Senin, 30 Juni 2008

Stop Kekerasan !!!


Konon kabarnya selama 4000 tahun peradaban manusia, hanya 250 tahun saja yang berlangsung damai. Itu artinya sejarah manusia adalah sejarah peperangan, sejarah kekerasan. Lantas, apakah kemudian kekerasan dapat dibenarkan. Apakah memang watak dasar manusia adalah kekerasan, dengan kata lain manusia menikmati kekerasan?.
Kekerasan dapat dilakukan untuk berbagai tujuan. Penegakan hukum memerlukan kekerasan (pemaksaan) agar dapat berjalan efektif. Untuk memaksakan kehendak juga sangat efektif dengan cara kekerasan. Kekerasan juga mungkin menjadi katarsis yang ampuh atas himpitan-himpitan yang dihadapi, baik persoalan psikologis, sosial, politik, dan ekonomi. Kekerasan juga merupakan pengelolaan konflik yang paling primitif. Sejak Habil dan Qabil memulai pertumpahan darah pertama dalam sejarah manusia.
Kekerasan juga dapat dilakukan atas berbagai alasan. Alasan agama –ini yang paling sering dan yang paling menyeramkan dalam sejarah manusia-, alasan politik, dominasi kekuasaan, alasan ideologis, bahkan kekerasan juga dilakukan atas nama adat dan tradisi –pernah lihat film Apocalypto garapan Mel Gibson, atau kasus KDRT yang tersembunyi rapat-rapat di balik selimut tradisi dan adat.
Untuk alasan apapun, untuk tujuan apapun, kekerasan tetaplah kekerasan. Dan dalam kekerasan ada hak-hak asasi orang lain yang dirampas. Ada ancaman terhadap keamanan dan keselamatan jiwa manusia. Bulan Juni ini, kita disuguhi pementasan kekerasan yang tidak ada akhirnya. Mulai dari insiden Monas (FPI vis a vis AKKBB), insiden UNAS (polisi vis a vis mahasiswa), Geng Nero di Pati (kekerasan a la peer group), dan yang terakhir adalah demonstrasi anarkis menentang kenaikan BBM di Jakarta baru-baru ini.
Apa arti kekerasan-kekerasan yang terjadi belakangan ini?
Apakah ini hanya sekadar refleksi kekerasan ekonomi semata (ketidakadilan ekonomi)
Atau cerminan dari kekerasan politik dari sebuah sistem yang mampet dan diskriminatif?.
Atau hanya gambaran dari runtuhnya bangunan sosial masyarakat yang semakin rapuh di tengah gemuruh pembangunan dan modernisasi di segala bidang?
Atau gejala dekadensi pemahaman terhadap nilai-nilai moral dan etika yang dimiliki bangsa ini, termasuk nilai-nilai agama?
Atau memang kita sudah tidak cukup dewasa untuk memberikan respon secara positif terhadap perubahan-perubahan yang terjadi di sekitar kita?
Mau kemana bangsa dan negara kita (bangsa dan negaraku, bangsa dan negaramu, bangsa dan negara mereka, bangsa dan negara kita, Indonesia)
STOP KEKERASAN !!!

Jumat, 27 Juni 2008

23 Juni 2008

Saat itu aku sedang di rumah untuk memulihkan kondisi dan istirahat –aku punya penyakit liver yang kambuhan. Malam itu pula, seorang kawan lama datang ke rumah. Kawan semasa MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah) serta teman sepermainan dan seorganisasi di IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah). Saat ini dia menjadi salah satu aktifis muda persyarikatan Muhammadiyah di tingkat cabang (kecamatan). Niatnya memang hanya untuk silaturrahim dan menengok sahabat lama yang sedang pulang kampong. Tapi, pembicaraan yang mengalir malam itu memunculkan ironi dan terasa sangat menyedihkan.
Cerita itu bermula dari aktifitas di salah satu amal usaha Muhammadiyah, yaitu pendidikan (maklum, kawanku itu berkecimpung di dunia itu sebagai pendidik). Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah, baik secara kultural maupun sosiologis, kawanku tahu benar apa arti ber-Muhammadiyah, paham benar apa yang menjadi ideologi Muhammadiyah. Karena itu, terlihat keprihatinan yang mendalam di mata kawanku saat berbicara tentang Muhammadiyah saat ini.
Menurutnya, gerakan Muhammadiyah di Sumberrejo terutama dan di Bojonegoro, mulai mengalami stagnansi akibat tercurahkannya energi para aktifisnya pada aktifitas politik. Celakanya, mereka semua bertindak tidak professional dengan membawa-bawa Muhammadiyah dalam kancah politik praktis (pertempuran Pilkada). Irasionalitas politik itu semakin menjadi-jadi dengan pengerahan seluruh potensi amal usaha Muhammadiyah yang ada untuk mendukung salah satu calon bupati. Lembaga pendidikan (Perguruan Muhammadiyah) bahkan harus meliburkan siswanya agar siswa tersebut mengikuti kampanye. Begitu juga dengan amal usaha yang lain seperti PKU/Rumah Sakit dan Panti Asuhan serta potensi-potensi yang ada.
Tak pelak, hal ini memunculkan pertentangan-pertentangan serta konflik antaranggota persyarikatan. Distribusi kekuasaan dan wewenang dalam organisasi yang tidak merata (adanya dominasi beberapa orang dalam organisasi), menyebabkan pertentangan ini semakin meruncing. Sayangnya, kekuatan dominan tersebut lebih dekat kepada kepentingan politik praktis tersebut. Akibatnya bias ditebak, beberapa orang yang tidak sepakat dengan sepak terjang kelompok tersebut, harus rela tersingkir. Banyak diantara mereka yang kemudian mengambil jalur politik lain sebagai saluran politiknya, seperti Hizbut Tahrir dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Kawan saya tidak mengatakan apakah mereka yang tersingkir sudah sampai pada tahap mufaraqah terhadap Muhammadiyah atau tidak.
Yang lebih disayangkan lagi, ternyata ada beberapa orang-orang yang menjadikan Muhammadiyah sebagai batu loncatan terhadap karier dan ambisi politik mereka. Hal yang wajar, karena kekuatan Muhammadiyah yang signifikan di Bojonegoro. Orang-orang seperti inilah, yang menurutku berbahaya sekali terhadap persyarikatan dan harus “disingkirkan” dari persyarikatan agar tidak menjadi kangker yang menggerogoti persyarikatan dari dalam.
Tapi tidak hanya cerita sedih yang diceritakan kawan saya itu. Menurutnya, masih banyak orang-orang yang masih istiqamah dengan kemuhammadiyahan mereka. Orang yang memegang teguh pendirian dan ideologi Muhammadiyah. Orang-orang yang juga sedih melihat sepak terjang “elit lokal” Muhammadiyah dalam kancah politk dan menyeret-nyeret persyarikatan. Orang-orang yang dengan sengaja menjaga jarak dengan kekuasaan. Orang-orang yang menginginkan adanya perubahan, tetapi tidak memiliki kekuasaan untuk itu.
Kepada kawan tersebut, aku tantang untuk melakukan gerakan “pembaharuan” dalam tubuh organisasi pembaharu yang mulai stagnan tersebut. Caranya, rangkul semua kekuatan “progressif”, orang-orang yang masih memiliki pikiran jernih dalam satu barisan. Ajak mereka secara persuasif. Aku kasih kepada kawanku salinan SK PP Muhammadiyah No 61/2008 tentang sikap Muhammadiyah terhadap Pilkada serta SK No 149/2006 tentang konsolidasi aset-aset Muhammadiyah agar terhindar dari politisasi. Kuberikan juga buku Muhammadiyah “Digugat”, agar menjadi referensi dalam penyadaran beberapa aktifis yang sudah mulai kehilangan akal sehat karena godaan kekuasaan.
Gerakannya memang tidak perlu radikal. Yang paling penting adalah membangun kesadaran kembali para aktifis akan kewajiban dan tugas mereka dalam persyarikatan. Bila saatnya nanti, maka tiba saatnya untuk mengambil alih organisasi dan mengembalikan organisasi kepada khittah-nya semula, sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan masyarakat utama adil dan makmur yang diridhai oleh Allah SWT (sesuai dengan AD/ART Muahammadiyah).
Bila saja Kiai Ahmad Dahlan masih hidup, beliau tentu akan sedih melihat Muhammadiyah yang mulai dijadikan alat menuju kekuasaan, bukan alat untuk Fastabiqul Khairat. Masih relevan wasiat Kiai sebelum wafat: Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah. Bila mencari hidup di Muhammadiyah saja sudah menjadi pantangan, apalagi bila mencari kekuasaan di Muhammadiyah.
Tetapi, bukankah dengan demikian kita menjadi lebih kritis dan berpikir, Quo Vadis Muhammadiyah?

Jumat, 20 Juni 2008

Malu


Seorang kawan ngirim email padaku hari ini. Isinya, bercerita tentang majalah Tempo edisi khusus 100 tahun kebangkitan nasional. Isi majalah Tempo tersebut memang secara khusus membahas 100 buku yang mewarnai perjalanan bangsa selama 100 tahun kebangkitan nasional (20 Mei 1908 - 20 Mei 2008), dan kawan tersebut merasa malu sebagai pemuda yang tidak semua karya tersebut dibaca (dan dimiliki). Malu karena ternyata belum semua daerah/wilayah Indonesia belum terjelajahi.
Menurutku, ada beberapa fakta yang mungkin terlewatkan dan semestinya membuat kita lebih malu lagi sebagai generasi muda. Fakta-fakta tersebut adalah usia penulis buku tersebut saat buku tersebut terbit dan memengaruhi gerakan nasionalisme dan perjuangan kemerdekaan.
Bayangkan berapa usia Tan Malaka ketika menjadi agen Komintern (Komunis Internasional) untuk wilayah Asia Tenggara, saat menulis risalah Naar de Republiek Indonesie...26 tahun
Berapa usia Bung Karno saat dipenjara di Sukamiskin dan memberikan pembelaan yang sangat terkenal "Indonesia Menggugat".. .26 tahun
Berapa usia Chairil Anwar ketika meninggal dan meninggalkan karya monumental "Aku Ini Binatang Jalang"...26 tahun..
Berapa usia Semaun ketika mendirikan PKI di Semarang?... 19 tahun
Berapa usia Panglima Besar Sudirman ketika memimpin perang gerilya...28 tahun
Berapa usia Letkol Slamet Riyadi ketika tewas di depan benteng Rotterdam akibat pemberontakan RMS...belum genap 23 tahun
Berapa usia Soe Hok Gie saat menumbangkan Orde Lama...25 tahun
Sementara kita ,,,di usia kita saat ini, apa yang telah kita lakukan
untuk rakyat?
untuk bangsa?
untuk negara ?
Selain ikut melestarikan kekuasaan yang despot !!
Selain ikut melumasi mesin kapitalisme yang menghisap !!
Selain menyuburkan sistem yang menindas !!!
Seperti kata Chairil Anwar: Hidup berarti, setelah itu mati
Maka, seperti kata Widji Thukul : Hanya satu kata, Lawan !!!


Dua hari di Jogjakarta (cerita perjalanan menit ke menit)

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna

(KLa Project)

Kota yang selalu kurindukan dan akan selalu ada dalam hatiku, Yogyakarta. Sejuta kenangan terukir disana dan kepingan itu masih tercecer di sana-sini, menunggu untuk dikumpulkan dan disusun menjadi sebuah cerita kehidupan. Bahagia – sedih, suka – duka, pahit – manis, susah – senang. Ada tugas yang belum tertunaikan. Rindu pada sebentuk kehidupan yang kini mulai langka. Prasasti budaya dan alam yang senantiasa membisikkan rindu kepadaku.
Perasaan inilah yang kembali membawaku ke Jogjakarta minggu kemarin (14 – 15 Juni 2008), sekadar untuk nostalgia dan tetirah. Tetirah dari lelah jiwa yang luar biasa, yang aku pikir hanya kematianlah yang mampu menghapus lelah ini.
Keberangkatanku ke Jogja diiringi oleh kelelahan yang luar biasa, berharap Jogja mampu menghapusnya. Badan yang semakin sulit diajak kompromi, dengan kesehatan yang semakin menurun. Pagi sebelum berangkat, tubuh menggigil dan demam disertai dengan sedikit muntah-muntah. Tapi ternyata tarikan Jogja terlalu kuat untuk dikalahkan oleh kelemahan tubuh ini. Ya, aku curiga liverku kembali berulah.
Keberangkatanku ke Yogya ditemani oleh bayangan celoteh dan omelan beberapa kawan terhadap kondisi Jogja belakangan ini. Yogya sudah berubah, tidak nyaman dan menyenangkan seperti dulu. Apakah Yogya tidak boleh berubah? Bukankah segala sesuatu pasti berubah. Apakah rasa nyaman harus menghalangi sebuah entitas untuk berubah? Aku akan datang sendiri untuk membuktikan ocehan kawan-kawanku, dengan mata kepala sendiri.
Bus itu membawaku pergi dari Bandung tepat jam 19.00 dari peraduannya. The journey has begun…

