ke atas, kita akan bertemu gapura Dhuda, juga berupa candi bentar. Berturut-turut akan menemui gapura Pangrantunan (kayak nama daerah di buku Nagasasra dan Sabuk Inten) berbentuk paduraksa tanpa pintu, gapura Panemut yang berbentuk candi bentar, gapura Pamuncar seperti gapura Panemut, dan gapura Bale Kencur yang berbentuk paduraksa yang berdaun pintu. Aku belum tahu kenapa gapura-gapura tersebut dinamai demikian. Tapi yang jelas, bentuk arsitekturnya Hindu banget.


Setelah gapura terakhir, kita akan menemui masjid usianya setua usia kompleks makam ini. Ukurannya kecil, bahkan untuk masuk masjid harus menundukkan kepala. Arsitektur majsid jawa dengan 4 soko guru. Bahan kayu yang dipakai untuk sokoguru, pintu, dan jendela masih asli. Bedung yang sudah termakan usia juga masih ada, ditaruh di luar. Setelah gapura Bale Kencur, kita memasuki makam keluarga dan pengikut sunan Bayat. Di kompleks makam ini terdapat dua padasan yang berusia ratusan tahun, yang bernama Kyai Naga. Disebut Kyai Naga karena tempat keluarnya air dari padasan berbentuk kepala naga. Naik lagi ke atas, kita akan sampai pada puncak kosmos pemakaman itu, yaitu makam sunan Bayat. Makam tersebut terletak di dalam sebuah bangunan yang luas dan tertutup (lihat foto bawah), dengan tembok yang tebal. Di dalam ruangan, makam tersebut juga ditutupi oleh bangunan dari kayu, dengan selambu kain warna putih. Sayang aku dilarang mengambil gambar di dalam. Bahkan kita tidak bisa melihat ke dalam untuk melihat makam tersebut. Di sekitar bangunan tersebut juga terdapat senjata tombak dan payung. Mungkin itu adalah pusaka peninggalan Sunan Bayat. Ada sebuah tulisan yang berhuruf Jawa, sayang tidak ada terjemahannya. Aku tidak bisa membaca itu tulisan apa . Mungkin riwayat hidup Sunan, mungkin bisa apa saja.
Tempat wudhu
Sunan Bayat sendiri hidup semasa Sunan Kalijaga (dan Syekh Siti Jenar). Nama aslinya adalah Ki Ageng Pandanarang. Awalnya beliau adalah seorang pejabat tinggi kerajaan dan memiliki kekayaan yang melimpah. Kemudian beliau memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawinya, kekayaannya, dan mengabdikan dirinya untuk syia’ar agama. Beliau menjadi murid Sunan Kalijaga, dan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga diperintahkan untuk berd’awah di daerah Bayat, Klaten. Disinilah Sunan Bayat berda’wah sampai menutup mata. Saat gonjang-ganjing Syekh Siti Jenar, Sunan Bayat masuk sebagai salah satu anggota dalam dewan Wali Songo (baca Syekh Siti Jenar karya Abdul Munir Mulkhan).

Makam Tembayat juga membuktikan satu hal, bahwasanya Islam “ramah” terhadap budaya lokal/asli. Proses da’wah yang asimiliatif, penuh toleransi, dan tanpa kekerasan budaya, ditunjukkan oleh makam Tembayat ini, seperti juga banyak bukti lain seperti Masjid Menara Kudus. Makam ini memberi pelajaran penting bahwa mengajak kepada kepada kebaikan tidak harus melalui kekerasan, pelajaran akan pentingnya toleransi untuk keharmonisan hidup. Makam ini juga menjadi teladan seorang Sunan Bayat yang rela meninggalkan kehidupan duniawi yang penuh kemewahan demi sebuah panggilan nurani untuk kemanusiaan dan pencerahan
.

Selasa, 25 November 2008

Purwokerto, Sebuah Panggilan

Sebuah undangan singkat itu akhirnya membawa kami ke Purwokerto. Sebuah undangan dari kelompok petani yang mengharapkan “bantuan” kami untuk pembuatan biodigester. Ternyata website www.kamase.org sangat efektif untuk membangun komunikasi dengan masyarakat, meski tidak semua masyarakat familiar dengan teknologi internet. Dengan semangat 45, kami datang memenuhi undangan itu, meski belum pernah menginjak tanah Banyumas. Awalnya kami memutuskan ke Purwokerto tanggal 15 – 16 November, tapi karena permintaan yang mendesak, maka kami putuskan untuk memenuhi undangan tanggal 1 – 2 November. Dan berangkatlah kami berdua ke Purwokerto demi sebuah panggilan masyarakat.
Awalnya kami tidak begitu yakin bahwa kami akan bisa memenuhi undangan. Bagaimana tidak? belum apa-apa kita sudah ketinggalan bus yang akan membawa kita ke Purwokerto. Jadinya kita mutusin naik bis ekonomi ke Purwokerto, apapun resikonya, berapapun biaya (waktu)nya. Belum-belum kita udah bayangin betapa stressnya naik bis ekonomi, bukan karena ketidaknyamanan, tapi karena bayangan akan berapa banyak waktu yang kita buang sia-sia karena bis-nya ngetem sana-sini. Sesuai dugaan, bis-nya ngetem di Tasikmalaya sejam, di Banjar setengah jam, di mana lagi aku sampai lupa. Berangkat jam 10 pagi dari Cicaheum, nyampai terminal Purwokerto jam 17.30 sore.
Memang, selama perjalanan kami dihibur dengan pemandangan yang sangat indah. Jalan yang berkelak-kelok, di kiri jalan bukit kokoh menjulang tinggi, kanan jalan lembah dan ngarai yang dalam. Kadang-kadang terlihat hamparan sawah terrasering yang luas, kadang terlihat sungai yang berkelak-kelok. Kadang juga terlihat hutan. Ditambah dengan hujan yang turun seharian, membuat suasana semakin menarik. Kompensasi pemandangan indah menjadikan waktu tempuh menjadi tidak berarti.
Di terminal Purwokerto, kami dijemput ma dua mahasiswa. Satu dari UMP (Universitas Muhammadiyah Purwokerto), dan satunya dari Unsoed (Universitas Jenderal Soedirman). Sesuai dugaanku, mereka aktifis salah satu elemen ekstra kampus. Mereka udah lama kenal dengan pengurus paguyuban petani yang ngundang kami di sana, karena organisasi mereka memiliki kegiatan pemberdayaan masyarakat di sana melalui kegiatan edukasi. Memang seharusnya demikianlah mahasiswa, belajar mengasah kepekaan sosial dan meresponnya untuk mempercepat transformasi sosial, terutama di pedesaan yang transformasi sosialnya lambat.
Berapa lama menuju lokasi? di jalan aku nanya gitu. Kira-kira setengah jam lagi. Ah, syukurlah kalau gitu. Jadi kami bisa segera istirahat. Hari sudah mulai gelap saat kami di jalan. Jalan masih basah setelah siangnya diguyur hujan. Jalan mulai menanjak naik, suara mesin motor menderu seperti merasa berat membawa kami berdua naik. Jalanan benar-benar gelap, kabut mulai turun, jarak pandang terbatas, hanya 3 meter ke depan. Kita benar-benar tidak bisa melihat kiri kanan, yang tampak hanya kegelapan semua. Kondisi ini benar-benar membuat kami musti ekstra waspada. Di tengah jalan, tiba-tiba motor terhenti, karena ternyata kita terjebak tanah longsor. Terpaksa kami nuntun motor sampai keluar dari jebakan longsor, baru melanjutkan perjalanan kembali. Untung kondisi jalan udah mulus. Aku ga bisa bayangin kalau seandainya kondisi jalan rusak parah seperti di daerah Panggang – Gunungkidul. Kami sampai di lokasi setelah menempuh perjalanan selama 1 jam, dengan kondisi seperti itu. Dingin banget.
Ternyata, desa yang kami datangi adalah desa terakhir dan terletak di kaki gunung Slamet di ketinggian 900 m dpl. Desa tersebut berbatasan langsung dengan hutan di sebelah utara. Jumlah penduduk sekitar 200 KK, dan 98% adalah petani dengan tingkat pendidikan yang rendah (rata-rata cuman sampai SD). Sebagian besar pemuda pergi ke Jakarta atau kota-kota besar lainnya mengadu nasib, sementara pemudi dan kaum wanitanya banyak yang menjadi TKI/TKW. Ngga’ heran, meski tingkat pendapatan rendah tapi rumah para petani keliatan bagus dari luar.
Masyarakat masih banyak bergantung pada alam. Sebelum listrik dari PLN masuk, mereka memanfaatkan air sungai untuk membangkitkan listrik. Air melimpah, kayu bakar tinggal mengambil dari hutan. Alam memberikan keberlimpahan, dan mereka memperlakukan alam sebagai bagian dari diri mereka sendiri. Di daerah terpencil ini, ternyata masih ada orang yang peduli terhadap nasib para petani dan warga sana. Selain mahasiswa, para petani di sana dibina oleh seorang alumni Komunikasi UGM angkatan 1993. Komitmennya terhadap pemberdayaan masyarakat di sana sangat tinggi. Malam itu kami bicara panjang lebar tentang pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil, terutama peningkatan kualitas hiudp petani.
Pagi harinya, kami ketemu ketua paguyuban petani di sana. Kami bicara tentang keinginan dan kebutuhan petani disana, danmereka secara terbuka minta bantuan para mahasiswa (kami datang ke sana atas nama mahasiswa, Kamase/Komunitas Mahasiswa Sentra Energi) untuk ikut memikirkan bagaimana mereka bisa mandiri di bidang energi. Ini bukan yang pertama. Sebelumnya mereka udah pernah minta bantuan kepada pemerintah dan lembaga pemerintah lainnya, tapi hasilnya nol. Hanya, sering mereka didatangi oleh banyak lembaga untuk survey (sampe mereka lupa lembaga apa aja yang pernah datang ke sana), tetapi rakyat dan petani di sana ga pernah tahu untuk apa survey itu dan apa tindak lanjutnya. They got nothing, kecuali janji-janji. Dan mereka kayaknya udah jenuh dan bosen.

Setelah ngobrol ma ketua paguyuban, kita melakukan site visit, dimana kita akan membangun instalasi biodigester. Lokasinya lumayan jauh dari permukiman, kira-kira 200 - 250 m, terlrtak di tengah sawah dengan ketinggian lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Tentu saja ini akan jadi tantangan tersendiri bagi kami untuk membuat desain yang efektif dan efisien.
Kami menyanggupi untuk membantu warga di sana. Kami akan menyediakan system dan desain engineeringnya, tetapi untuk masalah implementasi dan pelaksanaanya kami serahkan kepada warga. Inilah pendekatan emansipatif yang sebenarnya, sebuah pendekatan yang mestinya dilakukan dalam proses pembangunan. Selain itu, kami siap mendampingi sampai operasional sistem tersebut, dan kami juga berencana menjadikan desa tersebut menjadi pilot project “Desa Mandiri Energi”. Kami juga akan terlibat secara aktif dalam penyiapan masyarakat (social engineering).
Semoga ini akan menjadi pembelajaran yang sangat bagus bagi mahasiswa, terutama anggota Kamase, agar memahami kebutuhan riil masyarakat, melatih kepekaan mahasiswa (bisa merasa, bukan hanya merasa bisa), dan mau bergulat dengan permasalahan warga, dan yang lebih penting adalah melatih untuk berpikir integratif dan holistis, dengan berbagai sudut pandang, untuk mencapai kearifan puncak sebagai intelektual muda.
Sebelum kembali ke Bandung, aku nyempetin main ke instalasi kincir air pembangkit listrik yang sudah tidak dipakai lagi. Sungguh sangat disayangkan, sebenarnya apabila sistemnya diperbaiki, potensi ini dapat digunakan untuk menggerakkan unit ekonomi kecil dan menengah warga disana, yang aku lihat terdapat penggilingan padi dan usaha koperasi. Setelah itu, kami jalan-jalan menikmati segarnya udara pedesaan dan indahnya pemandangan pegunungan. Ah,,,segernya... Ah, indahnya… Seandainya tiap hari bisa seperti ini.
Matahari semakin tinggi, saatnya kembali ke Bandung. Selama perjalanan ke terminal Purwokerto, kami dapati kenyataan bahwa ternyata jalanan yang kita lewati semalam, yang gelap gulita, ternyata kiri kanan jalan tersebut adalah jurang yang lumayan dalam. Ngeri juga kalau bayangin semalem motor slip kemudian jatuh ke jurang.
Selamat tinggal, Purwokerto. "We shall return", demikian kata Douglas McArthur

Kamis, 20 November 2008

Selamat Hari Pahlawan, Jenderal (bagian terakhir)


Saat agresi militer Belanda II, Soedirman memilih untuk menyingkir dari ibukota RI saat itu (Yogyakarta) dan memimpin perang gerilya, meski sudah diminta oleh Soekarno saat itu untuk istirahat saja di Yogyakarta, mengingat penyakit TBC yang dideritanya dalam masa penyembuhan. Jawaban Soedirman sangat tegas: ”Yang sakit adalah Soedirman, tetapi Panglima Besar tidak pernah sakit”. Sebuah semangat yang luar biasa. Sebelumnya, komando Angkatan Perang diserahkan oleh Soedirman kepada Soekarno sebagai Panglima Tertinggi, untuk melakukan perlawanan. Tetapi Soekarno menolak dan memilih untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Sambil berucap:”Jika Panglima Tertinggi tidak bersedia memimpin angkatan perang, maka komando akan dipegang oleh Panglima Besar”, Soedirman memutuskan menyingkir dari Yogyakarta. Dan dimulailah episode panjang kisah gerilya Panglima Besar Soedirman yang terkenal itu.
Kisah gerilya Panglima Besar mirip kisah pelarian Tan Malaka menghindari kejaran penjajah kapitalis. Selalu berpindah dari satu daerah ke daerah lain, dan tidak pernah lama tinggal di daerah yang ditempatinya. Bedanya, Tan Malaka bila tinggal di suatu daerah dalam hitungan bulan, tetapi bila Soedirman tidak pernah lebih dari satu hari. Bila Tan Malaka menghindari kejaran polisi/intelijen lintas negara (Inggris, Belanda, Perancis, AS), maka Soedirman harus menghindari kejaran militer sekutu disertai pesawat-pesawat tempur yang terus meraung-raung sambil menjatuhkan ribuan ton bom. Tapi Jenderal Soedirman selalulolos dari kejaran musuh, dan tak jarang tentara Belanda hanya menyerang daerah-daerah kosong yang sudah ditinggalkan oleh Sang Jendral. Selama gerilya inilah, dengan sakit TBC yang semakin parah (parunya hanya bekerja satu), Sang Jenderal mengoordinasi dan mengatur angkatan perang RI untuk menghadapi tekanan militer Belanda.
Prinsip Jendral Soedirman jelas: Lebih baik di bom atom daripada merdeka kurang dari 100%. Prinsip ini juga dianut oleh partner sejatinya: Tan Malaka. Maka bersama Tan Malaka (terutama dalam Persatuan Perjuangan), Soedirman menolak semua bentuk politik diplomasi yang tanpa didahului oleh pengakuan kedaulatan sebagai negara merdeka. Karena prinsip ini pula, duet ini sering berseberangan dengan politik resmi pemerintah dan negara. Tetapi karena sebagai Panglima Besar yang harus menyatukan elemen bangsa untuk tetap bersatu, maka Soedirman “terpaksa” patuh dan taat kepada politk pemerintah. Bagi Soedirman, tentara adalah alat pemerintah, maka politik tentara adalah politik pemerintah. Bagi Soedirman, posisi ini tentu dilematis. Di satu sisi harus tetap teguh mempertahankan prinsip, tapi disisi lain Soedirman harus mampu meyakinkan anak buahnya bahwa inilah yang terbaik. Hal ini wajar, karena saat itu moral tentara Republik sedang tinggi-tingginya karena kemenangan di banyak front pertempuran. Tetapi dengan kharisma dan wibawa Panglima Besar, bukan hal yang sulit untuk mendinginkan hati tentara republik.
Ternyata, meskipun hanya seorang guru SD, Soedirman memiliki naluri militer yang tajam. Naluri itu ditambah dengan jiwa kebapakan dan sosial yang tinggi (sebagai aktifis Muhammadiyah dan tokoh masyarakat), menghasilkan perpaduan yang sangat dahsyat sebagai Panglima Besar.
Ada hal yang menarik kalau kita ikuti sepak terjang Jenderal Besar Soedirman. Beliau banyak terinspirasi oleh perjuangan Nabi Muhammad SAW. Ketika pasukan Siliwangi harus ditarik mundur dari daerah kantong menuju daerah Republik, maka Soedirman mengistilahkan dengan “hijrah”, untuk menjaga moral pasukan. Bahkan Soedirman sendiri yang menyambut di stasiun Tugu Yogyakarta. Saat Soedirman terkepung di daerah Jawa Timur, beliau menggunakan trik yang sama dilakukan Nabi untuk melarikan diri, yaitu dengan mengelabui musuh dengan Soedirman palsu. Soeparjo Rustam dan Heru Kesser memakai mantel untuk mengelabui Belanda. Dan memang akhirnya Belanda dapat dikelabui.
Soedirman yang selama Gerilya tidak dapat dikalahkan oleh Belanda, akhirnya harus dikalahkan oleh sakitnya. Tetapi sejatinya dia tidak dikalahkan, karena hanya fisiknya saja yang sakit dan digerogoti penyakit, tetapi jiwa dan semangatnya akan selalu merdeka, bebas, tidak tertaklukkan, dan akan terus menginspirasi generasi muda Indonesia untuk terus mengobarkan semangat pantang menyerah berjuang demi rakyat. 29 Januari 1950, beliau menutup mata untuk selamanya di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Semaki – Yogyakarta.
Perjuangan Panglima Besar seharusnya menjadi contoh bagi kita semua. Pesan beliau yang saat ini kembali populer adalah: “Rakyat tidak boleh menderita, biarlah kami para pemimpin yang menderita”, seharusnya menjadi refleksi bagi para pemimpin bangsa sekarang. Bukannya malah mengumbar hawa nafsu tanpa malu lagi.
Selamat Hari Pahlawan, Jenderal, dari kami yang selalu mengenangmu…
Maafkan kelakuan para pemimpin kami yang tidak tahu malu itu, Jenderal

Senin, 17 November 2008

Tentang Pahlawanku, Jendral Besar Soedirman

Jenderal Besar Soedirman adalah salah satu tokoh yang sangat kukagumi di Indonesia, selain Ibrahim Datuk Sutan Malaka. Kebetulan keduanya merupakan dwitunggal selain Soekarno – Hatta. Kenapa aku begitu mengagumi Panglima Besar Angkatan Perang RI pertama itu?
Soedirman dilahirkan tanggal 24 Januari 1916 di Purwokerto. Soedirman dilahirkan dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan boleh dikatakan dari keluarga tidak mampu. Bahkan mungkin karena saking miskinnya, Soedirman diangkat anak oleh kakak perempuan dari ibunda Soedirman. Kebetulan kakak perempuan ibu Soedirman menikah dengan seorang wedana di daerah Rembang. Karena sejak kecil diangkat anak olehkeluarga priyayi inilah maka Soedirman mendapatkan gelar Raden didepan namanya, sehingga menjadi Raden Soedirman. Meski begitu, kehidupan Soedirman diwarnai oleh kesederhanaan dan kerendahhatian. Ibadah wajib tidak pernah absen, ibadah sunnah menjadi pelengkap ibadah wajib tersebut.
Sebenarnya tidak yang istimewa dalam perjalanan hidup seorang Soedirman muda. Soedirman aktif di persyarikatan Muhammadiyah, organisasi yang dia yakini memiliki posisi dan peran yang strategis dalam membina mental dan karakter serta pribadi masyarakat. Karena itu dia terlibat di Majlis Tabligh dan aktif memberikan pengajian/ceramah di berbagai tempat, mulai dari wilayah Karesidenan Banyumas sampai Cilacap. Bahkan semua dilakukan dengan naik sepeda onthel.
Selain itu, Soedirman muda juga aktif dalam dunia pendidikan. Dia menjadi Guru sekaligus Kepala Sekolah SD Muhammadiyah di daerah Purwokerto. Dia berpendapat bahwa untuk memajukan bangsa yang terbelakang dan membebaskan bangsa yang terjajah adalah melalui pendidikan. Lewat pendidikan pula, dia meyakini kesadaran nilai-nilai kebangsaan dapat ditanamkan. Begitu cintanya pada dunia pendidikan, hingga ketika sekolahnya dijadikan markas oleh tentara pendudukan Jepang, dia berani meminta kepada penguasa wilayah pendudukan untuk memulihkan sekolah lagi. Karena ketokohan Soedirmanlah, Jepang mengabulkan permintaan itu.
Aktifitas Soedirman ditambah dengan kegiatan kepanduan Hizbul Wathan di bawah persyarikatan Muhammadiyah. Aktifitas inilah yang mengenalkan Soedirman dengan disiplin ala militer, sehingga ketika saatnya Soedirman masuk dunia militer, dia sudah tidak asing lagi. Sepanjang hidup Soedirman muda diabdikan untuk persyarikatan Muhammadiyah. Tak heran ketika beliau diangkat sebagai perwira PETA oleh Jepang, beliau sempat menitipkan Muhammadiyah agar “dianget-angetne” (terus dihidupkan).
Semua kegiatan-kegiatan itulah yang membuat Soedirman menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di wilayah Banyumas. Soedirman, yang masih sangat muda saat itu (sekitar 26 tahun) sudah memiliki wibawa, kharisma, dan pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat. Rakyat begitu menghormati dan segan kepadanya, bahkan bagi orang tua yang memiliki anak gadis rela antri agar anaknya mau disunting oleh Soedirman muda saat itu. Tetapi hanya seorang gadis yang beruntung mendapatkanya, yaitu Alfiah, putra seorang saudagar kaya sekaligus teman sekolah dan rekan seperjuangan di persyarikatan Muhammadiyah.
Titik balik kehidupan Soedirman muda berubah saat Jepang menyerbu masuk dan Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Cilacap. Karena kebutuhan perang, maka Jepang membentuk PETA dan membutuhkan orang untuk dilatih sebagai anggota PETA. Soedirman muda (yang saat itu berusia 27 tahun), karena dikenal sebagai tokoh masyarakat direkrut untuk dididik sebagai calon daidanco (komandan batalyon). Soedirman muda kemudian menjalani pendidikan kilat selama 6 bulan di Bogor untuk menjadi calon perwira PETA. Setelah lulus, Soedirman muda menyandang pangkat Kolonel dan menjadi komandan batalyon PETA di daerah Purwokerto.
Setelah menyandang pangkat Kolonel, kharisma dan wibawa Soedirman semakin besar. Soedirman pernah diminta oleh Jepang untuk memadamkan pemberontakan batalyon PETA di Kroya, dan Soedirman mampu melakukannya tanpa sedikitpun darah yang tumpah. Bahkan, karena besarnya kharisma Soedirman, ketika Jepang kalah perang dan menyerah, hanya di wilayah tanggung jawab Soedirmanlah pelucutan senjata tentara Jepang tidak mengalami hambatan yang berarti, dan jatuhnya korban sia-sia dapat dicegah.
5 Oktober 1945, TKR dibentuk. Panglima Besar pertama adalah Supriyadi. Tapi karena Supriyadi tidak pernah muncul, maka panglima-panglima wilayah mengadakan kongres untuk memilih Panglima Besar yang baru. Lewat pemilihan yang demokratis (pertama kali dalam sejarah militer dunia, Panglima Perang dipilih secara demokratis oleh para panglima wilayah), Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar, dan pangkatnya dinaikkan dari Kolonel menjadi Jenderal penuh (bintang 4), dan ini adalah kenaikan pangkat tercepat dalam sejarah militer dunia. Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar dalam usia 29 tahun. Terlihat betapa kuat kharisma dan wibawa Soedirman di mata para panglima wilayah (selain karena faktor persaingan antara perwira PETA vs KNIL).
Di waktu yang bersamaan, sekutu (yang diboncengi NICA – Belanda) sudah mendaratkan pasukan di Semarang dan terus mendesak maju hingga ke Ambarawa (di waktu bersamaan pula terjadi pertempuran hebat di Surabaya). Tujuan sekutu adalah menguasai Jogjakarta, sehingga mereka dapat memutus hubungan antara Jawa bagian Barat dan Jawa bagian Timur. Karena kondisi itu, Soedirman belum sempat dilantik dan memilih untuk memimpin pertempuran menahan sekutu di Ambarawa.
Dengan mengoordinasikan pasukan yang ada di Kedu dan Banyumas (barat) dan pasukan yang ada di Salatiga (timur), dan dengan formasi Supit Urang, Soedirman mulai menahan gerakan maju pasukan sekutu yang lebih berpengalaman dan dilengkapi dengan peralatan tempur yang canggih dan jauh di atas tentara Republik saat itu. Palagan Ambarawa menjadi medan yang sangat berat bagi tentara sekutu. Dalam satu hari mereka tidak pernah berhasil maju dalam jarak 2 km. Karena perang yang berlarut-larut dan logistik pasukan sekutu juga dipotong oleh pasukan Soedirman, maka perlahan-lahan pasukan sekutu mulai menarik mundur pasukannya kembali ke Semarang. Meski korban yang jatuh di pihak tentara Republik lebih banyak, tapi tentara kita berhasil memukul mundur pasukan pemenang perang dunia. Dan kemenangan ini membawa nama Soedirman semakin terkenal dan dicintai oleh rakyat.

(Bersambung...)

Minggu, 06 Juli 2008

Membaca SH Mintardja: Nagasasra dan Sabuk Inten,


Bagi diriku sendiri, mungkin nama SH Mintardja dalam dunia kepengarangan di Indonesia masih kalah moncer daripada nama-nama semacam Pramoedya Ananta Toer, Kho Ping Hoo, sampai generasi Ayu Utami ataupun Jenar Mahesa Ayu. Aku membaca karya SH Mintardja-pun baru-baru ini saja, itupun masih terbatas pada karya Nagasasra dan Sabuk Inten, belum sampai pada Magnum Opus-nya Api Di Bukit Menoreh, sebuah cerita yang konon tidak akan pernah berakhir, karena sang penulis keburu meninggal. Api Di Bukit Menoreh dimuat secara bersambung pada harian Kedaulatan Rakyat.
Membaca SH Mintardja sungguh menyenangkan. Setidaknya, bagi orang yang tidak tahu dan tidak begitu peduli dengan segala macam tetek bengek teori sastra. Apakah sebuah bacaan masuk kategori realisme ataukah surealisme, bagaimana teknik penulisannya. Aku tidak peduli apakah karya tersebut mendobrak pakem dunia kepenulisan, menabrak nilai mainstream, mengungkap tabu, dan tetek bengek lainnya. Aku tidak peduli. Justru menurutku ketidakpedulianku pada hal-hal yang “mengiringi” pembacaan karya sastra itulah yang membebaskan diriku dari beban penilaian, sehingga benar-benar menikmatinya. Seni untuk dinikmati, bukan untuk dibuat pusing J.
Dan menurutku disitulah kekuatan SH Mintardja. Ceritanya mengalir seperti sebuah dongeng sebelum tidur, yang sungguh enak untuk dinikmati. Penggunaan bahasa yang sederhana, mampu membangun komunikasi yang efektif dengan pembacanya (bukankah memang tugas bahasa seperti itu, dan jika bahasa “dimodifikasi” sedemikian rupa sehingga terjadi distorsi pesan, apalah gunanya?). Apalagi cerita yang disampaikan merupakan perpaduan antara patriotisme yang dibumbui oleh percintaan yang romantis tapi tidak cengeng, kombinasi yang menarik bukan?. Dan yang lebih penting, sastra sebagai suara zamannya, yang meneriakkan nilai-nilai kebenaran serta nilai-nilai ideal lain yang harus dimiliki oleh manusia, benar-benar dapat diperankan dengan baik oleh SH Mintardja. Sastra sebagai kritik sosial, sebagai juru dakwah pengingat, benar-benar dapat dimainkan secara apik olehnya. Di pena-nya, nilai-nilai usang menjadi semakin semakin usang. Nilai-nilai luhur mendapatkan kembali posisinya yang mulia. Nilai-nilai lama yang luhur tapi dianggap usang dibangkitkan kembali. Dan itulah menurutku fungsi sastra yang sebenarnya, membangkitkan kesadaran dan nurani yang terlena dan terlelap. Dan SH Mintardja menjadi corong zamannya.
Novel Nagasasra dan Sabuk Inten sendiri, berpusat pada tokoh Mahesa Jenar atau Manahan, seorang prajurit Demak yang meninggalkan kesatrian karena idealisme-nya. Bahwa pengabdian tidak harus melalui keprajuritan (dan birokrasi tentunya), membawanya kepada perjalanan yang luar biasa, sebuah perjalanan untuk menemukan pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Pusaka yang dianggap sebagai kewahyon (bila memiliki dua pusaka tersebut dianggap berhak menduduki tahta sebagai Raja Jawa), telah menyeret pihak-pihak yang berkepentingan dengan kekuasaan pada pusaran konflik yang rumit di penghujung kekuasaan Sultan Trenggono, yang merupakan masa transisi dari kerajaan Demak menuju kerajaan Pajang yang didirikan oleh Mas Karebet alias Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya. Dan sepertinya memang inilah watak negara/sistem kekuasaan tradisional, dimana proses peralihan kekuasaan bersifat cyclic yang selalu disertai dengan kekerasan. Siapa yang jadi korban? Jawabnya jelas: Rakyat (kalau boleh jujur, sebenarnya pelaku sejarah adalah rakyat, bukan para raja dan ksatria).
Perjalanan panjang Mahesa Jenar benar-benar mengingatkanku pada karya klasik dari negeri Tiongkok, Sin Tiaw Hiap Lie (Pendekar Pemanah Rajawali) karya Chin Yung. Kenapa ? Ada tokoh-tokoh pesilat sakti semacam Pasingsingan, Radit dan Anggara, Ki Ageng Pandan Alas dari Gunung Kidul, Titis Anganten dari Banyuwangi, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Sora Dipayana, Kebo Kenanga, Lowo Ijo dari Nusa Kambangan, Bugel Kaliki, dengan jurus saktinya masing-masing, yang dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh dalam karya Chin Yung seperti Ong Tiong Yang (Dewa Pusat), Ang Cit Kong (pengemis utara, 18 tapak naga), Bhiksu Yi Teng (Kaisar Selatan, jari It Yang Chi), Oey Yok Su (Sesat Timur, penguasa pulau Persik), Oey Yang Hong (Racun Barat, jurus kodok), Ciu Pe Thong, Kwee Ceng, sampai Yo Ko dan Tio Bu Kie.
Dengan setting yang hampir sama (zaman transisi dan perebutan kekuasaan), ceritanya juga tidak jauh berbeda yaitu seputar kepahlawanan/patriotisme. Bagaimana seorang ksatria harus bersikap dan bertanggung jawab terhadap rakyat dan negaranya, dengan menjunjung tinggi kewajiban dan sumpah (jabatan), dan kerelaan berkorban tanpa pamrih, tanpa mengharap pujian, apalagi mengharap jabatan. Bahwa perjuangan yang dilakukannya akan bermuara pada rakyat dan kesejahteraannya. Tidak ada yang lebih tinggi daripada itu. Dibumbui dengan kisah cinta antara Mahesa Jenar dengan Pudak Wangi cucu Ki Ageng Pandan Alas. Sebuah romantisme yang heroic tapi tidak cengeng.
Bukankah dengan kondisi bangsa saat ini yang tengah dikuasai aku-isme (egosentrisme yang vested interested), lunturnya nilai-nilai patriotisme dan kejuangan di kalangan pejabat negara, atau ketika hak lebih ditonjolkan daripada kewajiban yangharus dijalankan, cerita-cerita kepahlawanan tersebut merupakan oase yang mampu memberikan harapan akan adanya mata air yang menyegarkan di tengah kegersangan nilai? Tinggal bagaimana kita meresapi nilai tersebut dan menjadikannnya sebagai sistem nilai dalam diri kita. Mudah dibicarakan tapi sulit dilaksanakan, bukan?

Dua hari di Jogja (terakhir)

15 Juni 2008, Jam 07.00 pagi…
Pagi-pagi sekali kami segera meluncur menyusur jalan Solo menuju Klaten. Ya, tujuan selanjutnya adalah Klaten, tepatnya di desa Pucangmiliran Kecamatan Tulung. Disanalah dulu aku KKN, dan disana pula kami melakukan penelitian. Tujuan kesana adalah untuk menyerahkan hasil penelitian kami kepada perangkat desa dan masyarakat disana.
Kalasan, yang ditandai dengan kehadiran candi Kalasan…lewat…Kemegahan candi Prambanan…lewat… disebelah selatan Prambanan, berdiri megah candi Ratu Boko…lewat…hamparan sawah menuju lokasi, dengan udara pagi itu, duh segarnya…Gunung Merapi dan Merbabu berdiri berdampingan seperti sepasang pengantin, duh indahnya…
Sampai disana, langsung menemui perangkat desa dan menyerahkan hasil penelitian tersebut. Harapan kami, semoga penelitian tersebut tidak hanya menjadi tumpukan kertas yang bila disusun/ditumpuk dapat mengantarkan manusia Indonesia ke Bulan. Kami menghubungkan perangkat desa disana dengan Balai Pemberdayaan PU di Jogjakarta, semoga hasil penelitiantersebut dapat ditindaklanjuti.
Bila ada yang kusesali saat ke Klaten, adalah dua hal. Satu, aku tidak bisa mandi di umbul (kolam mata air), tempat favoritku menghabiskan waktu dengan bermain-main disana selama KKN. Dua, ternyata aku tidak punya banyak waktu untuk silaturrahim dan mengunjungi warga disana, untuk sekadar nostalgia mengenang kenangan indah disana, hehe…
Saat pulang menuju Jogja, aku sempatkan untuk mampir menikmati es dawet di daerah Prambanan. Tempat yang selalu kukunjungi saat melakukan perjalanan dari Klaten maupun Solo menuju Jogjakarta. Hanya dengan Rp. 1000 saja, kita dapat menikmati segarnya es dawet, yang dengan segera memuaskan dahaga.
Sampai di Jogja jam 14.00 WIB

18.00…
Saatnya kembali ke Bandung. Ada yang tersisa dari kunjungan ke Jogja kali ini.
Yogya memang sedang berbenah dan tidak mau ketinggalan dari kota-kota besar lainnya. Sayangnya, pola pembangunan yang Jakarta-sentris telah mengabaikan bahkan mengancam identitas Yogyakarta yang telah terpelihara puluhan bahkan ratusan tahun. Ikon sebagai kota budaya dan pendidikan yang disandangnya, dengan kebersahajaan penduduknya dan kohesi sosial yang kuat antarwarga, sedikit demi sedikit terkikis oleh laju pembangunan. Ruang publik sekaligus ruang sosial mulai terasing dari masyarakat akibat gencarnya mall serta bentuk-bentuk kehidupan individualis-materialis, terutama oleh serbuan dari kota besar dengan gaya hidup borjuasinya. Jika dulu orang kaya malu menunjukkan kekayaannya di Yogya (ora ilok, katanya), maka sekarang tidak ada malu lagi. Mahasiswa banyak menyerbu mall daripada menggelar diskusi ilmiah. Kesadaran kaum intelektual (baca: mahasiswa) tercerabut dari akar sosialnya.
Yogya tengah membangun. Jogja sedang gagap. Modernisasi imitasi.
Sedih, lelah yang tak kunjung sirna. Rupanya, kekecewaan dan kesedihan temanku beralasan. Begitu juga aku. Mungkin aku tidak pandai bersajak dan merangkai kata, tetapi Darmanto Jatman mengekspresikannya dengan liris dalam sajak “Yogya tentang modernisasi” (1977).


Daunan menggeliat
Digelitik
Angin yang berbelitan –
San tiga kesangsian itu:
Wah, wah, wah
Tergoyang-goyang antara mimpi dan kenyataan

Mana malaikat yang bernyanyi
Karena dibaptis
Mana kau yang bermasyuk
Karena daging sudah membuat ruh
Berahi
Mana aku yang berbahagia
Karena ruhku menguasai badanku

(Yogya menggigil kedinginan
Menggeliat pelan-pelan serta menggumam:
Sudah tinggikah matahari
pagi ini?)

Atau seorang teman mengungkapkannya secara puitik dalam “Kota Berlarik Cahaya”

Kota-kota tumbuh menuju kesamaan.
Kematangannya diukur dari serakan pencakar-pencakar langit dan
pemenuhan syahwat belanja.
Sepotong kata terlupa: renta.
Sungai-sungai kering.
Udara lebam menyesakkan.
Terlalu banyak mesin di jalanan.
Hutan sisa sepotong nama, ditandai ingatan.
Musim tanpa isyarat.

Sebuah jalur yang dinamakan Malioboro,
yang dulu ditabuh angin beringin,
kini pusat kerumunan yang mulutnya hingga ke bawaht anah alun-alun.
Kota-kota tumbuh saling meniru dan merampas.
Maka orkes hujan segerombol kodok di tegalan
menjadi ketakjuban baru bagi kanak-kanak.
Ketika laut surut dihisap tsunami, mereka
berkecipak riang menangkap ikan menggelepar.
Mereka buta penanda,
sebagaimana orang dewasa.
Rongga di bawah kota ini kini meruapkan gemuruh.
Lindu menyisakan ketakutan,
rumah baru enggan didirikan, lebih baik tidur dalam angin.
Sesekali Merapi menampakkan diri dalam latar tanpa kabut,
seperti senja kemarin, ketika pandanganku menelusur badan kokohnya.
Puncaknya berlapis suspensi merah samar.
Ia mengirim rasa kekesendirian dalam kepungan.

Lalu selarik cahaya putih kemerahan tiba-tiba hadirdi langit,
memanjang dari timur laut ke barat daya.
Orang-orang mencari makna, berusaha keras
membaca alam agar mampu memanggulnya jika berontak.
Kukenakan sebuah mantel tebal ketika mau keluar,
membelah gerimis pertama bulan Juli,
kiriman badai Bilis Filipina.
Apa yang melesat dari perigi imajinasi
ketika memikirkan selarik cahaya di atas kota yang bergemuruh?
Gerimis menggamit kelam.
Aku bersin dan batuk.
Berasa senyap dalam kepungan,berasa Merapi.

(Prameswari, Juli 2006)

Rabu, 02 Juli 2008

Dua hari di Jogja (lanjutan)

11.30…
Wisma PU, Yogyakarta. Aku dulu sempat bekerja selama 1,5 bulan disini sebelum akhirnya dibuang ke Cileunyi, Bandung. Banyak yang berubah, dan tentu saja berubah lebih baik. Semua berkat gempa bumi Yogyakarta. Loh? Iya, bangunannya sempat rusak parah akibat gempa tahun 2006 yang lalu. Aku, bersama beberapa kawan saat itu kemudian mendesain ulang untuk diperbaiki. Tidak kusangka, perbaikannya demikian bagus (maklum, saat proses perbaikan aku sudah “terbuang” ke Bandung).
Ibu Boss masih ada rapat staff. Kutunggu sambil istirahat di dalam kamar sambil mengatur rencana menghabiskan malam di Jogja. Capek, lelah, belum istirahat, belum mandi, setelah 10 jam perjalanan Bandung – Jogjakarta. Selesai mandi, kuseret kawanku untuk menikmati makan siang di warung angkringan. Kebetulan dekat wisma ada angkringan yang masih buka di siang hari. Ah,,,betapa nikmatnya. Aku sangat merindukan nasi kucing ini. Maka kulahap setiap butir nasi kucing dengan kepuasan yang tidak dapat diukur dengan satuan apapun.

14.00 …
Pertemuan dengan bu boss. Agenda ini memang sudah di-arrange sebelumnya. Kuserahkan hasil penelitian tim kami tentang limbah aren di desa Pucangmiliran, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten. Terjadi pembicaraan empat mata di pendopo wisma yang lumayan seru. Pembicaraan mengalir, seputar kondisi kantor, kegiatan kantor, hambatan dan tantangan ke depan, struktur organisasi dan sumberdaya manusia, serta perlunya perubahan paradigma lembaga penelitian sosial ekonomi. Disini dilihat perlunya kajian sosiologis maupun antropologis yang menyeluruh untuk social mapping dan social engineering yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Apabila paradigma ini diubah, maka lembaga litbang sosial ekonomi dapat menjadi avant garde dalam pembangunan infrastruktur PU.
Pembicaraan yang mengalir membuat kami tak sadar bahwa matahari telah mulai tergelincir sepenggalan ke ufuk barat. Ibu Boss mengajak nonton pertunjukan seni budaya di Ambarukmo Plaza malam ini. Bingung, padahal malam itu aku sudah ada janji dengan kawan-kawan mau menikmati kopi Joss di angkringan Toegoe. Kusampaikan kegelisahanku, eee…dia malah bilang mau ikut. Malah aku dikasih kunci mobil untuk jalan-jalan malam ini. Ya sudahlah,,,berarti malam ini ke angkringan Toegoe rame-rame pakai mobil dinas kantor hehehe…

19.00
Ambarukmo Plaza (Amplaz), pertunjukan seni budaya dalam rangka Visit Indonesia Year. Aku memutuskan jalan kaki dari wisma PU ke Amplaz, karena aku yakin malam itu pasti jalanan macet total. Ya, sejak ada Amplaz, Jl. Adisucipto yang biasanya lengang pada malam hari sekarang penuh dengan hiruk-pikuk manusia pencari kesenangan. Di tengah perjalanan, sebenarnya ada acara yang lebih menarik perhatianku, yaitu perayaan 100 tahun pelukis Affandi. Aneh, karena selama karierku di Jogja, belum pernah aku masuk ke museum Affandi yang ironisnya letaknya ga jauh dari UGM. Sekarang, Jl. Gejayan sudah diubah namanya menjadi Jl. Affandi.
Sampai disana, tidak habis pikir, kenapa acara seni budaya diadakan di sebuah Mall. Mall, memang penuh sesak dengan manusia, tetapi aku lihat mereka acuh tak acuh dengan pentas seni budaya, dan lebih senang berburu barang-barangg konsumsi yang terkadang tidak dibutuhkannya. “Bagaimana Indonesia dikatakan krisis ya, wong pengunjung mall begitu banyak”, komentar seorang kawan. Iya, krisis memang tidak pernah dirasakan oleh mereka yang di mall, tapi krisis ada bagi mereka yang ada di pinggir jalan mengais-ngais rupiah dari belas kasihan, mereka yang terpukul oleh tingginya harga pupuk dan tak mampu bertahan dari gempuran beras impor, mereka yang tersingkir, mereka yang dimiskinkan secara struktural.
Disana, aku malah melihat pekerja seni disana menjadi terasing dengan lingkungan sekitarnya. Jika biasanya acara seni budaya diadakan di gedung societet, benteng Vredeburg, JEC (pernah dulu aku menikmati Festival Kraton Nusantara disana), atau tempat-tempat lain yang akrab dengan kegiatan seni dan budaya. Disana, kupikir para pekerja seni tersebut bisa lebih dihargai daripada di mall. Festival seni budaya berbeda jauh dengan festival konsumsi, kecuali festival budaya pop/mass culture/budaya MTV. Mereka memiliki tempatnya masing-masing.

