Sabtu, 31 Mei 2008

Tentang Kematian



Belakangan ini aku selalu berpikir tentang kematian. Apakah karena kematian adalah sesuatu yang paling dekat dengan kita tetapi kita hanya tidak pernah menyadari kehadirannya. Dan saatnya sekarang aku manyadarinyaSetiap detik dan waktu aku merasa kematian begitu dekat denganku. Saat naik angkot, terlintas dalam pikiran angkot yang kunaiki mengalami kecelakaan. Saat naik motor, terbayang menabrak sesuatu yang merenggut nyawaku.
Aku bukan orang yang beriman yang selalu merindukan kematian. Tetapi terkadang aku ingin kematian segera datang menghampiriku dan membawaku pergi dari kesia-siaan hidup. Mungkin ini karena ketidakstabilan jiwaku. Atau jangan-jangan kematian memang sudah menantiku, dan berharap aku menyapa dan menerima ajakannya (Siapa aku?, hehehe). Tapi mungkin saat dia menyapa dan memaksaku ikut dengannya, aku mungkin takkan siap. ”Apakah kamu tidak merindukan-Nya”, tanya sang kematian. ”Apakah Dia merindukanku?”....
Kematian menghapuskan semuanya, termasuk penderitaan. Kematian membawa pertemuan, bahkan yang dulu bermusuhan, meskipun pertemuan itu terjadi di pekuburan. Kematian pula yang akan mengantarkan air mata terkasih ke tanah yang masih basah oleh bau wewangian. Kematian pula yang mengkahiri kehidupan sekaligus mengawali kehidupan yang baru. Yang senantiasa menderita (di dunia), berharaplah pada kehidupan baru yang lebih indah dan bahagia.
Sebagaimana kehidupan, kita tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan. Memilih menjadi anak siapa, bangsa apa, dan menjadi apa. Begitu juga kematian. Kita tidak bisa memilih cara kita mati. Tapi seandainya aku diijinkan oleh Tuhan untuk memilih bagaimana aku harus mati, maka Tuhan ijinkanlah aku mati dengan cara-cara seperti ini:
1. Aku ingin mati dalam pelukan sang alam. Aku ingin mengulangi sejarah yang dialami oleh Soe Hok Gie ketika harus menerima kematian di puncak Semeru. Alam, begitu agung. Dalam pelukan keagungan sang alam, mungkin kematianku akan menjadi sangat agung dan sangat indah, lebih indah dari larik puisi sang kala.
2. Aku ingin mati sebagai martir yang membela kepentingan rakyat tertindas. Aku kembali ingin mengulang sejarah Arif Rahman Hakim atau Elang yang tewas tertembus peluru aparat komprador penindas. Lihatlah, darah suci telah membasahi tanah pertiwi, dan mati dalam pelukan Sang Ibu terasa sangat khidmat kudus, dan sahdu.
3. Aku ingin mati saat aku sedang bersujud kepadaMu wahai Kekasih, bersujud mencium Kaki-Mu yang Maha Suci. Bersujud alam keheningan malam. Bersujud di tempat yang Kau sucikan.
Tetapi aku tahu bahwa aku tidak diberi hak untuk memilih bagaimana aku harus mati. Karena itu sebelum waktuku tiba, kadang aku berpikir banyak hal yang harus kulakukan. Hal-hal yang belum pernah kulakukan atau sudah lama sekali tidak kulakukan. Sebelum tiba sesal.

Kamis, 29 Mei 2008

Tombo Ati




100 tahun kebangkitan nasional, bangsa ini tak pernah berhenti menjadi.
Riak-riak kecil dan besar mengiringi langkah bangsa menuju kemerdekaan dan kebebasan sejati. Kebebasan dari penderitaan, penjajahan, penindasan, penjarahan, pemerkosaan, penghisapan, baik oleh bangsa sendiri maupun bangsa asing, baik lewat intervensi langsung maupun cengkeraman VOC-VOC baru.
Kemiskinan, kemelaratan, kebodohan, masih akrab ditengah-tengah masyarakat kita. Kriminalitas, kerusuhan, katarsis sosial dan psikologis yang berujung pada anarkisme, seperti menyembunyikan wajah asli bangsa yang santun dan lemah lembut.
Yang lain lebih memilih menekuri nasibnya yang dari hari ke hari semakin sengsara, dan pasrah. Sebagian lebih memilih kematian sebagai cara mengakhiri penderitaan.
10 tahun reformasi, bangsa ini tak pernah berhenti menjadi
Yang kaya makin kaya yang miskin makin miskin.
Di pojok kampung antri sembako dan minyak tanah, di lantai mall ada antrian ayat-ayat cinta.
Di pinggir jalan dan jembatan orang beringsut memohon belas kasihan untuk seribu rupiah, bahkan lima ratus rupiah, di sana, di atas lantai dansa orang-orang sibuk berdansa-dansi memuaskan hasrat.
Di sana, satu kampung makan nasi aking. Disini, uang dibuang-buang untuk McDonald dan kawan-kawannya.
Inikah wajah kemajuan kita? Inikah wajah bangsa kita? Yah,,bangsa kita tidak pernah menjadi, tapi memang benar-benar masyarakat imagi.
Mari, kawan-kawan, kita rileks sesaat dan merenungkannya sambil mendengarkan apa yang disampaikan Kyai Kanjeng dalam Tombo Ati.

Kepada engkau yang menyimpan kesengsaraan dalam kebisuan
kepada engkau yang menangis dalam batin karena dikalahkan,
karena disingkirkan diusir ditinggalkan
atau karena sangat sangat susah untuk bertemu yang namanya keadilan
aku ingin bertamu ke lubuk hatimu saudara-saudaraku
untuk mengajakmu istirah sejenak
mengendapkan hati dan bernyanyi
mengendapkan hati dan bernyanyi
saudara-saudaraku sesama orang kecil di pinggir jalan
sedulur-sedulurku di dusun-dusun,
di kampung-kampung perkotaan,
karib-karibku di gang-gang kotor,
di gubuk-gubuk tepi sungai yang darurat
atau mungkin saudara-saudaraku di rumah-rumah besar
atau di kantor-kantor mewah namun memendam semacam keperihan diam-diam
aku ajak engkau semua sahabat-sahabatku,
saudara-saudaraku untuk menarik nafas sejenak
untuk bersandar
atau membaringkan badan
kuajak engkau menjernihkan pikiran
untuk menata hati, menemukan kesalahan-kesalahan kita
untuk tidak kita ulangi lagi
atau meneguhkan kebenaran-kebenaran untuk kita perjuangkan kembali
ayolah saudara-saudaraku...
Rileks....

Tombo ati iku ono lima perkoro
kaping pisan...
moco qur'an sak maknane
kaping pindo...
shalat wengi lakonono
kaping telu...
wong kang sholeh kumpulono
kaping papat...
weteng siro ingkang luwe
kaping limo...
dzikir wengi ingkang suwe
salah sawijine sopo biso ngelakoni
insya Allah Gusti Pengeran Ngijabahi....

Selasa, 27 Mei 2008

Jakarta, Mei 2008


Sekian lama tidak ke Jakarta di akhir pekan, membuatku merasa ingin sedikit bernostalgia dengan Jakarta (huek…). Dan masih sama, selalu panas, penuh sesak dengan jejalan manusia dengan urusannya masing-masing. Ga peduli kiri kanan, “This is my world”, mungkin kayak gitu kira-kira apa yang mereka pikirkan. Larut dan tenggelam dalam alam pikiran masing-masing sambil bergegas mempercepat langkah.
Jakarta, masih menampakkan wajah angkuh dan sangarnya, siap menerkam pendatang yang tidak berbekal apa-apa. Banyak gedung baru akan, sedang, dan baru selesai dibangun. Di Cawang, di MT Haryono (maaf..hanya rute itu yang selalu kulewati saat ke Jakarta) ada gedung megah baru berdiri. Jakarta, masih menjadi tujuan manusia kurang beruntung merajut mimpi, yang pada akhirnya ditelan mimpi buruk tanpa bisa bangun lagi. Hirup pikuk masih, seolah lupa (ah, bangsa ini memang mudah terkena amnesia) dan seolah-olah luka yang terjadi persis 10 tahun lalu itu tidak memengaruhi kesombongan Jakarta. Mungkin memang Jakarta terlalu besar hanya untuk digores puluhan bahkan ratusan nyawa yang melayang. “Setiap revolusi selalu memakan anak kandungnya sendiri”, mungkin itu pembelaan pemilik nama lama Batavia ini.
Diatas bus, seorang kakek dengan baju compang-camping masuk sambil membawa gendang. Matanya sudah rusak sebelah, lengan kanannya bengkok (mungkin pernah patah dan tidak punya biaya untuk berobat, akhirnya cacat seumur hidup), kulit hitam legam terbakar panasnya Jakarta, dan tubuh kotor penuh debu asap kendaraan Jakarta yang tiap hari bikin semrawut Jakarta. Hanya suara terbata-bata ah…ah…ah… saja yang keluar dari mulutnya (sepertinya memang gagu), tangan mulai memainkan gendang. Suara dan gerakannya menimbulkan rasa iba dan memunculkan kegelisahan, alangkah banyaknya orang kurang beruntung di Jakarta ini. Dan sepertinya tiap orang sibuk dengan urusan masing-masing, dan lupa (ah,,,amnesia lagi) bahwa sang kakek juga manusia (bukankah esensi manusia itu tunggal?). Kukeluarkan uang seribu (maaf kek, saat itu aku cuman memberi segitu) untuk rasa iba itu.
Ya,,,itulah tiap ke Jakarta ada perasaan keterasingan di tengah jutaan manusia yang membanjiri Jakarta tiap hari. Gambaran yang sangat melodramatic tentang Jakarta digambarkan dengan sangat baik oleh Korrie LAyun Rampan dalam puisinya yang berjudul “Jakarta” (Nyanyian Kekasih, 1981)

Hari-hari keasingan
Memintas diri
Angin kota berdesingan
Menimpuk mati
Gedung-gedung menjulang
Rimba ramai yang sepi
Orang-orang berebut matahari
Mengusung bulan
Membawa uang mimpi pulang
Di bawah langit yang sepi
Kuinjak bumi, kutatap wajah diri
Asing dan sendiri

Atau dengarlah "Jakarta menunggu diusir nasib" dari Darmanto Jatman

Dari Jakarta

Bisa kucium bau sunyi London

Mengapung di bak mandi

Mengguyurku dengan

Rasa sunyi yang dingin

Dan tak kenal belas kasihan

Diantara nyanyi butung-burung

Matahari pagi

Dan bulan bundar sekeping

Erangan kucing pacaran

Dingin kabut

Dan es yang keras lengket di kudukku

- Aku amat sendiri

Tuhanku

Biarkanlah cawan itu lewat dar mulutku

(garuda Indonesia memang biasa terbang sendirian

- Tak usah heran kenapa)

Tapi bebek yogya mana bisa jalan tidak iring-iringan

- Silakan bertanya kenapa)

- Gusti

Hamba merasa

Amat sendiri !!


Kapan kota kita bisa menjadi lebih manusiawi???

Senin, 26 Mei 2008

Akhirnya naik juga



Akhirnya harga BBM naik juga, setelah isu tersebut ditiupkan pemerintah sejak beberapa hari yang lalu. Isu yang sangat sensitif dan memicu berbagai keresahan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. Belum harga BBM dinaikkan, harga-harga sudah melambung tinggi, BBM terutama minyak tanah, bahkan elpiji menghilang dari pasar. Sementara, pendapatan masyarakat tak kunjung meningkat, bahkan cenderung menurun ditengah ketidakpastian ekonomi ini. Demonstrasi terjadi dimana-mana, baik pada skala kecil maupun besar, ditunggangi kepentingan politik atau tidak, bahkan disertai tindakan represif aparat terhadap para demonstran yang sebagian besar adalah para mahasiswa dan ibu rumah tangga. Seorang buruh di Jakarta dengan hanya penghasilan Rp. 972.000/bulan (UMP DKI Jakarta) dengan harga minyak saat ini saja sudah tidak bias memenuhi kebutuhan konsumsi dasar, apalagi jika harga BBM sudah dinaikkan. Entah darimana lagi sang buruh harus memenuhikebutuhan hidupnya yang kian hari kian membengkak.

