Minggu, 06 Juli 2008

Membaca SH Mintardja: Nagasasra dan Sabuk Inten,


Bagi diriku sendiri, mungkin nama SH Mintardja dalam dunia kepengarangan di Indonesia masih kalah moncer daripada nama-nama semacam Pramoedya Ananta Toer, Kho Ping Hoo, sampai generasi Ayu Utami ataupun Jenar Mahesa Ayu. Aku membaca karya SH Mintardja-pun baru-baru ini saja, itupun masih terbatas pada karya Nagasasra dan Sabuk Inten, belum sampai pada Magnum Opus-nya Api Di Bukit Menoreh, sebuah cerita yang konon tidak akan pernah berakhir, karena sang penulis keburu meninggal. Api Di Bukit Menoreh dimuat secara bersambung pada harian Kedaulatan Rakyat.
Membaca SH Mintardja sungguh menyenangkan. Setidaknya, bagi orang yang tidak tahu dan tidak begitu peduli dengan segala macam tetek bengek teori sastra. Apakah sebuah bacaan masuk kategori realisme ataukah surealisme, bagaimana teknik penulisannya. Aku tidak peduli apakah karya tersebut mendobrak pakem dunia kepenulisan, menabrak nilai mainstream, mengungkap tabu, dan tetek bengek lainnya. Aku tidak peduli. Justru menurutku ketidakpedulianku pada hal-hal yang “mengiringi” pembacaan karya sastra itulah yang membebaskan diriku dari beban penilaian, sehingga benar-benar menikmatinya. Seni untuk dinikmati, bukan untuk dibuat pusing J.
Dan menurutku disitulah kekuatan SH Mintardja. Ceritanya mengalir seperti sebuah dongeng sebelum tidur, yang sungguh enak untuk dinikmati. Penggunaan bahasa yang sederhana, mampu membangun komunikasi yang efektif dengan pembacanya (bukankah memang tugas bahasa seperti itu, dan jika bahasa “dimodifikasi” sedemikian rupa sehingga terjadi distorsi pesan, apalah gunanya?). Apalagi cerita yang disampaikan merupakan perpaduan antara patriotisme yang dibumbui oleh percintaan yang romantis tapi tidak cengeng, kombinasi yang menarik bukan?. Dan yang lebih penting, sastra sebagai suara zamannya, yang meneriakkan nilai-nilai kebenaran serta nilai-nilai ideal lain yang harus dimiliki oleh manusia, benar-benar dapat diperankan dengan baik oleh SH Mintardja. Sastra sebagai kritik sosial, sebagai juru dakwah pengingat, benar-benar dapat dimainkan secara apik olehnya. Di pena-nya, nilai-nilai usang menjadi semakin semakin usang. Nilai-nilai luhur mendapatkan kembali posisinya yang mulia. Nilai-nilai lama yang luhur tapi dianggap usang dibangkitkan kembali. Dan itulah menurutku fungsi sastra yang sebenarnya, membangkitkan kesadaran dan nurani yang terlena dan terlelap. Dan SH Mintardja menjadi corong zamannya.
Novel Nagasasra dan Sabuk Inten sendiri, berpusat pada tokoh Mahesa Jenar atau Manahan, seorang prajurit Demak yang meninggalkan kesatrian karena idealisme-nya. Bahwa pengabdian tidak harus melalui keprajuritan (dan birokrasi tentunya), membawanya kepada perjalanan yang luar biasa, sebuah perjalanan untuk menemukan pusaka Demak, Kyai Nagasasra dan Sabuk Inten. Pusaka yang dianggap sebagai kewahyon (bila memiliki dua pusaka tersebut dianggap berhak menduduki tahta sebagai Raja Jawa), telah menyeret pihak-pihak yang berkepentingan dengan kekuasaan pada pusaran konflik yang rumit di penghujung kekuasaan Sultan Trenggono, yang merupakan masa transisi dari kerajaan Demak menuju kerajaan Pajang yang didirikan oleh Mas Karebet alias Jaka Tingkir alias Sultan Hadiwijaya. Dan sepertinya memang inilah watak negara/sistem kekuasaan tradisional, dimana proses peralihan kekuasaan bersifat cyclic yang selalu disertai dengan kekerasan. Siapa yang jadi korban? Jawabnya jelas: Rakyat (kalau boleh jujur, sebenarnya pelaku sejarah adalah rakyat, bukan para raja dan ksatria).
Perjalanan panjang Mahesa Jenar benar-benar mengingatkanku pada karya klasik dari negeri Tiongkok, Sin Tiaw Hiap Lie (Pendekar Pemanah Rajawali) karya Chin Yung. Kenapa ? Ada tokoh-tokoh pesilat sakti semacam Pasingsingan, Radit dan Anggara, Ki Ageng Pandan Alas dari Gunung Kidul, Titis Anganten dari Banyuwangi, Ki Ageng Pengging, Ki Ageng Sora Dipayana, Kebo Kenanga, Lowo Ijo dari Nusa Kambangan, Bugel Kaliki, dengan jurus saktinya masing-masing, yang dapat disejajarkan dengan tokoh-tokoh dalam karya Chin Yung seperti Ong Tiong Yang (Dewa Pusat), Ang Cit Kong (pengemis utara, 18 tapak naga), Bhiksu Yi Teng (Kaisar Selatan, jari It Yang Chi), Oey Yok Su (Sesat Timur, penguasa pulau Persik), Oey Yang Hong (Racun Barat, jurus kodok), Ciu Pe Thong, Kwee Ceng, sampai Yo Ko dan Tio Bu Kie.
Dengan setting yang hampir sama (zaman transisi dan perebutan kekuasaan), ceritanya juga tidak jauh berbeda yaitu seputar kepahlawanan/patriotisme. Bagaimana seorang ksatria harus bersikap dan bertanggung jawab terhadap rakyat dan negaranya, dengan menjunjung tinggi kewajiban dan sumpah (jabatan), dan kerelaan berkorban tanpa pamrih, tanpa mengharap pujian, apalagi mengharap jabatan. Bahwa perjuangan yang dilakukannya akan bermuara pada rakyat dan kesejahteraannya. Tidak ada yang lebih tinggi daripada itu. Dibumbui dengan kisah cinta antara Mahesa Jenar dengan Pudak Wangi cucu Ki Ageng Pandan Alas. Sebuah romantisme yang heroic tapi tidak cengeng.
Bukankah dengan kondisi bangsa saat ini yang tengah dikuasai aku-isme (egosentrisme yang vested interested), lunturnya nilai-nilai patriotisme dan kejuangan di kalangan pejabat negara, atau ketika hak lebih ditonjolkan daripada kewajiban yangharus dijalankan, cerita-cerita kepahlawanan tersebut merupakan oase yang mampu memberikan harapan akan adanya mata air yang menyegarkan di tengah kegersangan nilai? Tinggal bagaimana kita meresapi nilai tersebut dan menjadikannnya sebagai sistem nilai dalam diri kita. Mudah dibicarakan tapi sulit dilaksanakan, bukan?

Tidak ada komentar: