Jumat, 28 November 2008

Makam Sunan Bayat

Gerbang candi bentar menuju Makam
Wali songo adalah sebuah lembaga agama yang menjadi penopang utama kerajaan Demak Bintoro. Anggota dewan tersebut ada sembilan (songo) orang, dan dalam periode tertentu, salah satu anggotanya adalah Sunan Bayat.

Makam Sunan Bayat ada di kecamatan Bayat, kab. Klaten. Makamnya terletak di atas bukit. Kompleks makam Tembayat ini sendiri dibangun sejak tahun 1526 (sengkala: murti sarira jleging ratu) dengan nuansa Hindu yang sangat kental. Jadi lebih tua dari makam Imogiri. Desain kompleks makam ini mengikuti pandangan kosmologis masyarakat Jawa. Begitu masuk, sudah disamput gapura Segara Muncar yang berbentuk candi bentar. Gapura ini sekarang sudah menyatu dengan kompleks permukiman warga dan berdiri di sudut lapangan balai desa.

Agak naik ke atas, kita akan bertemu gapura Dhuda, juga berupa candi bentar. Berturut-turut akan menemui gapura Pangrantunan (kayak nama daerah di buku Nagasasra dan Sabuk Inten) berbentuk paduraksa tanpa pintu, gapura Panemut yang berbentuk candi bentar, gapura Pamuncar seperti gapura Panemut, dan gapura Bale Kencur yang berbentuk paduraksa yang berdaun pintu. Aku belum tahu kenapa gapura-gapura tersebut dinamai demikian. Tapi yang jelas, bentuk arsitekturnya Hindu banget.


Setelah gapura terakhir, kita akan menemui masjid usianya setua usia kompleks makam ini. Ukurannya kecil, bahkan untuk masuk masjid harus menundukkan kepala. Arsitektur majsid jawa dengan 4 soko guru. Bahan kayu yang dipakai untuk sokoguru, pintu, dan jendela masih asli. Bedung yang sudah termakan usia juga masih ada, ditaruh di luar. Setelah gapura Bale Kencur, kita memasuki makam keluarga dan pengikut sunan Bayat. Di kompleks makam ini terdapat dua padasan yang berusia ratusan tahun, yang bernama Kyai Naga. Disebut Kyai Naga karena tempat keluarnya air dari padasan berbentuk kepala naga. Naik lagi ke atas, kita akan sampai pada puncak kosmos pemakaman itu, yaitu makam sunan Bayat. Makam tersebut terletak di dalam sebuah bangunan yang luas dan tertutup (lihat foto bawah), dengan tembok yang tebal. Di dalam ruangan, makam tersebut juga ditutupi oleh bangunan dari kayu, dengan selambu kain warna putih. Sayang aku dilarang mengambil gambar di dalam. Bahkan kita tidak bisa melihat ke dalam untuk melihat makam tersebut. Di sekitar bangunan tersebut juga terdapat senjata tombak dan payung. Mungkin itu adalah pusaka peninggalan Sunan Bayat. Ada sebuah tulisan yang berhuruf Jawa, sayang tidak ada terjemahannya. Aku tidak bisa membaca itu tulisan apa . Mungkin riwayat hidup Sunan, mungkin bisa apa saja.
Tempat wudhu
Sunan Bayat sendiri hidup semasa Sunan Kalijaga (dan Syekh Siti Jenar). Nama aslinya adalah Ki Ageng Pandanarang. Awalnya beliau adalah seorang pejabat tinggi kerajaan dan memiliki kekayaan yang melimpah. Kemudian beliau memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawinya, kekayaannya, dan mengabdikan dirinya untuk syia’ar agama. Beliau menjadi murid Sunan Kalijaga, dan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga diperintahkan untuk berd’awah di daerah Bayat, Klaten. Disinilah Sunan Bayat berda’wah sampai menutup mata. Saat gonjang-ganjing Syekh Siti Jenar, Sunan Bayat masuk sebagai salah satu anggota dalam dewan Wali Songo (baca Syekh Siti Jenar karya Abdul Munir Mulkhan).

Makam Tembayat juga membuktikan satu hal, bahwasanya Islam “ramah” terhadap budaya lokal/asli. Proses da’wah yang asimiliatif, penuh toleransi, dan tanpa kekerasan budaya, ditunjukkan oleh makam Tembayat ini, seperti juga banyak bukti lain seperti Masjid Menara Kudus. Makam ini memberi pelajaran penting bahwa mengajak kepada kepada kebaikan tidak harus melalui kekerasan, pelajaran akan pentingnya toleransi untuk keharmonisan hidup. Makam ini juga menjadi teladan seorang Sunan Bayat yang rela meninggalkan kehidupan duniawi yang penuh kemewahan demi sebuah panggilan nurani untuk kemanusiaan dan pencerahan
.

Selasa, 25 November 2008

Purwokerto, Sebuah Panggilan

Sebuah undangan singkat itu akhirnya membawa kami ke Purwokerto. Sebuah undangan dari kelompok petani yang mengharapkan “bantuan” kami untuk pembuatan biodigester. Ternyata website www.kamase.org sangat efektif untuk membangun komunikasi dengan masyarakat, meski tidak semua masyarakat familiar dengan teknologi internet. Dengan semangat 45, kami datang memenuhi undangan itu, meski belum pernah menginjak tanah Banyumas. Awalnya kami memutuskan ke Purwokerto tanggal 15 – 16 November, tapi karena permintaan yang mendesak, maka kami putuskan untuk memenuhi undangan tanggal 1 – 2 November. Dan berangkatlah kami berdua ke Purwokerto demi sebuah panggilan masyarakat.
Awalnya kami tidak begitu yakin bahwa kami akan bisa memenuhi undangan. Bagaimana tidak? belum apa-apa kita sudah ketinggalan bus yang akan membawa kita ke Purwokerto. Jadinya kita mutusin naik bis ekonomi ke Purwokerto, apapun resikonya, berapapun biaya (waktu)nya. Belum-belum kita udah bayangin betapa stressnya naik bis ekonomi, bukan karena ketidaknyamanan, tapi karena bayangan akan berapa banyak waktu yang kita buang sia-sia karena bis-nya ngetem sana-sini. Sesuai dugaan, bis-nya ngetem di Tasikmalaya sejam, di Banjar setengah jam, di mana lagi aku sampai lupa. Berangkat jam 10 pagi dari Cicaheum, nyampai terminal Purwokerto jam 17.30 sore.
Memang, selama perjalanan kami dihibur dengan pemandangan yang sangat indah. Jalan yang berkelak-kelok, di kiri jalan bukit kokoh menjulang tinggi, kanan jalan lembah dan ngarai yang dalam. Kadang-kadang terlihat hamparan sawah terrasering yang luas, kadang terlihat sungai yang berkelak-kelok. Kadang juga terlihat hutan. Ditambah dengan hujan yang turun seharian, membuat suasana semakin menarik. Kompensasi pemandangan indah menjadikan waktu tempuh menjadi tidak berarti.
Di terminal Purwokerto, kami dijemput ma dua mahasiswa. Satu dari UMP (Universitas Muhammadiyah Purwokerto), dan satunya dari Unsoed (Universitas Jenderal Soedirman). Sesuai dugaanku, mereka aktifis salah satu elemen ekstra kampus. Mereka udah lama kenal dengan pengurus paguyuban petani yang ngundang kami di sana, karena organisasi mereka memiliki kegiatan pemberdayaan masyarakat di sana melalui kegiatan edukasi. Memang seharusnya demikianlah mahasiswa, belajar mengasah kepekaan sosial dan meresponnya untuk mempercepat transformasi sosial, terutama di pedesaan yang transformasi sosialnya lambat.
Berapa lama menuju lokasi? di jalan aku nanya gitu. Kira-kira setengah jam lagi. Ah, syukurlah kalau gitu. Jadi kami bisa segera istirahat. Hari sudah mulai gelap saat kami di jalan. Jalan masih basah setelah siangnya diguyur hujan. Jalan mulai menanjak naik, suara mesin motor menderu seperti merasa berat membawa kami berdua naik. Jalanan benar-benar gelap, kabut mulai turun, jarak pandang terbatas, hanya 3 meter ke depan. Kita benar-benar tidak bisa melihat kiri kanan, yang tampak hanya kegelapan semua. Kondisi ini benar-benar membuat kami musti ekstra waspada. Di tengah jalan, tiba-tiba motor terhenti, karena ternyata kita terjebak tanah longsor. Terpaksa kami nuntun motor sampai keluar dari jebakan longsor, baru melanjutkan perjalanan kembali. Untung kondisi jalan udah mulus. Aku ga bisa bayangin kalau seandainya kondisi jalan rusak parah seperti di daerah Panggang – Gunungkidul. Kami sampai di lokasi setelah menempuh perjalanan selama 1 jam, dengan kondisi seperti itu. Dingin banget.
Ternyata, desa yang kami datangi adalah desa terakhir dan terletak di kaki gunung Slamet di ketinggian 900 m dpl. Desa tersebut berbatasan langsung dengan hutan di sebelah utara. Jumlah penduduk sekitar 200 KK, dan 98% adalah petani dengan tingkat pendidikan yang rendah (rata-rata cuman sampai SD). Sebagian besar pemuda pergi ke Jakarta atau kota-kota besar lainnya mengadu nasib, sementara pemudi dan kaum wanitanya banyak yang menjadi TKI/TKW. Ngga’ heran, meski tingkat pendapatan rendah tapi rumah para petani keliatan bagus dari luar.
Masyarakat masih banyak bergantung pada alam. Sebelum listrik dari PLN masuk, mereka memanfaatkan air sungai untuk membangkitkan listrik. Air melimpah, kayu bakar tinggal mengambil dari hutan. Alam memberikan keberlimpahan, dan mereka memperlakukan alam sebagai bagian dari diri mereka sendiri. Di daerah terpencil ini, ternyata masih ada orang yang peduli terhadap nasib para petani dan warga sana. Selain mahasiswa, para petani di sana dibina oleh seorang alumni Komunikasi UGM angkatan 1993. Komitmennya terhadap pemberdayaan masyarakat di sana sangat tinggi. Malam itu kami bicara panjang lebar tentang pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil, terutama peningkatan kualitas hiudp petani.
Pagi harinya, kami ketemu ketua paguyuban petani di sana. Kami bicara tentang keinginan dan kebutuhan petani disana, danmereka secara terbuka minta bantuan para mahasiswa (kami datang ke sana atas nama mahasiswa, Kamase/Komunitas Mahasiswa Sentra Energi) untuk ikut memikirkan bagaimana mereka bisa mandiri di bidang energi. Ini bukan yang pertama. Sebelumnya mereka udah pernah minta bantuan kepada pemerintah dan lembaga pemerintah lainnya, tapi hasilnya nol. Hanya, sering mereka didatangi oleh banyak lembaga untuk survey (sampe mereka lupa lembaga apa aja yang pernah datang ke sana), tetapi rakyat dan petani di sana ga pernah tahu untuk apa survey itu dan apa tindak lanjutnya. They got nothing, kecuali janji-janji. Dan mereka kayaknya udah jenuh dan bosen.