04.30 pagi…
Bus itu berhenti di perempatan Kentungan, Ring Road Utara Jl. Kaliurang. Langsung udara dingin menyerang tubuhku yang memang sudah mulai kelihatan kelelahan. Bulan-bulan yang sangat dingin kupikir, karena angin musim kemarau dari gunung Merapi turun dengan ganas menyergap siapa saja yang masih terjaga pagi itu. Jalanan masih sunyi, hanya satu dua mobil yang melewati jalanan yang bila siang hari biasanya sangat padat itu. Pria paruh baya mengayuh becaknya ke arah utara sambil menawarkan jasanya padaku. Mungkin pria tersebut sudah tidak tahan dengan dinginnya udara pagi itu, dan memutuskan untuk pergi saja.
Kupencet-pencet HP, mengabarkan kalau aku sudah tiba kepada seorang kawan. “Baik bung, 10 menit lagi”, begitu jawabnya. 10 menit, waktu yang tidak lama. Tapi di tengah udara dingin ini? Maka kuputuskan untuk menunggu sambil nongkrong di depan ATM Mandiri. 30 menit kemudian, datang juga kawanku itu. Aduh bung, 30 menit lagi kaubiarkan aku menunggu, bisa membeku aku. Ayo kita shalat…(motor itu membawaku ke masjid Blimbingsari)

06.30…
Time to breakfast…maka kuputuskan untuk makan gudeg di pinggir Jakal. Tempat makan yang kusukai, sambil lesehan di pinggir jalan menikmati matahari pagi di jalanan Jogja. Gudeg yang masih diolah dengan tangan-tangan tradisional mbok-mbok Jogja menawarkan kelezatan yang tidak biasa. Kali ini aku sengaja datang lebih pagi, karena pernah agak siangan dikit sudah tidak kebagian gudeg yang menurutku emang tidak kalah ma gudeg wijilan ataupun gudeg Permata yang legendaris itu.
Ah, terasa nikmat setelah sarapan pagi, tubuh terasa lebih segar. Ah, tubuh ini masih saja menggigil. “Aku dah di kos, bro. Tak tunggu”. SMS berbunyi yang memaksaku segera beranjak dan menuju kos seorang kawan yang baru datang dari Jakarta, untuk “konsolidasi”.

08.00…
Kita meluncur ke plaza KPTU fakultas teknik UGM untuk bertemu kawan-kawan dari Kamase. Tanpa mandi, tanpa gosok gigi, tanpa parfum, cukup dengan cuci muka pakai air minus sabun. Wajah kelelahan masih terlihat, tapi antusiasme dan semangat tinggi menyamarkannya. Sampai disana beluma da orang. Ah, dasar orang Indonesia.
Banyak yang berubah pada wajah KPTU Fakultas Teknik. Lantai sudah menjadi keramik, sehingga sebuah prasasti bertuliskan “Ariel Maniez, Fisika Teknik ‘00” di lantai sebelumnya telah sirna hehehe... Di sana-sini mahasiswa menenteng laptop dan browsing ke dunia maya. Sangat jauh berbeda dengan saat aku kuliah dulu. Tapi aku senang, itu artinya terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.
Pertemuan dimulai. Pertemuan itu sendiri merupakan respon atas isu yang berkembang dalam organisasi Kamase tentang Kamase Care dengan Kamase di kampus. Isu lama sebenarnya, dan kita selalu mengulang dan mengulang terus permasalahan ini. Menurut saya, persoalan utamanya adalah pada masalah komunikasi antargenerasi, serta belum adanya mekanisme baku dalam organisasi (aku lebih suka menyebutnya sebagai paguyuban, karena memang sifat kekeluargaan lebih kental daripada struktur yang hierarkis dan kaku di dalamnya). Tapi tidak apa, ini kuanggap sebagai dinamika organisasi yang memang meniscayakan perubahan sebagaimana bentuk-bentuk eksistensi yang lain di ala mini. Justru bila tidak ada dinamika seperti ini malah membuat aku khawatir.
Aku juga sangat bangga, saat organisasi yang kami rintis 7 tahun yang lalu ternyata masih tetap eksis dengan berbagai prestasi yang gemilang (salah satunya meraih penghargaan internasional Mondialogo Engineering Award). Bertahan sampai 4 generasi, suatu hal yang tidak pernah kami sangka-sangka sebelumnya, mengingat organisasi ini merupakan “organisasi tanpa bentuk”, dalam arti tanpa struktur organisasi yang baku dan sumber daya (ekonomi) yang tetap. Tetapi kami punya visi dan misi yang melampaui zamannya, setidaknya untuk ukuran mahasiswa.
Maka dalam forum tersebut, kita sepakati beberapa hal, yaitu :
1. Komunikasi akan semakin dibuat intensif. Kawan-kawan mahasiswa selalu memberikan laporan kegiatan kepada alumni, agar para alumni dapat mengetahui sejauhmana gerakan mahasiswa di kampus. Demikian juga alumni akan melaporkan aktifitasnya pada kawan-kawan di kampus agar kawan-kawan di kampus juga mengetahui aktifitas para alumni.
2. Pembagian peran yang jelas antara kawan-kawan di kampus dalam organisasi alumni, sehingga ke depan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya syak wasangka tidak muncul ke permukaan. Dan alumni tidak sering-sering turun gunung menyelesaikan permasalahan (it’s okay,,,I love JogjaJ)
3. Dalam waktu dua minggu ke depan, akan diadakan outbound untuk semakin mempererat ukhuwah antara alumni dan kawan-kawan di kampus yang terbentang jarak generasi yang lebar. Selain sebagai jembatan antargenerasi, juga untuk transfer pengetahuan, cita-cita, visi dan misi organisasi kepada generasi baru agar memiliki militansi dalam perjuangan.
4. Akan dibuat beberapa program yang sifatnya pemberdayaan mahasiswa, untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa. Diantaranya adalah perpustakaan dan pelatihan bagi anggota Kamase. Perpustakaan ini nantinya akan berisi literatur-literatur yang tidak terdapat di kampus, tetapi benar-benar dibutuhkan dalam dunia nyata sehari-hari. Pelatihan ini lebih pada sharing pengalaman alumni dalam dunia kerja, terutama yang berkaitan dengan energy terbarukan.
Sudah jam 11.00, saatnya pertemuan diakhiri, karena sobatku harus pulang ke Solo. Urusan keluarga (Selamat bro, aku ikut bahagia untukmu). So, perjalanan dilanjutkan menuju tempat penginapan Wisma PU di depan IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Sudah ada yang menungguku disana.
Bersambung....