20.00…
The journey continuous…
Kecewa dengan acara seni budaya di Amplas, kami memutuskan untuk pulang lebih awal dan meneruskan perjalanan untuk menikmati sajian yang legendaris, kopi Joss a la angkringan Toegoe. Sebelumnya sempat tersiar kabar kalau angkringan tersebut digusur oleh Pemkot. Beberapa hari sebelum keberangkatan aku dengar kabar dari seorang kawan kalau angkringan itu tidak jadi digusur. Maka kami memutuskan untuk menikmati malam ini di angkringan Toegoe.
Tempat itu masih bersahaja seperti dulu. Bedanya, sekarang tempat untuk nongkrong lebih luas karena bangunan-bangunan semi permanen di sepanjang trotoar sudah tidak ada lagi. Yang mendatangi bukan lagi kalangan menengah ke bawah, tapi menengah ke atas mulai akrab dengan angkringan ini. Berbeda dengan angkringan lain di Jogja yang saat ini marak dengan layanan hot spot, angkringan toegoe masih mempertahankan “tradisi angkringan” lama. Tetapi justru disinilah kekuatan utamanya, sebagai ruang publik, ruang pertemuan manusia untuk saling berkomunikasi, memperkuat kohesi sosial, dan tidak menutup kemungkinan terjadi pembicaraan bisnis kelas atas, pembicaraan budaya, bahkan pembicaraan revolusi (sebagaimana terjadi pada revolusi Perancis medio 60-an).
Bicara, dengan kata-kata verbal, melibatkan emosi, menjadikan komunikasi lebih memiliki makna yang intensif daripada pembicaraan verbal tanpa emosi seperti dalam dunia maya (sebagaimana angkringan yang menyediakan fasilitas hot spot, yang pengunjungnya sibuk dengan laptopnya masing-masing tanpa peduli dengan lingkungan sekitar).
Kopi Joss, masih khas seperti dulu. kopi campur arang membara, memberi aroma dan rasa yang khas. Enak, nikmat, sedap, harum. Ditambah dengan nasi kucing, sate usus, sate kulit, mendoan bakar. Menjadikan malam itu semakin renyah dengan gelak tawa dan pembicaraan ringan tentang kehidupan. Oh,,,malam yang begitu indah dan ingin rasanya tinggal di Jogjakarta untuk seterusnya. Semakin besar rasa cintaku pada Jogjakarta.
Jika ada yang harus kusesali, adalah aku tidak bisa berlama-lama menikmati kopi Joss dan suasana malam itu di angkringan toegoe, karena harus buru-buru balik ke penginapan.
Ternyata tidak ada yang berubah dari sebuah angkringan

Senin, 30 Juni 2008

Stop Kekerasan !!!


Konon kabarnya selama 4000 tahun peradaban manusia, hanya 250 tahun saja yang berlangsung damai. Itu artinya sejarah manusia adalah sejarah peperangan, sejarah kekerasan. Lantas, apakah kemudian kekerasan dapat dibenarkan. Apakah memang watak dasar manusia adalah kekerasan, dengan kata lain manusia menikmati kekerasan?.
Kekerasan dapat dilakukan untuk berbagai tujuan. Penegakan hukum memerlukan kekerasan (pemaksaan) agar dapat berjalan efektif. Untuk memaksakan kehendak juga sangat efektif dengan cara kekerasan. Kekerasan juga mungkin menjadi katarsis yang ampuh atas himpitan-himpitan yang dihadapi, baik persoalan psikologis, sosial, politik, dan ekonomi. Kekerasan juga merupakan pengelolaan konflik yang paling primitif. Sejak Habil dan Qabil memulai pertumpahan darah pertama dalam sejarah manusia.
Kekerasan juga dapat dilakukan atas berbagai alasan. Alasan agama –ini yang paling sering dan yang paling menyeramkan dalam sejarah manusia-, alasan politik, dominasi kekuasaan, alasan ideologis, bahkan kekerasan juga dilakukan atas nama adat dan tradisi –pernah lihat film Apocalypto garapan Mel Gibson, atau kasus KDRT yang tersembunyi rapat-rapat di balik selimut tradisi dan adat.
Untuk alasan apapun, untuk tujuan apapun, kekerasan tetaplah kekerasan. Dan dalam kekerasan ada hak-hak asasi orang lain yang dirampas. Ada ancaman terhadap keamanan dan keselamatan jiwa manusia. Bulan Juni ini, kita disuguhi pementasan kekerasan yang tidak ada akhirnya. Mulai dari insiden Monas (FPI vis a vis AKKBB), insiden UNAS (polisi vis a vis mahasiswa), Geng Nero di Pati (kekerasan a la peer group), dan yang terakhir adalah demonstrasi anarkis menentang kenaikan BBM di Jakarta baru-baru ini.
Apa arti kekerasan-kekerasan yang terjadi belakangan ini?
Apakah ini hanya sekadar refleksi kekerasan ekonomi semata (ketidakadilan ekonomi)
Atau cerminan dari kekerasan politik dari sebuah sistem yang mampet dan diskriminatif?.
Atau hanya gambaran dari runtuhnya bangunan sosial masyarakat yang semakin rapuh di tengah gemuruh pembangunan dan modernisasi di segala bidang?
Atau gejala dekadensi pemahaman terhadap nilai-nilai moral dan etika yang dimiliki bangsa ini, termasuk nilai-nilai agama?
Atau memang kita sudah tidak cukup dewasa untuk memberikan respon secara positif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kita?
Mau kemana bangsa dan negara kita (bangsa dan negaraku, bangsa dan negaramu, bangsa dan negara mereka, bangsa dan negara kita, Indonesia)
STOP KEKERASAN !!!

Jumat, 27 Juni 2008

23 Juni 2008

Saat itu aku sedang di rumah untuk memulihkan kondisi dan istirahat –aku punya penyakit liver yang kambuhan. Malam itu pula, seorang kawan lama datang ke rumah. Kawan semasa MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah) serta teman sepermainan dan seorganisasi di IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah). Saat ini dia menjadi salah satu aktifis muda persyarikatan Muhammadiyah di tingkat cabang (kecamatan). Niatnya memang hanya untuk silaturrahim dan menengok sahabat lama yang sedang pulang kampong. Tapi, pembicaraan yang mengalir malam itu memunculkan ironi dan terasa sangat menyedihkan.
Cerita itu bermula dari aktifitas di salah satu amal usaha Muhammadiyah, yaitu pendidikan (maklum, kawanku itu berkecimpung di dunia itu sebagai pendidik). Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah, baik secara kultural maupun sosiologis, kawanku tahu benar apa arti ber-Muhammadiyah, paham benar apa yang menjadi ideologi Muhammadiyah. Karena itu, terlihat keprihatinan yang mendalam di mata kawanku saat berbicara tentang Muhammadiyah saat ini.
Menurutnya, gerakan Muhammadiyah di Sumberrejo terutama dan di Bojonegoro, mulai mengalami stagnansi akibat tercurahkannya energi para aktifisnya pada aktifitas politik. Celakanya, mereka semua bertindak tidak professional dengan membawa-bawa Muhammadiyah dalam kancah politik praktis (pertempuran Pilkada). Irasionalitas politik itu semakin menjadi-jadi dengan pengerahan seluruh potensi amal usaha Muhammadiyah yang ada untuk mendukung salah satu calon bupati. Lembaga pendidikan (Perguruan Muhammadiyah) bahkan harus meliburkan siswanya agar siswa tersebut mengikuti kampanye. Begitu juga dengan amal usaha yang lain seperti PKU/Rumah Sakit dan Panti Asuhan serta potensi-potensi yang ada.
Tak pelak, hal ini memunculkan pertentangan-pertentangan serta konflik antaranggota persyarikatan. Distribusi kekuasaan dan wewenang dalam organisasi yang tidak merata (adanya dominasi beberapa orang dalam organisasi), menyebabkan pertentangan ini semakin meruncing. Sayangnya, kekuatan dominan tersebut lebih dekat kepada kepentingan politik praktis tersebut. Akibatnya bias ditebak, beberapa orang yang tidak sepakat dengan sepak terjang kelompok tersebut, harus rela tersingkir. Banyak diantara mereka yang kemudian mengambil jalur politik lain sebagai saluran politiknya, seperti Hizbut Tahrir dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Kawan saya tidak mengatakan apakah mereka yang tersingkir sudah sampai pada tahap mufaraqah terhadap Muhammadiyah atau tidak.
Yang lebih disayangkan lagi, ternyata ada beberapa orang-orang yang menjadikan Muhammadiyah sebagai batu loncatan terhadap karier dan ambisi politik mereka. Hal yang wajar, karena kekuatan Muhammadiyah yang signifikan di Bojonegoro. Orang-orang seperti inilah, yang menurutku berbahaya sekali terhadap persyarikatan dan harus “disingkirkan” dari persyarikatan agar tidak menjadi kangker yang menggerogoti persyarikatan dari dalam.
Tapi tidak hanya cerita sedih yang diceritakan kawan saya itu. Menurutnya, masih banyak orang-orang yang masih istiqamah dengan kemuhammadiyahan mereka. Orang yang memegang teguh pendirian dan ideologi Muhammadiyah. Orang-orang yang juga sedih melihat sepak terjang “elit lokal” Muhammadiyah dalam kancah politk dan menyeret-nyeret persyarikatan. Orang-orang yang dengan sengaja menjaga jarak dengan kekuasaan. Orang-orang yang menginginkan adanya perubahan, tetapi tidak memiliki kekuasaan untuk itu.
Kepada kawan tersebut, aku tantang untuk melakukan gerakan “pembaharuan” dalam tubuh organisasi pembaharu yang mulai stagnan tersebut. Caranya, rangkul semua kekuatan “progressif”, orang-orang yang masih memiliki pikiran jernih dalam satu barisan. Ajak mereka secara persuasif. Aku kasih kepada kawanku salinan SK PP Muhammadiyah No 61/2008 tentang sikap Muhammadiyah terhadap Pilkada serta SK No 149/2006 tentang konsolidasi aset-aset Muhammadiyah agar terhindar dari politisasi. Kuberikan juga buku Muhammadiyah “Digugat”, agar menjadi referensi dalam penyadaran beberapa aktifis yang sudah mulai kehilangan akal sehat karena godaan kekuasaan.
Gerakannya memang tidak perlu radikal. Yang paling penting adalah membangun kesadaran kembali para aktifis akan kewajiban dan tugas mereka dalam persyarikatan. Bila saatnya nanti, maka tiba saatnya untuk mengambil alih organisasi dan mengembalikan organisasi kepada khittah-nya semula, sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan masyarakat utama adil dan makmur yang diridhai oleh Allah SWT (sesuai dengan AD/ART Muahammadiyah).
Bila saja Kiai Ahmad Dahlan masih hidup, beliau tentu akan sedih melihat Muhammadiyah yang mulai dijadikan alat menuju kekuasaan, bukan alat untuk Fastabiqul Khairat. Masih relevan wasiat Kiai sebelum wafat: Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah. Bila mencari hidup di Muhammadiyah saja sudah menjadi pantangan, apalagi bila mencari kekuasaan di Muhammadiyah.
Tetapi, bukankah dengan demikian kita menjadi lebih kritis dan berpikir, Quo Vadis Muhammadiyah?

Jumat, 20 Juni 2008

Malu


Seorang kawan ngirim email padaku hari ini. Isinya, bercerita tentang majalah Tempo edisi khusus 100 tahun kebangkitan nasional. Isi majalah Tempo tersebut memang secara khusus membahas 100 buku yang mewarnai perjalanan bangsa selama 100 tahun kebangkitan nasional (20 Mei 1908 - 20 Mei 2008), dan kawan tersebut merasa malu sebagai pemuda yang tidak semua karya tersebut dibaca (dan dimiliki). Malu karena ternyata belum semua daerah/wilayah Indonesia belum terjelajahi.
Menurutku, ada beberapa fakta yang mungkin terlewatkan dan semestinya membuat kita lebih malu lagi sebagai generasi muda. Fakta-fakta tersebut adalah usia penulis buku tersebut saat buku tersebut terbit dan memengaruhi gerakan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan.
Bayangkan berapa usia Tan Malaka ketika menjadi agen Komintern (Komunis Internasional) untuk wilayah Asia Tenggara, saat menulis risalah Naar de Republiek Indonesie...26 tahun
Berapa usia Bung Karno saat dipenjara di Sukamiskin dan memberikan pembelaan yang sangat terkenal "Indonesia Menggugat".. .26 tahun
Berapa usia Chairil Anwar ketika meninggal dan meninggalkan karya monumental "Aku Ini Binatang Jalang"...26 tahun..
Berapa usia Semaun ketika mendirikan PKI di Semarang?... 19 tahun
Berapa usia Panglima Besar Sudirman ketika memimpin perang gerilya...28 tahun
Berapa usia Letkol Slamet Riyadi ketika tewas di depan benteng Rotterdam akibat pemberontakan RMS...belum genap 23 tahun
Berapa usia Soe Hok Gie saat menumbangkan Orde Lama...25 tahun
Sementara kita ,,,di usia kita saat ini, apa yang telah kita lakukan
untuk rakyat?
untuk bangsa?
untuk negara ?
Selain ikut melestarikan kekuasaan yang despot !!
Selain ikut melumasi mesin kapitalisme yang menghisap !!
Selain menyuburkan sistem yang menindas !!!
Seperti kata Chairil Anwar: Hidup berarti, setelah itu mati
Maka, seperti kata Widji Thukul : Hanya satu kata, Lawan !!!


Dua hari di Jogjakarta (cerita perjalanan menit ke menit)

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna

(KLa Project)

Kota yang selalu kurindukan dan akan selalu ada dalam hatiku, Yogyakarta. Sejuta kenangan terukir disana dan kepingan itu masih tercecer di sana-sini, menunggu untuk dikumpulkan dan disusun menjadi sebuah cerita kehidupan. Bahagia – sedih, suka – duka, pahit – manis, susah – senang. Ada tugas yang belum tertunaikan. Rindu pada sebentuk kehidupan yang kini mulai langka. Prasasti budaya dan alam yang senantiasa membisikkan rindu kepadaku.
Perasaan inilah yang kembali membawaku ke Jogjakarta minggu kemarin (14 – 15 Juni 2008), sekadar untuk nostalgia dan tetirah. Tetirah dari lelah jiwa yang luar biasa, yang aku pikir hanya kematianlah yang mampu menghapus lelah ini.
Keberangkatanku ke Jogja diiringi oleh kelelahan yang luar biasa, berharap Jogja mampu menghapusnya. Badan yang semakin sulit diajak kompromi, dengan kesehatan yang semakin menurun. Pagi sebelum berangkat, tubuh menggigil dan demam disertai dengan sedikit muntah-muntah. Tapi ternyata tarikan Jogja terlalu kuat untuk dikalahkan oleh kelemahan tubuh ini. Ya, aku curiga liverku kembali berulah.
Keberangkatanku ke Yogya ditemani oleh bayangan celoteh dan omelan beberapa kawan terhadap kondisi Jogja belakangan ini. Yogya sudah berubah, tidak nyaman dan menyenangkan seperti dulu. Apakah Yogya tidak boleh berubah? Bukankah segala sesuatu pasti berubah. Apakah rasa nyaman harus menghalangi sebuah entitas untuk berubah? Aku akan datang sendiri untuk membuktikan ocehan kawan-kawanku, dengan mata kepala sendiri.
Bus itu membawaku pergi dari Bandung tepat jam 19.00 dari peraduannya. The journey has begun…

04.30 pagi…
Bus itu berhenti di perempatan Kentungan, Ring Road Utara Jl. Kaliurang. Langsung udara dingin menyerang tubuhku yang memang sudah mulai kelihatan kelelahan. Bulan-bulan yang sangat dingin kupikir, karena angin musim kemarau dari gunung Merapi turun dengan ganas menyergap siapa saja yang masih terjaga pagi itu. Jalanan masih sunyi, hanya satu dua mobil yang melewati jalanan yang bila siang hari biasanya sangat padat itu. Pria paruh baya mengayuh becaknya ke arah utara sambil menawarkan jasanya padaku. Mungkin pria tersebut sudah tidak tahan dengan dinginnya udara pagi itu, dan memutuskan untuk pergi saja.
Kupencet-pencet HP, mengabarkan kalau aku sudah tiba kepada seorang kawan. “Baik bung, 10 menit lagi”, begitu jawabnya. 10 menit, waktu yang tidak lama. Tapi di tengah udara dingin ini? Maka kuputuskan untuk menunggu sambil nongkrong di depan ATM Mandiri. 30 menit kemudian, datang juga kawanku itu. Aduh bung, 30 menit lagi kaubiarkan aku menunggu, bisa membeku aku. Ayo kita shalat…(motor itu membawaku ke masjid Blimbingsari)

06.30…
Time to breakfast…maka kuputuskan untuk makan gudeg di pinggir Jakal. Tempat makan yang kusukai, sambil lesehan di pinggir jalan menikmati matahari pagi di jalanan Jogja. Gudeg yang masih diolah dengan tangan-tangan tradisional mbok-mbok Jogja menawarkan kelezatan yang tidak biasa. Kali ini aku sengaja datang lebih pagi, karena pernah agak siangan dikit sudah tidak kebagian gudeg yang menurutku emang tidak kalah ma gudeg wijilan ataupun gudeg Permata yang legendaris itu.
Ah, terasa nikmat setelah sarapan pagi, tubuh terasa lebih segar. Ah, tubuh ini masih saja menggigil. “Aku dah di kos, bro. Tak tunggu”. SMS berbunyi yang memaksaku segera beranjak dan menuju kos seorang kawan yang baru datang dari Jakarta, untuk “konsolidasi”.

08.00…
Kita meluncur ke plaza KPTU fakultas teknik UGM untuk bertemu kawan-kawan dari Kamase. Tanpa mandi, tanpa gosok gigi, tanpa parfum, cukup dengan cuci muka pakai air minus sabun. Wajah kelelahan masih terlihat, tapi antusiasme dan semangat tinggi menyamarkannya. Sampai disana beluma da orang. Ah, dasar orang Indonesia.
Banyak yang berubah pada wajah KPTU Fakultas Teknik. Lantai sudah menjadi keramik, sehingga sebuah prasasti bertuliskan “Ariel Maniez, Fisika Teknik ‘00” di lantai sebelumnya telah sirna hehehe... Di sana-sini mahasiswa menenteng laptop dan browsing ke dunia maya. Sangat jauh berbeda dengan saat aku kuliah dulu. Tapi aku senang, itu artinya terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.
Pertemuan dimulai. Pertemuan itu sendiri merupakan respon atas isu yang berkembang dalam organisasi Kamase tentang Kamase Care dengan Kamase di kampus. Isu lama sebenarnya, dan kita selalu mengulang dan mengulang terus permasalahan ini. Menurut saya, persoalan utamanya adalah pada masalah komunikasi antargenerasi, serta belum adanya mekanisme baku dalam organisasi (aku lebih suka menyebutnya sebagai paguyuban, karena memang sifat kekeluargaan lebih kental daripada struktur yang hierarkis dan kaku di dalamnya). Tapi tidak apa, ini kuanggap sebagai dinamika organisasi yang memang meniscayakan perubahan sebagaimana bentuk-bentuk eksistensi yang lain di ala mini. Justru bila tidak ada dinamika seperti ini malah membuat aku khawatir.
Aku juga sangat bangga, saat organisasi yang kami rintis 7 tahun yang lalu ternyata masih tetap eksis dengan berbagai prestasi yang gemilang (salah satunya meraih penghargaan internasional Mondialogo Engineering Award). Bertahan sampai 4 generasi, suatu hal yang tidak pernah kami sangka-sangka sebelumnya, mengingat organisasi ini merupakan “organisasi tanpa bentuk”, dalam arti tanpa struktur organisasi yang baku dan sumber daya (ekonomi) yang tetap. Tetapi kami punya visi dan misi yang melampaui zamannya, setidaknya untuk ukuran mahasiswa.
Maka dalam forum tersebut, kita sepakati beberapa hal, yaitu :
1. Komunikasi akan semakin dibuat intensif. Kawan-kawan mahasiswa selalu memberikan laporan kegiatan kepada alumni, agar para alumni dapat mengetahui sejauhmana gerakan mahasiswa di kampus. Demikian juga alumni akan melaporkan aktifitasnya pada kawan-kawan di kampus agar kawan-kawan di kampus juga mengetahui aktifitas para alumni.
2. Pembagian peran yang jelas antara kawan-kawan di kampus dalam organisasi alumni, sehingga ke depan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya syak wasangka tidak muncul ke permukaan. Dan alumni tidak sering-sering turun gunung menyelesaikan permasalahan (it’s okay,,,I love JogjaJ)
3. Dalam waktu dua minggu ke depan, akan diadakan outbound untuk semakin mempererat ukhuwah antara alumni dan kawan-kawan di kampus yang terbentang jarak generasi yang lebar. Selain sebagai jembatan antargenerasi, juga untuk transfer pengetahuan, cita-cita, visi dan misi organisasi kepada generasi baru agar memiliki militansi dalam perjuangan.
4. Akan dibuat beberapa program yang sifatnya pemberdayaan mahasiswa, untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa. Diantaranya adalah perpustakaan dan pelatihan bagi anggota Kamase. Perpustakaan ini nantinya akan berisi literatur-literatur yang tidak terdapat di kampus, tetapi benar-benar dibutuhkan dalam dunia nyata sehari-hari. Pelatihan ini lebih pada sharing pengalaman alumni dalam dunia kerja, terutama yang berkaitan dengan energy terbarukan.
Sudah jam 11.00, saatnya pertemuan diakhiri, karena sobatku harus pulang ke Solo. Urusan keluarga (Selamat bro, aku ikut bahagia untukmu). So, perjalanan dilanjutkan menuju tempat penginapan Wisma PU di depan IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Sudah ada yang menungguku disana.
Bersambung....