Setelah ngobrol ma ketua paguyuban, kita melakukan site visit, dimana kita akan membangun instalasi biodigester. Lokasinya lumayan jauh dari permukiman, kira-kira 200 - 250 m, terlrtak di tengah sawah dengan ketinggian lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Tentu saja ini akan jadi tantangan tersendiri bagi kami untuk membuat desain yang efektif dan efisien.
Kami menyanggupi untuk membantu warga di sana. Kami akan menyediakan system dan desain engineeringnya, tetapi untuk masalah implementasi dan pelaksanaanya kami serahkan kepada warga. Inilah pendekatan emansipatif yang sebenarnya, sebuah pendekatan yang mestinya dilakukan dalam proses pembangunan. Selain itu, kami siap mendampingi sampai operasional sistem tersebut, dan kami juga berencana menjadikan desa tersebut menjadi pilot project “Desa Mandiri Energi”. Kami juga akan terlibat secara aktif dalam penyiapan masyarakat (social engineering).
Semoga ini akan menjadi pembelajaran yang sangat bagus bagi mahasiswa, terutama anggota Kamase, agar memahami kebutuhan riil masyarakat, melatih kepekaan mahasiswa (bisa merasa, bukan hanya merasa bisa), dan mau bergulat dengan permasalahan warga, dan yang lebih penting adalah melatih untuk berpikir integratif dan holistis, dengan berbagai sudut pandang, untuk mencapai kearifan puncak sebagai intelektual muda.
Sebelum kembali ke Bandung, aku nyempetin main ke instalasi kincir air pembangkit listrik yang sudah tidak dipakai lagi. Sungguh sangat disayangkan, sebenarnya apabila sistemnya diperbaiki, potensi ini dapat digunakan untuk menggerakkan unit ekonomi kecil dan menengah warga disana, yang aku lihat terdapat penggilingan padi dan usaha koperasi. Setelah itu, kami jalan-jalan menikmati segarnya udara pedesaan dan indahnya pemandangan pegunungan. Ah,,,segernya... Ah, indahnya… Seandainya tiap hari bisa seperti ini.
Matahari semakin tinggi, saatnya kembali ke Bandung. Selama perjalanan ke terminal Purwokerto, kami dapati kenyataan bahwa ternyata jalanan yang kita lewati semalam, yang gelap gulita, ternyata kiri kanan jalan tersebut adalah jurang yang lumayan dalam. Ngeri juga kalau bayangin semalem motor slip kemudian jatuh ke jurang.
Selamat tinggal, Purwokerto. "We shall return", demikian kata Douglas McArthur

Kamis, 20 November 2008

Selamat Hari Pahlawan, Jenderal (bagian terakhir)