Rabu, 18 Juni 2008

Suluk Jalan Terabas Gus Miek


KH. Hamim Jazuli atau biasa dipanggil Gus Miek, adalah ulama besar dari Ploso, Kediri yang terkenal karena kenylenehannya dan "daya linuweh" yang dimilikinya. Sebagian orang mengategorikan putra ketiga KH. Ahmad Jazuli Usman ini sebagai wali Allah. Beliau terkenal dengan majlis semaan al-Quran Dzikrul Ghafilin dan saat bersamaan suka keluar masuk tempat pelacuran dan diskotik. Minumannya bir hitam (kata Gus Dur), rokoknya aja Wismilak yang berat. "Mereka juga butuh untuk mengenal Tuhannya, mendapatkan kasih sayangNya, bukan hanya orang-orang yang ke Masjid saja", demikian prinsip Gus Miek ketika ditanya kenapa sering keluar masuk cafe, diskotik, dan tempat pelacuran.
Ajaran-ajarannya dirumuskan dalam "dalan terabas" alias jalan singkat (shortcut) menuju Tuhan. Prinsipnya yang terkenal : Jika ingin dekat dengan Allah, maka dekatilah orang-orang yang dekat denganNya. Hal ini tentu saja memunculkan polemik tentang prinsip tawassul dalam ajaran agama Islam, tetapi Gus Miek sebagai orang yang menguasai ilmu agama, juga memiliki alasan yang tetap dilandaskan pada al-Quran dan Hadits.
Gus Miek, ditengah kontroversi yang melingkupi kehidupannya, tetaplah sosok yang selalu dirindukan oleh umat, tidak hanya oleh umat Islam, tetapi juga nonmuslim karena memang pendekatan dakwah beliau yang "tidak biasa", pendekatan kemanusiaan yang dilakukannya, dan memang demikianlah seharusnya, ulama adalah pencerah kemanusiaan (secara umum, bukan hanya untuk umat Islam).
Buku ini memuat prinsip-prinsip untuk mencapai Tuhan dengan lebih cepat, tetapi tetap dilandasi oleh Al-Quran dan Hadits, yaitu jalan thariqat tanpa melupakan aspek Syari'ah dan Fiqh, serta dhawuh-dawuh (petuah) yang disampaikan Gus Miek kepada para muridnya. Dhawuh yang dalam tradisi pesantren (ta'lim muta'alimat) sangat dipegang teguh oleh santri sebagai bentuk ta'zhim mereka pada Kiai.

Selasa, 17 Juni 2008

Tidak Harus Demo Untuk Menjadi Peka


Rakyat yang melihat para mahasiswa mungkin dalam hatinya berkata “ Biarlah kita yang bekerja dan membayar pajak untuk membiayai pendidikan mereka, para mahasiswa, karena saya yakin kelak mereka, para mahasiswa akan bekerja untuk kita, rakyat kecil”.
(Soe Hok Gie)

Beberapa hari ini, banyak sekali demonstrasi dilakukan oleh sekelompok massa terutama menyangkut isu kenaikan BBM dan harga barang. Sebagian besar dilakukan oleh kelmpok mahasiswa. Berbicara tentang aksi, entah itu aksi massa yang melibatkan demonstrasi massa besar-besaran, ataupun aksi-aksi yang lainnya, seperti aksi mogok makan, sejuta tanda tangan, dan lain-lainnya, tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks munculnya aksi tersebut. Aksi massa (baca:demonstrasi), seringkali muncul karena adanya kebijakan penguasa yang merugikan, kebijakan yang mencoba mengintervensi ruang-ruang publik dalam rangka menancapkan hegemoni mereka atas rakyat dan memantapkan posisi mereka. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa pada akhirnya demonstrasi menjadi pilihan yang rasional karena efektifitasnya dalam menciptakan kekuatan tandingan pada kekuasaan tersebut. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kekuatan massa mahasiswa dalam gerakan ‘98 mampu menumbangkan rezim yang saat itu mustahil dijatuhkan. Dan dalam konteks sosio politik seperti itu, dimana kekuatan sipil harus berhadapan dengan kekuasaan yang korup dan lalim, demonstrasi masih menjadi modus yang relevan, bahkan efektif.

Dalam konteks yang berbeda, demonstrasi harus berkompromi dengan keadaan. Seperti saat ini misalnya, dimana rakyat semakin bosan dengan aksi massa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap nasib mereka, bahkan mungkin pikiran lugu rakyat telah menganggap bahwa aksi yang dilakukan menyebabkan kenaikan harga, menciptakan instabilitas keamanan, yang pada akhirnya juga hilangnya rasa aman pada rakyat. Diperparah lagi dengan fobia penguasa terhadap aksi massa yang menjadikan mereka semakin represif terhadap berbagai aksi massa, perlu sebuah kreativitas dalam melakukan perlawanan, agar perlawanan tidak berhenti.

Demonstrasi sebagai wujud kepekaan sosial
Sebagai bagian kecil dari masyarakat yang berkesadaran, yang oleh Soe Hok Gie disebut dengan happy few selected, mahasiswa dituntut untuk lebih proaktif dalam menyikapi perubahan-perubahan sosial yang terjadi disekitarnya. Perubahan sosial yang terjadi tidaklah selalu mulus dan berjalan sesuai dengan apa yang diidealisasikan, tapi terkadang mengalami deviasi yang sangat besar. Dan adalah tugas mahasiswa, sebagai elan vital bangsa ini untuk kembali meluruskan kembali hal tersebut. Dan untuk melakukan hal tersebut, diperlukan sebuah kesadaran kritis sosial, bukan sekadar kesadaran kognitif, tapi juga menyentuh pada level kesadaran afektif maupun psikomotorik. Dan inilah yang kita sebut dengan kepekaan sosial, sense of crisis.

Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan untuk menyatakan keprihatinan terhadap kondisi sosial yang ada disekitar kita yang tidak sesuai dengan idealitas, tapi sekali lagi hal tersebut perlu ditempatkan pada tempatnya yang sesuai dengan konteks secara proporsional. Tidak harus dengan demo untuk merubah sebuah kebijakan publik, tapi bisa juga dengan cara lain. Untuk sebuah kebijakan yang jelas-jelas telah merugikan rakyat, seperti misalnya kenaikan harga BBM, TDL, maupun rekening telepon, aksi massa besar-besaran masih menjadi salah satu cara yang efektif untuk merubah kebijakan tersebut. Kenapa? karena kebijakan menaikkan harga BBM sangat terkait dengan kebutuhan riil rakyat yang mustahil berubah jika hanya dilakukan seminar, debat publik, atau apapun bentuk aksi yang tidak disertai dengan tekanan. Dan demonstrasi adalah pilihan yang sangat realistis dan efektif untuk tujuan jangka pendek dalam merubah kebijakan publik yang merugikan. Jelas bahwa demonstrasi adalah salah satu wujud kepekaan dan kepedulian kita terhadap realitas sosial yang timpang yang terjadi di sekitar kita.

Dalam konteks yang berbeda, diperlukan sebuah kreatifitas dalam melakukan aksi dan perlawanan. Seperti misalnya pada kasus penggusuran yang beberapa waktu lalu marak. Demonstrasi tidak lagi menjadi mutlak sebagai wujud kepekaan sosial, tapi mahasiswa bisa mengambil langkah lain dalam perlawanan. Misalnya terlibat aktif bersama-sama dengan LSM / NGO dalam kegiatan advokasi, bisa juga mengumpulkan bahan kebutuhan sehari-hari untuk membantu mereka yang tergusur. Justru dengan terlibat secara aktif melalui kegiatan advokasi, gerakan perlawanan bisa lebih efektif dan masyarakat tergusur lebih terbantu daripada dengan menggunakan cara demonstrasi.

Reformulasi Gerakan Mahasiswa
Untuk tujuan perubahan jangka panjang yang fundamental, para aktivis tidak cukup hanya dengan mengandalkan aksi massa. Perlu dicari sebuah pola-pola gerakan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat (civic empowerment). Mahasiswa nantinya tidak hanya melakukan gerakan-gerakan yang bersifat reaktif sporadis yang hanya akan menimbulkan resistensi dari rakyat, tapi sebuah gerakan yang sistematis, terarah, kontinu dan simultan menuju perubahan. Proses penyadaran tidak harus melalui demonstrasi, tapi bisa juga dengan cara lain. Demonstrasi sebagai sebuah media untuk mencapai tujuan jangka pendek sangat efektif, tapi tidak untuk jangka panjang.

Sebuah perubahan meniscayakan proses penyadaran yang berlangsung terus-menerus dan berlangsung dalam waktu yang tidak singkat. Proses itu tidak hanya lewat demonstrasi-demonstrasi, tapi juga melalui penguatan masyarakat sipil (civil society) dan proses demokratisasi disegala bidang, baik itu sosial, politik, ekonomi, pendidikan, maupun budaya. Media tersebut dapat berupa kelompok-kelompok kreatif mahasiswa, NGO/LSM, serta bentuk-bentuk aktifitas lain yang langsung menyentuh pada persoalan kemasyarakatan sehari-hari. Kelompok kreatif mahasiswa perlu banyak didukung dan dikembangkan. Kamase (Komunitas Mahasiswa Sentra Energy) dari Teknik Fisika UGM misalnya, setelah berhasil menjadi 10 besar dunia (major winner) dalam ajang Mondialogo Engineering Award yang diadakan UNESCO dan Daimler Chrysler (www.kamase.org), mendapatkan dana hibah untuk melaksanakan proyek pengadaan air bersih untuk masyarakat di daerah kekurangan air. Saya melihat, kelompok-kelompok sejenis tumbuh subur di UGM, tinggal bagaimana kita mengorientasikan aktiftas mereka untuk rakyat. Bukan sekadar masturbasi intelektual belaka, dan hanya menjadikan mereka sosok di menara gading kehidupan. Tapi juga sebagai intelektual organik (meminjam istilah Mansour Fakih) dan terlibat langsung dalam persoalan riil masyarakat.Di lapangan inilah para mahasiswa bisa memainkan peranan lebih banyak dari sekadar demo di jalanan. Setidaknya, melalui usaha penguatan dan pemberdayaan masyarakat, peran mahasiswa lebih terasa manfaatnya bagi rakyat tertindas. Dan mungkin ini sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Soe Hok Gie dari para mahasiswa.

Kamis, 12 Juni 2008

Siapa yang merusak citra Islam?

Kalau kita padankan kata citra dengan image, dalam kamus Inggris image berarti the way that people consider someone or something to be. Atau dengan kata lain citra adalah cara orang untuk melihat sesorang atau sesuatu itu seperti apa. Dan cara pandang itulah yang akhirnya mendefinisikan seseorang atau sesuatu itu seperti apa (to be). Pada akhirnya, pencitraan itu sangat dipengaruhi oleh cara seseorang atau sesuatu tersebut menampilkan dirinya. Disini, ada dua moda bagaimana sebuah bentuk eksistensi itu dipahami. Yang pertama adalah bagaimana sebuah eksistensi menampilkan dirinya. Dan yang kedua adalah bagaimana yang lain (the other/liyan) melihat dan memahami eksistensi tersebut. Dengan demikian, citra belum tentu sama dengan bentuk yang sebenarnya (das ding an sich). Terlihat bahwa ada kesenjangan antara pengetahuan sejati dengan presepsi indrawi (yang kadang-kadang dicitrakan sebagai kebenaran sejati)
Islam, sebagai salah satu bentuk eksistensi (atau bagian dari sistem tanda dalam strukturalisme de Saussure), juga terikat dalam ruang dan waktu, yang pada akhirnya menyediakan dirinya sebagai medan perebutan makna. Disinilah kemudian muncul konflik dalam menafsirkan sistem tanda (simbol) untuk melahirkan apa yang dinamakan hegemoni pengetahuan (meminjam istilah Antonio Gramschi). Islam, yang diklaim bersumber dari kebenaran wahyu, dalam penafsirannya tidak pernah tunggal. Tafsir tunggal hanya terjadi pada zaman Rasulullah Muhammad SAW. Kembali, teks-teks suci menjadi medan perebutan makna. Apakah kemudian mau ditafsirkan secara politis, sosiologis, antropologis, filosofis-hermeneutis, tentu saja sangat bergantung kepada penafsir dan kepentingan serta latar belakangnya (sosial budaya dan politik/lokalitas). Dalam prosesnya tidak jarang muncul ketegangan-ketegangan. Pencatutan ayat suci Al-Quran dalamkampanye serta kecenderungan-kecenderungan penggunaan ayat suci untuk legitimasi perbuatan adalah salah satu kecenderungan itu.
Kalau kita yakini, Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh semesta alam. Tuhan (Tauhid), sebagai pusat dari sistem keyakinan ini digambarkan Maha Segala-galanya, tetapi yang sangat dominan adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Kasih Sayang-Nya melampaui kemurkaan-Nya. Sifat yang sangat feminin tentunya. Sifat Tuhan yang demikian agung dan transenden tersebut beremanasi dalam ajaran-ajaranNya yang antroposentris (untuk siapa Al-Qur’an diturunkan? Untuk Tuhan?). Bahwa kemudian perbuatan manusia akan selalu kembali kepada manusia sendiri, itulah dictum pokoknya. Untung rugi yang digambarkan dalam terminologi pahala-dosa sebenarnya juga akan kembali kepada manusia, bukan untuk Tuhan. Tanpa disembah-pun, Tuhan tidak kehilangan ke-Maha Besar-anNya. Manusia berbuat dosa dan kerusakan-pun Tuhan tidak kehilangan Kekuasaan-Nya. Dan bukankah Al-Qur’an hanya sebagai Al-Furqan (pembeda) dan Adz-Dzikr/pengingat (ingat,,pengingat,,itu berarti bahwa manusia sudah memiliki pengetahuan a priori tentang baik dan buruk). Dan tidak ada paksaan dalam beragama (Laa Ikraha fi ad-dien). Dan tidaklah diutus Rasul Muhammad kecuali hanya sekadar menyampaikan dan mengingatkan. Maka tindakan kekerasan atas nama agama, apalagi atas nama Tuhan, tidak pernah dibenarkan. Tuhan tidak perlu dibela, demikian kata Gus Dur
Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Maka Islam memerintahkan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Maka Islam memerintahkan beramal sholeh (setiap kata dalam al-Quran setelah beriman selalu diikuti amal sholeh/’amanu billahi wa ‘amalan shalihan). Apakah amal sholeh itu, yaitu semua perbuatan yang menurut Al-Quran dan nurani adalah baik, seperti birrul walidain (berbakti pada orang tua), menyantuni anak yatim, zakat untuk mustahiq, bekerja dan berjihad, berkurban, serta masih banyak jenis perbuatan lain yang tidak dijelaskan eksplisit asalkan diniatkan karena Allah semata maka menjadi amal sholeh.
Lalu bagaimana bila seseorang berbuat dosa/maksiat? Yang pertama, biarlah itu menjadi urusan Tuhan dengan si pembuat dosa, Biar Tuhan yang memperhitungkan kelak di yaumul hisab. Yang kedua, dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara, biarlah negara (yang diwakili pemerintah) mengambil tindakan terhadap pembuat dosa tersebut. Apa kategori dosa dalam konteks ini? Yaitu perbuatan yang memiliki potensi merusak keutuhan dan keharmonisan masyarakat, yang diatur dalam Undang-undang. Jadi sudah ada aturannya, termasuk siapa yang berwenang menindak pelanggaran UU tersebut. Persoalan apakah kemudian aparat yang berwenang berat sebalah atau tidak tegas harus dipisahkan dari kaidah/prinsip kita bernegara dan berbangsa.
Dalam ber- ‘amar ma’ruf nahi munkar juga ada prinsipnya. Bila kita punya kekuasaan (yang diatur dan didelegasikan oleh UU), maka kita berkewajiban. Bila tidak mampu, dengan lisan. Dan bila masih tidak mampu, maka dengan doa dalam hati (selemah-lemah iman). Dan bermusyawarahlah kalian dalam segala urusan, demikian sabda Nabi. Jadi, menurutku, kekerasan bukanlah watak asli Islam. Kekerasan hanya diijinkan apabila rumah/tanah air/wilayah kita diserang oleh musuh dan kita terusir. Wala taqtulun nafsa al-lati harrama Allahu illa bi al-haq, jangan membunuh manusia tanpa hak (hak mematikan hanya milik Allah). Kekerasan/perang, kata Gus Dur lagi, hanya diijinkan apabila umat Islam dalam kondisi terusir (dari wilayahnya/baldat bukan daulat) dan tidak dapat melaksanakan kewajiban agamanya. Kekerasan/perang hanya diwajibkan untuk membela diri dan kemanusiaan. Jadi Islam memang mengenal kekerasan, tapi tidak sama dan identik dengan kekerasan. Demikianlah Islam yang kupahami (kucitrakan) sebagai Islam rahmatan lil ’alamin.
FPI sebagai bagian dari kelompok (ummah) Islam menggunakan pendekatan kekerasan dalam gerakan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Pendekatan inilah yang saya kira merusak ajaran Islam sebagai rahamatan lil ‘alamin. Ajaran luhur Islam ditampilkan dengan wajah yang sangar, sadis, dan kejam, tanpa mengindahkan tata aturan yang berlaku di negara. Maka yang tampak oleh orang awam, atau katakanlah yang belum mengetahui ajaran Islam sebenarnya, melihat dan menyimpulkan ajaran Islam adalah ajaran yang sarat dengan kekerasan, dan melakukan pendekatan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Bagi orang yang sudah memahami ajaran Islam, tentu akan kecewa karena citra agamanya dirusak sedemikian rupa.
Ahamdiyah, yang saya tahu juga tidak tunggal. Dua kelompok besar yang saya ketahui, yaitu Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore memiliki pendapat berbeda tentang kenabian. Bila kemudian benar bahwa sesudah Nabi Muhammad ada Nabi lagi (yaitu Mirza Ghulam Ahmad), maka jelas bahwa dalam dirinya sendiri Ahmadiyah sudah keluar dari kelompok Islam yang bertauhid La Ilaha illa Allah, Muhammad ar Rasulullah. Bagaimana penyelesaiannya? Yang pertama, biarkan umat Islam sendiri yang menyelesaikan melalui “institusi” yang ada (perlu dicatat bahwa umat Islam tidak mengenal lembaga/institusi keagamaan otoritatif semisal ke-Paus-an seperti dalam Katholik Roma). “Institusi” tersebut, yaitu menurut saya adalah edukasi/pendidikan pada masyarakat melalui pemahaman yang benar tentang Islam. Disini, peran ulama/kyai sangat penting. Yang kedua adalah melalui proses hukum dengan delik penodaan agama. Dengan penempelan embel-embel Islam pada Ahmadiyah, kelompok (ummat) Islam yang merasa tersakiti dengan hal tersebut, dapat mengajukan gugatan atau tuntutan kepada pengadilan, apabila mau persoalan ini dibawa ke ranah pidana penistaan agama. Disini, pemerintah dan kepolisian harus bertindak cepat dengan merespon tuntutan tersebut agar tidak mengarah kepada tindakan anarkis. Menurut seorang kawan yang kebetulan sarjana hukum, peristiwa kekerasan ini terjadi karena pemerintah dan kepolisian lambat dalam merespon kegelisahan masyarakat. Katanya lagi, tidak diperlukan prosedur tertentu untuk delik penodaan/penistaan agama sebagaimana kita mau mendaftarkan gugatan perkara ke pengadilan.
Tetapi di sisi lain, dalam gerakannya Ahmadiyah justru menggunakan pendekatan nonkekerasan. Mereka banyak terlibat dalam gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan. PIRI (Persatuan Islam Republik Indonesia) telah memiliki banyak sekolah mulai dari SD sampai SMA, bahkan memiliki beberapa pendidikan tinggi untuk ikut dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka juga terlibat aktif dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Di Bogor, aktifitas bersama warga setempat dengan aktifis Ahmadiyah justru menunjukkan sebuah hubungan yang harmonis, yang membuktikan bahwa perbedaan “ideologi” bukan penghalang dalam hidup bersosial. Meskipun, menurut saya pribadi, mereka telah keluar dari Islam, tetapi justru dalam aktifitas sehari-hari mampu menampilkan citra diri sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bi ash-shawab

Senin, 09 Juni 2008

Arsitektur Nusantara dan Penemuan kembali kebudayaan kita


Pertama kali mengenal Prof. Eko Budihardjo justru bukan sebagai seorang arsitek, tapi sebagai seorang sastrawan, terutama melalui puisi-puisi karyanya, bersama-sama Sapardi Joko Damono, Abdul Hadi WM, Taufik Ismail, dan Sutardji Cholzum Bachri. Belakangan, saya mengenal Eko Budihardjo juga sebagai ahli tata ruang dan perencanaan kota serta seorang arsitek yang juga rektor Undip. Beberapa bukunya tentang kota di Indonesia belakangan turut menghiasi lemari buku dan menambah khasanah pemikiranku, bagaimana seharusnya sebuah kota berkembang dan hidup. Sosok yang sangat idealis, dan pemikirannya yang menempatkan manusia sebagai episentrum perencanaan dan pembangunan mengingatkanku pada Soedjatmoko, intelektual merdeka Indonesia yang berkaliber dunia serta rektor pertama Universitas PBB di Tokyo.

Sementara Prof. Josef Prijotomo (foto kanan), pertama kali mengenalnya dari media (Kompas), yang saat itu mengupas tentang bukunya tentang arsitektur rumah Joglo (rumah Jawa). Guru besar arsitektur ITS ini mengampanyekan tentang perlunya pemahaman yang komprehensif serta kearifan rumah Joglo, serta bagaimana hitungan-hitungan Jawa (petungan) memiliki makna kosmologis dalam masyarakat Jawa sekaligus sebagai simbolisasi dari harmonisasi dengan makrokosmos. Bukunya saat itu (kalau tidak salah, saat aku semester akhir kuliah) benar-benar menarik perhatianku. Meskipun aku sudah berusaha mencarinya (saat itu) tetapi aku belum bisa menemukannya.

Itulah pertemuan intelektual singkatku dengan dua maestro tersebut. Puji Tuhan, akhirnya kesempatan untuk bertatap muka dan bicara secara langsung dengan dua maestro tersebut kesampaian. Kembali, dalam seminar nasional tentang Arsitektur Tradisional. Selain mereka berdua, hadir pula DR. Djauhari (Pusat Dokumentasi Arsitektur), Prof. Yuswadi Salya (ITB), Prof Ananto Yudono (Unhas Makasar), Prof. Yulianto Sumalyo (UI-Jakarta). Tanpa mengesampingkan profesor yang lain, bagiku ide segar dan menarik datang dari Eko Budiharjo dan Josef Prijotomo, karena memberikan tantangan dan pertanyaan yang sifatnya sangat mendasar.

Eko Budihardjo, dalam ceramahnya menggugat peran arsitektur yang memiliki peran dalam “menghancurkan” arsitektur di Indonesia yang cenderung men-dehumanize masyarakat Indonesia dan meng-alienasi masyarakat dari akar budaya. Menurutnya, dalam merancang, para arsitek tidak punya “idealisme” dalam membangun, dan merancang hanya untuk duit dan sesuai pesanan. Form follows fulus, katanya. Hal ini pula yang banyak disampaikan dalam buku-bukunya, dimana arsitek hanya cenderung merancang memenuhi kepentingan kaum kapitalis birokrat yang menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi (baca: akumulasi kapital). Manusia hanya menjadi aspek sekunder atau bahkan tidak masuk variabel dalam perancangan. Alienasi, kriminalitas, kesenjangan, adalah buah perencanaan yang tidak mengindahkan faktor manusia.

Hal inilah, menurutnya penyebab arsitektur tradisional dipandang sebelah mata. Semuanya dilihat dari kacamata untung-rugi, dan bukan fungsionalitas sebagai produk budaya masyarakat. Akhirnya, ruang tidak lagi dipahami dalam konteks budaya tetapi sebagai satuan fungsi ekonomi (ah, di zaman kapitalis seperti ini apa sih yang tidak di komersialkan. Ruang yang sangat privat-pun/seks di kapitalisasi, apalagi hanya rumah). Nilai-nilai budaya dalam arsitektur tradisional-pun lenyap bak di telan bumi terhisap dalam gelombang keserakahan kapitalisme.

Bagaimana memulainya, itulah pertanyaan yang perlu diajukan pada Prof. Eko Budihardjo. Jawaban atas pertanyaan ini tidak mudah, mengingat struktur ekonomi dan budaya kita yang memang sudah ter-hegemoni oleh pandangan kapitalis yang serba massif. Apakah harus dimulai dari para arsitek? Memang, menurut saya arsitek perlu memiliki idealisme tentang bentuk-bentuk yang menempatkan manusia sebagai pusat kosmologis perancangan. Tetapi hal itu tidak mudah, karena asitektur bekerja sesuai dengan kebutuhan. Lantas, apakah kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan ekonomi saja? Apakah kebutuhan budaya tidak merupakan kebutuhan. Ini tentu saja akan berbenturan dengan pemahaman terhadap ruang itu sendiri. Selama ruang dipahami sebagai satuan fungsi ekonomi, maka selama itu pula arsitek akan bekerja untuk kepentingan ekonomi. Maka, yang paling masuk akal adalah pengembangan arsitektur tradisional di wilayah rural, dimana ruang masih dipahami secara tradisional.

Maka Prof. Josef Prijotomo memberikan pandangan yang menarik, bagaimana seorang arsitek seharusnya bekerja. Menurutnya, perlu perubahan paradigma (weltanschauung) atau sudut pandang yang radikal, yaitu menempatkan arsitektur tradisional (Josef lebih suka menggunakan istilah arsitektur nusantara) sebagai “the other/liyan” (meminjam istilah Jean P. Sartre) dari arsitektur Barat. Menurutnya, corak dan karakter arsitektur tradisonal sangat berbeda jauh dengan arsitektur Barat, akibat perbedaan iklim dan musim. Arsitektur tradisional sebagai pernaungan, sedangkan asitektur Barat sebagai lindungan. Dua hal yang berbeda, ibarat pohon kelapa dan pohon cemara, tidak bisa dibandingkan, hanya bisa disandingkan.

Satu hal yang menjadi keprihatinan Josef adalah sudah 50 tahun lebih sekolah arsitektur, tapi hanya sedikit yang membahas tentang arsitektur tradisional. Itupun hanya mata kuliah arsitektur tradisional dengan literature yang sangat minim. Hanya ada satu buku yang dijadikan acuan, yaitu Sejarah Arsitektur Tradisional karangan DR. Djauhari. Tentu saja ini hal yang ironis, ketika arsitektur tradisional masih belum dianggap sebagai karya arsitektur dalam kacamata arsitektur Barat. Yang harus diingat, Barat bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan arsitetur di dunia. Karena itu, perlu perubahan yang radikal terhadap pandangan arsitektur di Indonesia, terutama berkaitan dengan arsitektur tradisional. Bahkan, mengutip Romo Mangun, semestinya kita tidak perlu memakai istilah arsitektur (yang bikinan Barat itu), tetapi istilah yang benar-benar khas nusantara, yaitu Wastu Citra. Itulah, ketika kekuasaan pengetahuan menjadi hegemoni Barat, dan kita benar-benar belum bisa lepas dari pandangan Barat sepenuhnya. (Kita masih terjajah dalam pengetahuan).

Yang menarik lagi adalah perlunya pengetahuan antropologis dalam disiplin ilmu arsitektur. Ini sejalan dengan apa yang digaungkan oleh Eko Budihardjo, bahwa manusia dan seluruh aktifitasnya adalah sumber perencanaan. Objek kajian antropologi, yaitu manusia dan kebudayaannya, semestinya menjadi bahan pertimbangan utama dalam perencanaan arsitektur (atau wastu citra) agar kebudayaan manusia tetap mengambil jalan yang kontinu, tidak terpotong. Sehingga proses dehumanisasi dan alienasi dapat direduksi atau dicegah. Dan inilah yang seharusnya membedakannya dengan arsitektur Barat.

Maka pertanyaannya adalah, manusia dan kebutuhannya senantiasa berubah. Apakah dengan perubahan manusia dan kebutuhannya tersebut, tidak memengaruhi pola hunian yang berarti akan memengaruhi pola arsitektural hunian. Apakah dengan konsep dasar arsitektur tradisional mampu mengakomodasi kebutuhan manusia yang tiap waktu bertambah dan kompleks?. Atau kita perlu mendefinisikan ulang (redefinition) apa itu wastu citra?

Persoalan kedua, apabila memang perlu adanya kuliah arsitektur tradisonal dalam sekolah arsitektur, sejauh mana persiapan tersebut. Sepengetahuanku, sebelum (Alm) Prof. Koesnadi mengawali kuliah hukum lingkungan, beliau perlu mennyiapkan bahan ajar kuliah hukum lingkungan, dan menyiapkannya butuh waktu bertahun-tahun. Memang akhirnya berhasil, dan salah satu faktor akselerasinya adalah jabatan Prof., Koesnadi di Dirjen Dikti saat itu. Tetapi untuk Arsitektur Tradisional? Dalam pembicaraan dengan Prof. Yuswadi Salya di bandara, saya menangkap nada pesimis dari beliau tentang proyek ini. Untuk buku ajar sendiri, sebenarnya sedang disusun tapi terhenti di tengah jalan. Salah satunya adalah kendala dana, kebijakan buku yang tidak kondusif, serta dukungan yang kurang. Para penulis sendiri, seperti Prof. Yosef P, Prof. Eko Budihardjo, dkk sudah menyiapkan dan mengumpulkan bahan tersebut. Sangat disayangkan bila proyek tersebut gagal, mengingat para penulis dan orang-orang yang konsen dengan arsitektur tradisional mulai uzur.

Persoalan selanjutnya adalah konservasi arsitektur tradisional. Selama ini, upaya konservasi hanya pada dokumentasi dan program konservasi lain seperti museum, kawasan konservasi, dsb. Belum ada upaya yang lebih menyentuh substansi konservasi. Hanya beberapa bagian di Indonesia saja yang memertahankan tradisi dengan arsitektur tradisional, seperti Tana Toraja misalnya. Rumah Joglo di Kota Gede Jogja banyak yang berpindah tangan ke pemilik asing. Bahka, dalam kunjungan saya ke benteng Somba Opu kemarin terdapat salah satu rumah tradisional yang dimiliki oleh orang Jerman. Bagaimana rumah tradisional dapat membuat penghuninya memiliki ikatan batin, emosional, dan budaya dengan ruang yang ditempatinya, disitulah menurutku konservasi seharusnya dilakukan. Jadi, bukan sekadar benda museum. Mekipun demikian, langkah DR. Djauhari dengan Pusat Dokuentasi Arsitekturnya perlu mendapat apresiasi dan harus terus dikembangkan.

Jika dulu Bung Karno pernah berpidato “Penemuan kembali revolusi kita” yang akhirnya jadi Manifesto Politik yang juga akhirnya menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN), maka terbersit ide dalam pikiran : “Penemuan kembali kebudayaan kita”. Mumpung masih dalam rangka 100 tahun kebangkitan nasional. Lihatlah berapa banyak obat tradisional kita menjadi darah dan daging dalam tubuh kita. Dokter lebih percaya dengan obat kimia dari Barat serta metode dari Barat daripada kearifan bangsa dalam memandang tubuh sebagai satu kesatuan dengan prinsip keseimbangan yang paripurna. Atau berapa banyak diantara kita yang bangga dengan kebudayaan kita. Saya percaya, kebudayaan kita adalah kebudayaan adiluhung, pengetahuan kita adalah pengetahuan yang tidak kalah dari bangsa Barat, yang mampu mengantarkan bangsa kita menjadi bangsa yang unggul (khaira ummah). Kritik Mochtar Lubis dalam orasi kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki 3 (tiga) dekade yang lalu masih tetap relevan dan perlu sebagai cermin diri. Melepaskan diri dari paradigma deterministik Newtonian menuju paradigma holistik, sebagaimana dimiliki oleh kebudayaan dan pengetahuan (local indigenous) kita.

Dominasi Belanda dan kebudayaannya selama 3 (tiga) abad lebih telah membangun watak inlander dalam diri kita. Sebuah kesadaran yang tertanam jauh dalam alam bawah sadar kita. Maka saatnya bangkit dengan Penemuan Kembali Kebudayaan Kita. Jika Eropa mampu bangkit dari kegelapannya dengan semangat penemuan kembali kebudayaan dan pengetahuan Yunani kuno (renaissance), saya percaya kita mampu melakukan hal serupa. Jika Eropa mampu menyingkirkan mitos dan menciptakan masyarakat ilmu, kita bisa juga melakukannya (menurut Kuntowijoyo, kita masih ada di tahapan masyarakat ideologi, belum masyarakat ilmu). Penemuan Kembali Kebudayaan Kita akan menjadi lentera dan panduan dalam kebangkitan nasional menuju bangsa yang jaya. Sekarang tinggal kemauan kita. Bagaimana?