Rabu, 18 Juni 2008

Suluk Jalan Terabas Gus Miek


KH. Hamim Jazuli atau biasa dipanggil Gus Miek, adalah ulama besar dari Ploso, Kediri yang terkenal karena kenylenehannya dan "daya linuweh" yang dimilikinya. Sebagian orang mengategorikan putra ketiga KH. Ahmad Jazuli Usman ini sebagai wali Allah. Beliau terkenal dengan majlis semaan al-Quran Dzikrul Ghafilin dan saat bersamaan suka keluar masuk tempat pelacuran dan diskotik. Minumannya bir hitam (kata Gus Dur), rokoknya aja Wismilak yang berat. "Mereka juga butuh untuk mengenal Tuhannya, mendapatkan kasih sayangNya, bukan hanya orang-orang yang ke Masjid saja", demikian prinsip Gus Miek ketika ditanya kenapa sering keluar masuk cafe, diskotik, dan tempat pelacuran.
Ajaran-ajarannya dirumuskan dalam "dalan terabas" alias jalan singkat (shortcut) menuju Tuhan. Prinsipnya yang terkenal : Jika ingin dekat dengan Allah, maka dekatilah orang-orang yang dekat denganNya. Hal ini tentu saja memunculkan polemik tentang prinsip tawassul dalam ajaran agama Islam, tetapi Gus Miek sebagai orang yang menguasai ilmu agama, juga memiliki alasan yang tetap dilandaskan pada al-Quran dan Hadits.
Gus Miek, ditengah kontroversi yang melingkupi kehidupannya, tetaplah sosok yang selalu dirindukan oleh umat, tidak hanya oleh umat Islam, tetapi juga nonmuslim karena memang pendekatan dakwah beliau yang "tidak biasa", pendekatan kemanusiaan yang dilakukannya, dan memang demikianlah seharusnya, ulama adalah pencerah kemanusiaan (secara umum, bukan hanya untuk umat Islam).
Buku ini memuat prinsip-prinsip untuk mencapai Tuhan dengan lebih cepat, tetapi tetap dilandasi oleh Al-Quran dan Hadits, yaitu jalan thariqat tanpa melupakan aspek Syari'ah dan Fiqh, serta dhawuh-dawuh (petuah) yang disampaikan Gus Miek kepada para muridnya. Dhawuh yang dalam tradisi pesantren (ta'lim muta'alimat) sangat dipegang teguh oleh santri sebagai bentuk ta'zhim mereka pada Kiai.

Selasa, 17 Juni 2008

Tidak Harus Demo Untuk Menjadi Peka


Rakyat yang melihat para mahasiswa mungkin dalam hatinya berkata “ Biarlah kita yang bekerja dan membayar pajak untuk membiayai pendidikan mereka, para mahasiswa, karena saya yakin kelak mereka, para mahasiswa akan bekerja untuk kita, rakyat kecil”.
(Soe Hok Gie)

Beberapa hari ini, banyak sekali demonstrasi dilakukan oleh sekelompok massa terutama menyangkut isu kenaikan BBM dan harga barang. Sebagian besar dilakukan oleh kelmpok mahasiswa. Berbicara tentang aksi, entah itu aksi massa yang melibatkan demonstrasi massa besar-besaran, ataupun aksi-aksi yang lainnya, seperti aksi mogok makan, sejuta tanda tangan, dan lain-lainnya, tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks munculnya aksi tersebut. Aksi massa (baca:demonstrasi), seringkali muncul karena adanya kebijakan penguasa yang merugikan, kebijakan yang mencoba mengintervensi ruang-ruang publik dalam rangka menancapkan hegemoni mereka atas rakyat dan memantapkan posisi mereka. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa pada akhirnya demonstrasi menjadi pilihan yang rasional karena efektifitasnya dalam menciptakan kekuatan tandingan pada kekuasaan tersebut. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kekuatan massa mahasiswa dalam gerakan ‘98 mampu menumbangkan rezim yang saat itu mustahil dijatuhkan. Dan dalam konteks sosio politik seperti itu, dimana kekuatan sipil harus berhadapan dengan kekuasaan yang korup dan lalim, demonstrasi masih menjadi modus yang relevan, bahkan efektif.

Dalam konteks yang berbeda, demonstrasi harus berkompromi dengan keadaan. Seperti saat ini misalnya, dimana rakyat semakin bosan dengan aksi massa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap nasib mereka, bahkan mungkin pikiran lugu rakyat telah menganggap bahwa aksi yang dilakukan menyebabkan kenaikan harga, menciptakan instabilitas keamanan, yang pada akhirnya juga hilangnya rasa aman pada rakyat. Diperparah lagi dengan fobia penguasa terhadap aksi massa yang menjadikan mereka semakin represif terhadap berbagai aksi massa, perlu sebuah kreativitas dalam melakukan perlawanan, agar perlawanan tidak berhenti.

Demonstrasi sebagai wujud kepekaan sosial
Sebagai bagian kecil dari masyarakat yang berkesadaran, yang oleh Soe Hok Gie disebut dengan happy few selected, mahasiswa dituntut untuk lebih proaktif dalam menyikapi perubahan-perubahan sosial yang terjadi disekitarnya. Perubahan sosial yang terjadi tidaklah selalu mulus dan berjalan sesuai dengan apa yang diidealisasikan, tapi terkadang mengalami deviasi yang sangat besar. Dan adalah tugas mahasiswa, sebagai elan vital bangsa ini untuk kembali meluruskan kembali hal tersebut. Dan untuk melakukan hal tersebut, diperlukan sebuah kesadaran kritis sosial, bukan sekadar kesadaran kognitif, tapi juga menyentuh pada level kesadaran afektif maupun psikomotorik. Dan inilah yang kita sebut dengan kepekaan sosial, sense of crisis.

Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan untuk menyatakan keprihatinan terhadap kondisi sosial yang ada disekitar kita yang tidak sesuai dengan idealitas, tapi sekali lagi hal tersebut perlu ditempatkan pada tempatnya yang sesuai dengan konteks secara proporsional. Tidak harus dengan demo untuk merubah sebuah kebijakan publik, tapi bisa juga dengan cara lain. Untuk sebuah kebijakan yang jelas-jelas telah merugikan rakyat, seperti misalnya kenaikan harga BBM, TDL, maupun rekening telepon, aksi massa besar-besaran masih menjadi salah satu cara yang efektif untuk merubah kebijakan tersebut. Kenapa? karena kebijakan menaikkan harga BBM sangat terkait dengan kebutuhan riil rakyat yang mustahil berubah jika hanya dilakukan seminar, debat publik, atau apapun bentuk aksi yang tidak disertai dengan tekanan. Dan demonstrasi adalah pilihan yang sangat realistis dan efektif untuk tujuan jangka pendek dalam merubah kebijakan publik yang merugikan. Jelas bahwa demonstrasi adalah salah satu wujud kepekaan dan kepedulian kita terhadap realitas sosial yang timpang yang terjadi di sekitar kita.

Dalam konteks yang berbeda, diperlukan sebuah kreatifitas dalam melakukan aksi dan perlawanan. Seperti misalnya pada kasus penggusuran yang beberapa waktu lalu marak. Demonstrasi tidak lagi menjadi mutlak sebagai wujud kepekaan sosial, tapi mahasiswa bisa mengambil langkah lain dalam perlawanan. Misalnya terlibat aktif bersama-sama dengan LSM / NGO dalam kegiatan advokasi, bisa juga mengumpulkan bahan kebutuhan sehari-hari untuk membantu mereka yang tergusur. Justru dengan terlibat secara aktif melalui kegiatan advokasi, gerakan perlawanan bisa lebih efektif dan masyarakat tergusur lebih terbantu daripada dengan menggunakan cara demonstrasi.

Reformulasi Gerakan Mahasiswa
Untuk tujuan perubahan jangka panjang yang fundamental, para aktivis tidak cukup hanya dengan mengandalkan aksi massa. Perlu dicari sebuah pola-pola gerakan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat (civic empowerment). Mahasiswa nantinya tidak hanya melakukan gerakan-gerakan yang bersifat reaktif sporadis yang hanya akan menimbulkan resistensi dari rakyat, tapi sebuah gerakan yang sistematis, terarah, kontinu dan simultan menuju perubahan. Proses penyadaran tidak harus melalui demonstrasi, tapi bisa juga dengan cara lain. Demonstrasi sebagai sebuah media untuk mencapai tujuan jangka pendek sangat efektif, tapi tidak untuk jangka panjang.

Sebuah perubahan meniscayakan proses penyadaran yang berlangsung terus-menerus dan berlangsung dalam waktu yang tidak singkat. Proses itu tidak hanya lewat demonstrasi-demonstrasi, tapi juga melalui penguatan masyarakat sipil (civil society) dan proses demokratisasi disegala bidang, baik itu sosial, politik, ekonomi, pendidikan, maupun budaya. Media tersebut dapat berupa kelompok-kelompok kreatif mahasiswa, NGO/LSM, serta bentuk-bentuk aktifitas lain yang langsung menyentuh pada persoalan kemasyarakatan sehari-hari. Kelompok kreatif mahasiswa perlu banyak didukung dan dikembangkan. Kamase (Komunitas Mahasiswa Sentra Energy) dari Teknik Fisika UGM misalnya, setelah berhasil menjadi 10 besar dunia (major winner) dalam ajang Mondialogo Engineering Award yang diadakan UNESCO dan Daimler Chrysler (www.kamase.org), mendapatkan dana hibah untuk melaksanakan proyek pengadaan air bersih untuk masyarakat di daerah kekurangan air. Saya melihat, kelompok-kelompok sejenis tumbuh subur di UGM, tinggal bagaimana kita mengorientasikan aktiftas mereka untuk rakyat. Bukan sekadar masturbasi intelektual belaka, dan hanya menjadikan mereka sosok di menara gading kehidupan. Tapi juga sebagai intelektual organik (meminjam istilah Mansour Fakih) dan terlibat langsung dalam persoalan riil masyarakat.Di lapangan inilah para mahasiswa bisa memainkan peranan lebih banyak dari sekadar demo di jalanan. Setidaknya, melalui usaha penguatan dan pemberdayaan masyarakat, peran mahasiswa lebih terasa manfaatnya bagi rakyat tertindas. Dan mungkin ini sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Soe Hok Gie dari para mahasiswa.

Kamis, 12 Juni 2008

Siapa yang merusak citra Islam?

Kalau kita padankan kata citra dengan image, dalam kamus Inggris image berarti the way that people consider someone or something to be. Atau dengan kata lain citra adalah cara orang untuk melihat sesorang atau sesuatu itu seperti apa. Dan cara pandang itulah yang akhirnya mendefinisikan seseorang atau sesuatu itu seperti apa (to be). Pada akhirnya, pencitraan itu sangat dipengaruhi oleh cara seseorang atau sesuatu tersebut menampilkan dirinya. Disini, ada dua moda bagaimana sebuah bentuk eksistensi itu dipahami. Yang pertama adalah bagaimana sebuah eksistensi menampilkan dirinya. Dan yang kedua adalah bagaimana yang lain (the other/liyan) melihat dan memahami eksistensi tersebut. Dengan demikian, citra belum tentu sama dengan bentuk yang sebenarnya (das ding an sich). Terlihat bahwa ada kesenjangan antara pengetahuan sejati dengan presepsi indrawi (yang kadang-kadang dicitrakan sebagai kebenaran sejati)
Islam, sebagai salah satu bentuk eksistensi (atau bagian dari sistem tanda dalam strukturalisme de Saussure), juga terikat dalam ruang dan waktu, yang pada akhirnya menyediakan dirinya sebagai medan perebutan makna. Disinilah kemudian muncul konflik dalam menafsirkan sistem tanda (simbol) untuk melahirkan apa yang dinamakan hegemoni pengetahuan (meminjam istilah Antonio Gramschi). Islam, yang diklaim bersumber dari kebenaran wahyu, dalam penafsirannya tidak pernah tunggal. Tafsir tunggal hanya terjadi pada zaman Rasulullah Muhammad SAW. Kembali, teks-teks suci menjadi medan perebutan makna. Apakah kemudian mau ditafsirkan secara politis, sosiologis, antropologis, filosofis-hermeneutis, tentu saja sangat bergantung kepada penafsir dan kepentingan serta latar belakangnya (sosial budaya dan politik/lokalitas). Dalam prosesnya tidak jarang muncul ketegangan-ketegangan. Pencatutan ayat suci Al-Quran dalamkampanye serta kecenderungan-kecenderungan penggunaan ayat suci untuk legitimasi perbuatan adalah salah satu kecenderungan itu.
Kalau kita yakini, Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh semesta alam. Tuhan (Tauhid), sebagai pusat dari sistem keyakinan ini digambarkan Maha Segala-galanya, tetapi yang sangat dominan adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Kasih Sayang-Nya melampaui kemurkaan-Nya. Sifat yang sangat feminin tentunya. Sifat Tuhan yang demikian agung dan transenden tersebut beremanasi dalam ajaran-ajaranNya yang antroposentris (untuk siapa Al-Qur’an diturunkan? Untuk Tuhan?). Bahwa kemudian perbuatan manusia akan selalu kembali kepada manusia sendiri, itulah dictum pokoknya. Untung rugi yang digambarkan dalam terminologi pahala-dosa sebenarnya juga akan kembali kepada manusia, bukan untuk Tuhan. Tanpa disembah-pun, Tuhan tidak kehilangan ke-Maha Besar-anNya. Manusia berbuat dosa dan kerusakan-pun Tuhan tidak kehilangan Kekuasaan-Nya. Dan bukankah Al-Qur’an hanya sebagai Al-Furqan (pembeda) dan Adz-Dzikr/pengingat (ingat,,pengingat,,itu berarti bahwa manusia sudah memiliki pengetahuan a priori tentang baik dan buruk). Dan tidak ada paksaan dalam beragama (Laa Ikraha fi ad-dien). Dan tidaklah diutus Rasul Muhammad kecuali hanya sekadar menyampaikan dan mengingatkan. Maka tindakan kekerasan atas nama agama, apalagi atas nama Tuhan, tidak pernah dibenarkan. Tuhan tidak perlu dibela, demikian kata Gus Dur
Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Maka Islam memerintahkan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Maka Islam memerintahkan beramal sholeh (setiap kata dalam al-Quran setelah beriman selalu diikuti amal sholeh/’amanu billahi wa ‘amalan shalihan). Apakah amal sholeh itu, yaitu semua perbuatan yang menurut Al-Quran dan nurani adalah baik, seperti birrul walidain (berbakti pada orang tua), menyantuni anak yatim, zakat untuk mustahiq, bekerja dan berjihad, berkurban, serta masih banyak jenis perbuatan lain yang tidak dijelaskan eksplisit asalkan diniatkan karena Allah semata maka menjadi amal sholeh.
Lalu bagaimana bila seseorang berbuat dosa/maksiat? Yang pertama, biarlah itu menjadi urusan Tuhan dengan si pembuat dosa, Biar Tuhan yang memperhitungkan kelak di yaumul hisab. Yang kedua, dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara, biarlah negara (yang diwakili pemerintah) mengambil tindakan terhadap pembuat dosa tersebut. Apa kategori dosa dalam konteks ini? Yaitu perbuatan yang memiliki potensi merusak keutuhan dan keharmonisan masyarakat, yang diatur dalam Undang-undang. Jadi sudah ada aturannya, termasuk siapa yang berwenang menindak pelanggaran UU tersebut. Persoalan apakah kemudian aparat yang berwenang berat sebalah atau tidak tegas harus dipisahkan dari kaidah/prinsip kita bernegara dan berbangsa.
Dalam ber- ‘amar ma’ruf nahi munkar juga ada prinsipnya. Bila kita punya kekuasaan (yang diatur dan didelegasikan oleh UU), maka kita berkewajiban. Bila tidak mampu, dengan lisan. Dan bila masih tidak mampu, maka dengan doa dalam hati (selemah-lemah iman). Dan bermusyawarahlah kalian dalam segala urusan, demikian sabda Nabi. Jadi, menurutku, kekerasan bukanlah watak asli Islam. Kekerasan hanya diijinkan apabila rumah/tanah air/wilayah kita diserang oleh musuh dan kita terusir. Wala taqtulun nafsa al-lati harrama Allahu illa bi al-haq, jangan membunuh manusia tanpa hak (hak mematikan hanya milik Allah). Kekerasan/perang, kata Gus Dur lagi, hanya diijinkan apabila umat Islam dalam kondisi terusir (dari wilayahnya/baldat bukan daulat) dan tidak dapat melaksanakan kewajiban agamanya. Kekerasan/perang hanya diwajibkan untuk membela diri dan kemanusiaan. Jadi Islam memang mengenal kekerasan, tapi tidak sama dan identik dengan kekerasan. Demikianlah Islam yang kupahami (kucitrakan) sebagai Islam rahmatan lil ’alamin.
FPI sebagai bagian dari kelompok (ummah) Islam menggunakan pendekatan kekerasan dalam gerakan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Pendekatan inilah yang saya kira merusak ajaran Islam sebagai rahamatan lil ‘alamin. Ajaran luhur Islam ditampilkan dengan wajah yang sangar, sadis, dan kejam, tanpa mengindahkan tata aturan yang berlaku di negara. Maka yang tampak oleh orang awam, atau katakanlah yang belum mengetahui ajaran Islam sebenarnya, melihat dan menyimpulkan ajaran Islam adalah ajaran yang sarat dengan kekerasan, dan melakukan pendekatan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Bagi orang yang sudah memahami ajaran Islam, tentu akan kecewa karena citra agamanya dirusak sedemikian rupa.
Ahamdiyah, yang saya tahu juga tidak tunggal. Dua kelompok besar yang saya ketahui, yaitu Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore memiliki pendapat berbeda tentang kenabian. Bila kemudian benar bahwa sesudah Nabi Muhammad ada Nabi lagi (yaitu Mirza Ghulam Ahmad), maka jelas bahwa dalam dirinya sendiri Ahmadiyah sudah keluar dari kelompok Islam yang bertauhid La Ilaha illa Allah, Muhammad ar Rasulullah. Bagaimana penyelesaiannya? Yang pertama, biarkan umat Islam sendiri yang menyelesaikan melalui “institusi” yang ada (perlu dicatat bahwa umat Islam tidak mengenal lembaga/institusi keagamaan otoritatif semisal ke-Paus-an seperti dalam Katholik Roma). “Institusi” tersebut, yaitu menurut saya adalah edukasi/pendidikan pada masyarakat melalui pemahaman yang benar tentang Islam. Disini, peran ulama/kyai sangat penting. Yang kedua adalah melalui proses hukum dengan delik penodaan agama. Dengan penempelan embel-embel Islam pada Ahmadiyah, kelompok (ummat) Islam yang merasa tersakiti dengan hal tersebut, dapat mengajukan gugatan atau tuntutan kepada pengadilan, apabila mau persoalan ini dibawa ke ranah pidana penistaan agama. Disini, pemerintah dan kepolisian harus bertindak cepat dengan merespon tuntutan tersebut agar tidak mengarah kepada tindakan anarkis. Menurut seorang kawan yang kebetulan sarjana hukum, peristiwa kekerasan ini terjadi karena pemerintah dan kepolisian lambat dalam merespon kegelisahan masyarakat. Katanya lagi, tidak diperlukan prosedur tertentu untuk delik penodaan/penistaan agama sebagaimana kita mau mendaftarkan gugatan perkara ke pengadilan.
Tetapi di sisi lain, dalam gerakannya Ahmadiyah justru menggunakan pendekatan nonkekerasan. Mereka banyak terlibat dalam gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan. PIRI (Persatuan Islam Republik Indonesia) telah memiliki banyak sekolah mulai dari SD sampai SMA, bahkan memiliki beberapa pendidikan tinggi untuk ikut dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka juga terlibat aktif dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Di Bogor, aktifitas bersama warga setempat dengan aktifis Ahmadiyah justru menunjukkan sebuah hubungan yang harmonis, yang membuktikan bahwa perbedaan “ideologi” bukan penghalang dalam hidup bersosial. Meskipun, menurut saya pribadi, mereka telah keluar dari Islam, tetapi justru dalam aktifitas sehari-hari mampu menampilkan citra diri sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bi ash-shawab