Saat agresi militer Belanda II, Soedirman memilih untuk menyingkir dari ibukota RI saat itu (Yogyakarta) dan memimpin perang gerilya, meski sudah diminta oleh Soekarno saat itu untuk istirahat saja di Yogyakarta, mengingat penyakit TBC yang dideritanya dalam masa penyembuhan. Jawaban Soedirman sangat tegas: ”Yang sakit adalah Soedirman, tetapi Panglima Besar tidak pernah sakit”. Sebuah semangat yang luar biasa. Sebelumnya, komando Angkatan Perang diserahkan oleh Soedirman kepada Soekarno sebagai Panglima Tertinggi, untuk melakukan perlawanan. Tetapi Soekarno menolak dan memilih untuk tetap tinggal di Yogyakarta. Sambil berucap:”Jika Panglima Tertinggi tidak bersedia memimpin angkatan perang, maka komando akan dipegang oleh Panglima Besar”, Soedirman memutuskan menyingkir dari Yogyakarta. Dan dimulailah episode panjang kisah gerilya Panglima Besar Soedirman yang terkenal itu.
Kisah gerilya Panglima Besar mirip kisah pelarian Tan Malaka menghindari kejaran penjajah kapitalis. Selalu berpindah dari satu daerah ke daerah lain, dan tidak pernah lama tinggal di daerah yang ditempatinya. Bedanya, Tan Malaka bila tinggal di suatu daerah dalam hitungan bulan, tetapi bila Soedirman tidak pernah lebih dari satu hari. Bila Tan Malaka menghindari kejaran polisi/intelijen lintas negara (Inggris, Belanda, Perancis, AS), maka Soedirman harus menghindari kejaran militer sekutu disertai pesawat-pesawat tempur yang terus meraung-raung sambil menjatuhkan ribuan ton bom. Tapi Jenderal Soedirman selalulolos dari kejaran musuh, dan tak jarang tentara Belanda hanya menyerang daerah-daerah kosong yang sudah ditinggalkan oleh Sang Jendral. Selama gerilya inilah, dengan sakit TBC yang semakin parah (parunya hanya bekerja satu), Sang Jenderal mengoordinasi dan mengatur angkatan perang RI untuk menghadapi tekanan militer Belanda.
Prinsip Jendral Soedirman jelas: Lebih baik di bom atom daripada merdeka kurang dari 100%. Prinsip ini juga dianut oleh partner sejatinya: Tan Malaka. Maka bersama Tan Malaka (terutama dalam Persatuan Perjuangan), Soedirman menolak semua bentuk politik diplomasi yang tanpa didahului oleh pengakuan kedaulatan sebagai negara merdeka. Karena prinsip ini pula, duet ini sering berseberangan dengan politik resmi pemerintah dan negara. Tetapi karena sebagai Panglima Besar yang harus menyatukan elemen bangsa untuk tetap bersatu, maka Soedirman “terpaksa” patuh dan taat kepada politk pemerintah. Bagi Soedirman, tentara adalah alat pemerintah, maka politik tentara adalah politik pemerintah. Bagi Soedirman, posisi ini tentu dilematis. Di satu sisi harus tetap teguh mempertahankan prinsip, tapi disisi lain Soedirman harus mampu meyakinkan anak buahnya bahwa inilah yang terbaik. Hal ini wajar, karena saat itu moral tentara Republik sedang tinggi-tingginya karena kemenangan di banyak front pertempuran. Tetapi dengan kharisma dan wibawa Panglima Besar, bukan hal yang sulit untuk mendinginkan hati tentara republik.
Ternyata, meskipun hanya seorang guru SD, Soedirman memiliki naluri militer yang tajam. Naluri itu ditambah dengan jiwa kebapakan dan sosial yang tinggi (sebagai aktifis Muhammadiyah dan tokoh masyarakat), menghasilkan perpaduan yang sangat dahsyat sebagai Panglima Besar.
Ada hal yang menarik kalau kita ikuti sepak terjang Jenderal Besar Soedirman. Beliau banyak terinspirasi oleh perjuangan Nabi Muhammad SAW. Ketika pasukan Siliwangi harus ditarik mundur dari daerah kantong menuju daerah Republik, maka Soedirman mengistilahkan dengan “hijrah”, untuk menjaga moral pasukan. Bahkan Soedirman sendiri yang menyambut di stasiun Tugu Yogyakarta. Saat Soedirman terkepung di daerah Jawa Timur, beliau menggunakan trik yang sama dilakukan Nabi untuk melarikan diri, yaitu dengan mengelabui musuh dengan Soedirman palsu. Soeparjo Rustam dan Heru Kesser memakai mantel untuk mengelabui Belanda. Dan memang akhirnya Belanda dapat dikelabui.
Soedirman yang selama Gerilya tidak dapat dikalahkan oleh Belanda, akhirnya harus dikalahkan oleh sakitnya. Tetapi sejatinya dia tidak dikalahkan, karena hanya fisiknya saja yang sakit dan digerogoti penyakit, tetapi jiwa dan semangatnya akan selalu merdeka, bebas, tidak tertaklukkan, dan akan terus menginspirasi generasi muda Indonesia untuk terus mengobarkan semangat pantang menyerah berjuang demi rakyat. 29 Januari 1950, beliau menutup mata untuk selamanya di Magelang dan dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kusumanegara, Semaki – Yogyakarta.
Perjuangan Panglima Besar seharusnya menjadi contoh bagi kita semua. Pesan beliau yang saat ini kembali populer adalah: “Rakyat tidak boleh menderita, biarlah kami para pemimpin yang menderita”, seharusnya menjadi refleksi bagi para pemimpin bangsa sekarang. Bukannya malah mengumbar hawa nafsu tanpa malu lagi.
Selamat Hari Pahlawan, Jenderal, dari kami yang selalu mengenangmu…
Maafkan kelakuan para pemimpin kami yang tidak tahu malu itu, Jenderal

Senin, 17 November 2008

Tentang Pahlawanku, Jendral Besar Soedirman

Jenderal Besar Soedirman adalah salah satu tokoh yang sangat kukagumi di Indonesia, selain Ibrahim Datuk Sutan Malaka. Kebetulan keduanya merupakan dwitunggal selain Soekarno – Hatta. Kenapa aku begitu mengagumi Panglima Besar Angkatan Perang RI pertama itu?
Soedirman dilahirkan tanggal 24 Januari 1916 di Purwokerto. Soedirman dilahirkan dari keluarga biasa-biasa saja, bahkan boleh dikatakan dari keluarga tidak mampu. Bahkan mungkin karena saking miskinnya, Soedirman diangkat anak oleh kakak perempuan dari ibunda Soedirman. Kebetulan kakak perempuan ibu Soedirman menikah dengan seorang wedana di daerah Rembang. Karena sejak kecil diangkat anak olehkeluarga priyayi inilah maka Soedirman mendapatkan gelar Raden didepan namanya, sehingga menjadi Raden Soedirman. Meski begitu, kehidupan Soedirman diwarnai oleh kesederhanaan dan kerendahhatian. Ibadah wajib tidak pernah absen, ibadah sunnah menjadi pelengkap ibadah wajib tersebut.
Sebenarnya tidak yang istimewa dalam perjalanan hidup seorang Soedirman muda. Soedirman aktif di persyarikatan Muhammadiyah, organisasi yang dia yakini memiliki posisi dan peran yang strategis dalam membina mental dan karakter serta pribadi masyarakat. Karena itu dia terlibat di Majlis Tabligh dan aktif memberikan pengajian/ceramah di berbagai tempat, mulai dari wilayah Karesidenan Banyumas sampai Cilacap. Bahkan semua dilakukan dengan naik sepeda onthel.
Selain itu, Soedirman muda juga aktif dalam dunia pendidikan. Dia menjadi Guru sekaligus Kepala Sekolah SD Muhammadiyah di daerah Purwokerto. Dia berpendapat bahwa untuk memajukan bangsa yang terbelakang dan membebaskan bangsa yang terjajah adalah melalui pendidikan. Lewat pendidikan pula, dia meyakini kesadaran nilai-nilai kebangsaan dapat ditanamkan. Begitu cintanya pada dunia pendidikan, hingga ketika sekolahnya dijadikan markas oleh tentara pendudukan Jepang, dia berani meminta kepada penguasa wilayah pendudukan untuk memulihkan sekolah lagi. Karena ketokohan Soedirmanlah, Jepang mengabulkan permintaan itu.
Aktifitas Soedirman ditambah dengan kegiatan kepanduan Hizbul Wathan di bawah persyarikatan Muhammadiyah. Aktifitas inilah yang mengenalkan Soedirman dengan disiplin ala militer, sehingga ketika saatnya Soedirman masuk dunia militer, dia sudah tidak asing lagi. Sepanjang hidup Soedirman muda diabdikan untuk persyarikatan Muhammadiyah. Tak heran ketika beliau diangkat sebagai perwira PETA oleh Jepang, beliau sempat menitipkan Muhammadiyah agar “dianget-angetne” (terus dihidupkan).
Semua kegiatan-kegiatan itulah yang membuat Soedirman menjadi tokoh yang sangat berpengaruh di wilayah Banyumas. Soedirman, yang masih sangat muda saat itu (sekitar 26 tahun) sudah memiliki wibawa, kharisma, dan pengaruh yang sangat besar di kalangan rakyat. Rakyat begitu menghormati dan segan kepadanya, bahkan bagi orang tua yang memiliki anak gadis rela antri agar anaknya mau disunting oleh Soedirman muda saat itu. Tetapi hanya seorang gadis yang beruntung mendapatkanya, yaitu Alfiah, putra seorang saudagar kaya sekaligus teman sekolah dan rekan seperjuangan di persyarikatan Muhammadiyah.
Titik balik kehidupan Soedirman muda berubah saat Jepang menyerbu masuk dan Belanda menyerah tanpa syarat pada 8 Maret 1942 di Kalijati, Cilacap. Karena kebutuhan perang, maka Jepang membentuk PETA dan membutuhkan orang untuk dilatih sebagai anggota PETA. Soedirman muda (yang saat itu berusia 27 tahun), karena dikenal sebagai tokoh masyarakat direkrut untuk dididik sebagai calon daidanco (komandan batalyon). Soedirman muda kemudian menjalani pendidikan kilat selama 6 bulan di Bogor untuk menjadi calon perwira PETA. Setelah lulus, Soedirman muda menyandang pangkat Kolonel dan menjadi komandan batalyon PETA di daerah Purwokerto.
Setelah menyandang pangkat Kolonel, kharisma dan wibawa Soedirman semakin besar. Soedirman pernah diminta oleh Jepang untuk memadamkan pemberontakan batalyon PETA di Kroya, dan Soedirman mampu melakukannya tanpa sedikitpun darah yang tumpah. Bahkan, karena besarnya kharisma Soedirman, ketika Jepang kalah perang dan menyerah, hanya di wilayah tanggung jawab Soedirmanlah pelucutan senjata tentara Jepang tidak mengalami hambatan yang berarti, dan jatuhnya korban sia-sia dapat dicegah.
5 Oktober 1945, TKR dibentuk. Panglima Besar pertama adalah Supriyadi. Tapi karena Supriyadi tidak pernah muncul, maka panglima-panglima wilayah mengadakan kongres untuk memilih Panglima Besar yang baru. Lewat pemilihan yang demokratis (pertama kali dalam sejarah militer dunia, Panglima Perang dipilih secara demokratis oleh para panglima wilayah), Kolonel Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar, dan pangkatnya dinaikkan dari Kolonel menjadi Jenderal penuh (bintang 4), dan ini adalah kenaikan pangkat tercepat dalam sejarah militer dunia. Soedirman terpilih menjadi Panglima Besar dalam usia 29 tahun. Terlihat betapa kuat kharisma dan wibawa Soedirman di mata para panglima wilayah (selain karena faktor persaingan antara perwira PETA vs KNIL).
Di waktu yang bersamaan, sekutu (yang diboncengi NICA – Belanda) sudah mendaratkan pasukan di Semarang dan terus mendesak maju hingga ke Ambarawa (di waktu bersamaan pula terjadi pertempuran hebat di Surabaya). Tujuan sekutu adalah menguasai Jogjakarta, sehingga mereka dapat memutus hubungan antara Jawa bagian Barat dan Jawa bagian Timur. Karena kondisi itu, Soedirman belum sempat dilantik dan memilih untuk memimpin pertempuran menahan sekutu di Ambarawa.
Dengan mengoordinasikan pasukan yang ada di Kedu dan Banyumas (barat) dan pasukan yang ada di Salatiga (timur), dan dengan formasi Supit Urang, Soedirman mulai menahan gerakan maju pasukan sekutu yang lebih berpengalaman dan dilengkapi dengan peralatan tempur yang canggih dan jauh di atas tentara Republik saat itu. Palagan Ambarawa menjadi medan yang sangat berat bagi tentara sekutu. Dalam satu hari mereka tidak pernah berhasil maju dalam jarak 2 km. Karena perang yang berlarut-larut dan logistik pasukan sekutu juga dipotong oleh pasukan Soedirman, maka perlahan-lahan pasukan sekutu mulai menarik mundur pasukannya kembali ke Semarang. Meski korban yang jatuh di pihak tentara Republik lebih banyak, tapi tentara kita berhasil memukul mundur pasukan pemenang perang dunia. Dan kemenangan ini membawa nama Soedirman semakin terkenal dan dicintai oleh rakyat.

(Bersambung...)