Akhirnya harga BBM naik juga. Dengan dibacakan oleh anggota kabinet yang dikomandoi oleh Sri Mulyani (Menkeu), pemerintah menaikkan harga Premium Rp. 6000,-, solar Rp. 5500,- dan minyak tanah Rp. 2500,-. Maka lengkaplah penderitaan rakyat Indonesia di bawah pemerintahan bangsanya sendiri, dan tidak lebih baik daripada pemerintahan bangsa asing (VOC/Hindia Belanda). Maka sia-sialah tujuan proklamasi bangsa, melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa. Kemiskinan akan semakin bertambah, beban hidup semakin berat, harga-harga melambung tinggi, pendapatan tetap, bahkan berkurang karena nilai uang yang semakin rendah. Tragedi busung lapar akan kembali terulang, nasi aking akan menjadi santapan pokok sebagian besar rakyat miskin. Biaya produksi, biaya distribusi/ transport akan meningkat (belum termasuk pungli aparat kepolisian ataupun dinas perhubungan setempat), angkot naek, nasi padang dan warung tegal juga ikut naek, bahkan mungkin harga jarum per batang juga naik kayaknya. Perusahaan gulung tikar, pengangguran merajalela. Bila sudah demikian, ikatan sosial masyarakat melemah. Potensi konflik sangat besar, perut yang lapar sangat mudah terprovokasi. Kerawanan sosial meningkat. Siapa yang paling menderita?. Rakyat. Apakah pemerintah tidak pernah berpikir dengan efek domino (multiplying effect) yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM dengan berakibat pada penderitaan rakyat, dan lebih memilih mengatakan :”bahwa yang melakukan demo mendukung subsidi untuk orang kaya”. Mulutmu harimaumu.

Tidak adakah jalan yang lebih bijaksana selain menaikkan harga BBM?. Entahlah, aku bukan ahli ekonomi yang mengetahui seluk-beluk ekonomi makro atau mikro, APBN, tingkat inflasi, dan tetek bengek lainnya. Yang aku ketahui bahwa adalah bahwa APBN bocor beratus-ratus triliun kepada para konglomerat untuk likuiditas Bank Indonesia (wow…bukankah mestinya dana tersebut bisa digunakan menambal deficit APBN akibat harga minyak dunia yang melambung?, entahlah…). Yang aku tahu hutan kita tiap jam habis seluas 6 kali lapangan bola dan kerugian Negara pertahun mencapai 200 Triliun rupiah. Atau ikan kita diperairan nasional yang dibiarkan dijarah nelayan asing dan merugikan Negara puluhan triliun tiap tahun. Dan yang aku tahu, rakyat kita sudah sangat menderita, danjangan ditambah lagi penderitaan tersebut.
Entahlah, rupanya pemerintah lebih suka mengorbankan kaum buruh tani dan rakyat miskin untuk menjadi tumbal salah urus negara daripada harus repot-repot ngurus pengemplang BLBI dan penjarah hutan dan laut kita (maklumlah, pembantu presiden kan kebanyakan pengusaha/kapitalis). Sejarah juga mengajarkan pada kita, betapa kaum buruh tani dan rakyat kecil selalu menjadi korban kelas diatasnya, sejak jaman feodalisme sampai aristokrasi borjuasi VOC dan Hindia-Belanda. Semua karena posisi politik kaum buruh tani yang lemah (Ong Hok Ham).

Akhirnya harga BBM naik juga. Dan pemerintah kembali menggunakan pola lama yang terbukti gagal, Bantuan Langsung Tunai (BLT). Apakah pemerintah sudah benar-benar bebal dan tidak mau menarik pelajaran dari kegagalan BLT sebelumnya? Atau memang sengaja lebih memilih menjadi keledai yang terantuk pada lubang yang sama dua kali? (siapa pemimpin keledainya?). Yah, meskipun jumlahnya tidak sama, hanya sedikit ditambah beras dan minyak goreng, tetapi apalah artinya jumlah uang Rp. 100.000/bulan di kala semua kebutuhan hidup meningkat. Nilai uang Rp. 100.000 di tahun 2005 tentu saja berbeda dengan tahun 2008. Untuk makan saja dalam seminggu sudah habis (di Jakarta), apalagi untuk sewa rumah, bayar listrik, kesehatan anak, pendidikan, dan entah kebutuhan apalagi. Apa yang diharapkan dari itu kecuali pembodohan, peninaboboan, dan kalau istilah teman-temanku di kampus: penjontrongan sistematis (sampai sekarang aku tidak tahu apa arti penjontrongan itu, tapi sepertinya berarti penelantaran atau melemparkan seseorang kepada masalah baru) terhadap masyarakat.

Bandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh BLT, selain ketidakmampuan BLT menyelesaikan permasalahan mendasar masyarakat, adalah gesekan-gesekan yang muncul di kalangan rakyat. Ada yang mendapat dan ada yang tidak mendapatkan BLT. Apa yangterjadi, sungguh dapat diduga. Ribut, kisruh, saling curiga, kecemburuan, pertengkaran, dan retaknya hubungan sosial antarmasyarakat. Siapa yang menjadi korban?. Rakyat. Bukankah persatuan dan kesatuan serta nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial yang sehat merupakan salah satu modal dasar pembangunan Indonesia. Sangat disayangkan kalau kita kehilangan itu semua karena jumlah materi yang tidak seberapa.

Kapan Indonesia bangkit? Itu mungkin bisa terjadi kalau SBY-JK turun tahta dan diganti pemerintahan yang progresif. Apakah kita membutuhkan sosok-sosk seperti Hugo Chavez, Evo Morales, Fidel Castro, atau Mahmoud Ahmadinejad? Entahlah, mereka belum teruji dimasyarakatnya (tapi setidaknya mereka berani berdiri bersama rakyat).
Apakah kondisi saat ini mengharuskan adanya revolusi sosial (revolusi proletarian ala bolshevisme atau maoisme)? Kesan kita akan revolusi selalu mengerikan dengan jatuhnya banyak korban. Bila perubahan dapat tercapai tanpa revolusi, kenapa tidak?. Tapi bila revolusi adalah keniscayaan, untuk mencapai sana kita membutuhkan sang pemimpin yang menguasai teori revolusi dan mempraksiskannya pada kondisi Indonesia. Kita butuh sang pemimpin semacam founding father Tan Malaka, selain organisasi proletarian yang kuat yang akan memandu revolusi, organisasi yang dapat meningkatkan posisi politik kaum buruh tani dan murba sehingga menjadi the ruling class.

Maafkan kami para pahlawan, kami gagal mengemban amanatmu untuk memajukan bangsa ini di bawah pemerintahan bangsa sendiri. Pengorbananmu seolah sia-sia belaka. Darah yang mengalir, keringat yang tumpah, harta benda yang hilang, menjadi tidak bermakna. Sempat terbersit pikiran: “Kembalikan saja negara ini pada Belanda, mungkin bisa lebih baik kondisinya” Tetapi aku yakin kalian pasti akan marah mendengarnya. Aku tidak mau menambah kekecewaan kalian, wahai para pahlawanku…

Jumat, 23 Mei 2008

Tentang Peneliti


To be or not to be, ungkapan yang sangat terkenal dari William Shakespeare beberapa abad lampau dalam sebuah dramanya Hamlet. Sebuah ungkapan yang sangat sederhana tetapi memiliki makna yang sangat dalam. Menurutku, menjadi peneliti adalah persoalan to be or not to be, bukan to have or have not.

Pada pertemuan (atau lebih tepatnya “pengarahan”) dengan Pusbindiklat (Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan) LIPI beberapa waktu yang lalu, ada beberapa persoalan yang mendasar yang harus diperhatikan dalam kepenelitian. Persoalan mendasar tersebut adalah orientasi penelitian. Orientasi ini berkaitan erat dengan motivasi, dan motivasi merupakan landasan penting untu menjadi (to be) seorang peneliti. Orientasi ini penting, karena semua yang akan dilakukan oleh seorang peneliti dalam meniti jenjang karier kepenelitiannya sangat bergantung kepada motivasi dan orientasi tersebut. Dan tentu saja berpengaruh secara langsung terhadap kualitas kepenelitian tersebut.
Sekarang bayangkan saja, dalam pertemuan tersebut, yang dibahas adalah keuntungan menjadi peneliti yang dapat merangkap jabatan ganda, tunjangan yang besar, usia pensiun yang lebih lama, karier di tangan sendiri, pencapaian angka kredit, kemudahan mencari angka kredit, kenaikan pangkat yang cepat (bahkan mampu sampai IV-e/setara jabatan menteri) dan melulu semua-mua yang berbau keuntungan materialistis. Apakah kemudian tidak ada orientasi yang lebih agung seperti kebahagiaan, atau sesuatu yang lain yang abstraks yang tidak dapat dinilai dengan materi?

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal tersebut, sejauh kemudian hal tersebut mampu menjadi motivator yang besar untuk seorang peneliti. Memang, harus diakui, dunia kepenelitian di Indonesia masih belum mendapatkan tempat dan penghargaan yang selayaknya, baik dari pemerintah maupun masyarakat (kelompok lain). Dan persoalan tunjangan, jabatan rangkap, dan sebagainya mungkin dapat menjadi stimulan untuk menjadi peneliti. Tetapi, apabila kemudian stimulan itu justru yang menjadi faktor fundamental seseorang menjadi peneliti, akan membawa kepada beberapa konsekuensi, diantaranya:
1. Kualitas kepenelitian yang rendah
Karena motivasi dasar adalah kemilau materi (tunjangan, kedudukan), bukan tidak mungkin karya tulis yang dihasilkan asal-asalan. Asal aku dapat kredit (poin), dan status kepenelitianku ga dicabut, masa bodoh dengan kualitas tulisan. Kan dah dapet tunjangan, kreditku meningkat, naik pangkatku cepat, masa bodo dengan kualitas tulisan/peneliti. Apalagi kalau penelitian tersebut orientasinya adalah orientasi proyek. (waduh...jadi berabe neh...). Lalu, apa manfaatnya untuk rakyat? Kayaknya laporan penelitian yang kayak gini bila ditumpuk dapat nganter kita ke bulan, tanpa harus merancang pesawat ulang-alik hehehe...
2. Peneliti hanya menjadi ”jago kandang”
Karena kemudahan dalam mengumpulkan kredit, maka peneliti hanya akan menjadi ”jago kandang” dan ibaratnya katak dalam tempurung. Gimana tidak? Tiap lembaga riset pasti menerbitkan jurnal. Dan tulisan peneliti di jurnal tersebut kemungkinan besar dimuat dalam jurnal tersebut. Dapat kredit, dan kembali ke motivasi awal tadi, akhirnya masa bodo dengan kualitas. Akhirnya peneliti tersebut pekerjaannya ya hanya menulis, diterbitkan sendiri, dibaca sendiri, terus ketawa sendiri, hahahaha..... Apakah peneliti seperti ini yang kita harapkan?
3. Pemborosan
Ya karena uang yang dikeluarkan ga sebanding dengan hasilnya, itu kan dinamakan pemborosan uang negara to...

Memang belum ada penelitian yang menjelaskan adanya korelasi antara stimulan yang materialistik dengan motivasi yang spiritualistik, apakah sejalan atau berlawanan arus. Tapi mudah-mudahan, dengan stimulan yang murni materiaistik tersebut dapat muncul gairah dan semangat spiritualistik dari kalangan peneliti. Dan etika peneliti tidak hanya menjadi onggokan prasasti yang tidak bermakna.
Apapun itu, yang pasti, ketika seseorang sudah terjun dalam lembaga riset, maka ”Cintailah apa yang kamu lakukan, jangan hanya melakukan apa yang kamu cintai”, karena menjadi peneliti adalah persoalan eksistensi, to be or not to be.

Rabu, 14 Mei 2008

Fort Rotterdam, oleh-oleh dari Makasar


Benteng itu berdiri megah dengan menghadap ke arah pantai. Aku bisa membayangkan betapa angkuhnya bangunan kolonialisme tersebut, saat didirikan berabad-abad yang lalu untuk menandingi kebesaran benteng Somba Opu milik kerajaan Gowa. Belum masuk benteng aku sudah mulai membandingkan dengan benteng Vredeburg di Yogyakarta (kebetulan yang terakhir ini sudah sangat akrab bagiku, karena dulu sering mendatanginya saat ada pertunjukan seni dan budaya disana). Tentu saja, Fort Rotterdam jauh lebih besar dan lebih megah daripada benteng Vredeburg, padahal, menurut dugaanku usia Fort Rotterdam lebih tua daripada Vredeburg. Fort Rotterdam sudah ada sejak zaman VOC, dan pernah direbut oleh Sultan Hasanuddin (untuk sementara dan sesaat) dalam pertempuran besar di Makassar (VOC saat itu bersekutu dengan Aru Palaka), sementara Vredeburg dibangun untuk membendung pengaruh Kesultanan Yogyakarta yang secara de jure dan de facto baru ada setelah perjanjian Gianti tahun 1755 (masa akhir VOC, yang dibubarkan tahun 1799). Usia Fort Rotterdam mungkin hanya kalah dari benteng Batavia.

Masuk ke dalam benteng, akan membawa kita kepada pemahaman bagaimana ekspedisi bangsa Eropa membangun kolonialisme di tanah seberang. Benteng, berfungsi utama sebagai tempat perlindungan utama terhadap kepentingan-kepentingan koloni yang baru terbentuk tersebut. Perlindungan terutama dari kekuasaan pesaing-pesaing terdekat, dalam hal ini adalah dari kerajaan Gowa yang telah dulu berkuasa di daerah Makasar. Sebagai tempat berlindung, Fort Rotterdam boleh dibilang sangat kokoh, dan mustahil ditembus untuk ukuran zaman itu. Kenapa? Yang pertama, desain benteng tersebut sangat kokoh. Dibangun dari batu gunung dengan tebal tembok rata-rata 3 meter dan setinggi 3 meter, mustahil ditembus oleh meriam (kuno) kaliber terbesar sekalipun. Di beberapa ujung, dibangun bastion sebagai pertahanan artileri utama. Terdapat beberapa lubang untuk penempatan meriam dan mengarahkan sasaran tembak, dan jumlahnya sangat banyak untuk tiap-tiap sisi benteng. Tidak terdapat indikasi adanya parit didepan benteng sebagaimana terdapat di Yogyakarta. Tetapi dengan bagian depan menghadap langsung ke laut, maka serangan dari laut akan sangat mudah sekali dihalau. Seperti kata Napoleon, “Satu meriam di darat lebih baik daripada 100 meriam di laut”. Berdiri di tembok benteng, jarak pandang sangat luas, sehingga memudahkan tentara dalam benteng dalam mengarahkan sasaran senapannya (VOC diberi hak oleh pemerintah kerajaan Belanda untuk mengeluarkan mata uang sendiri dan membentuk tentara). Dengan konstruksi benteng seperti itu, dapat dipastikan benteng tersebut menjadi salah satu benteng yang terkuat yang dibuat oleh VOC. Maka, ketika Sultan Hasanudin berhasil menguasai Fort Rotterdam, meskipun untuk sementara, membuktikan betapa dahsyatnya pertempuran yangterjadi dan betapa jeniusnya Sultan Hasanudin mengatur siasat perang.

Yang kedua, ini berkaitan dengan perbedaan jauh antara teknologi yang dimiliki oleh VOC dan orang Makasar, dan orang Indonesia ada umumnya. Meskipun jumlah koloni bangsa Belanda di Makasar relative kecil, tetapi dengan keunggulan teknologi yang dimilikinya mampu mengatasi kekurangan yang dimilikinya. Perbedaan ini menjadikan Fort Rotterdam sangat kokoh dan sulit ditaklukkan. Keunggulan teknologi ini pula menjadikan posisi politik mereka sangat tinggi terhadap penguasa-penguasa pribumi. Maka tak heran VOC sering terlibat dalam konfilk antarpenguasa pribumi, karena permintaan penguasa pribumi tersebut untuk membantu mereka dalam persaingan antarpenguasa pribumi. Keadaan ini dimanfaatkan VOC untuk memecah belah kekuatan pribumi, dan lama-lama malah menguasai mereka. Mula-mula minta daerah konsesi sebagai imbalan karena memberi bantuan, lama-lama wilayah penguasa pribumi berkurang, dan akhirnya seluruh wilayah takluk di bawah kekuasaan Belanda (VOC). Perjanjian Gianti, adalah bukti keterlibatan VOC dalam memecah kerajaan Mataram. Keterlibatan VOC dalam konflik antara Sultan Hasanudin dan Aru Palaka di Sulawesi Selatan, dalam konflik antara kaum adat dengan kaum Paderi di Sumatra Barat, adalah bukti metode dan cara kerja kaum koloni awal tersebut.

Melihat dari bangunan yang ada di dalam Fort Rotterdam, benteng ini juga dimanfaatkan untuk membina koloni masyarakat Eropa di Makasar. Pada awal kolonialisme, sebagian besar penghuni benteng adalah pria (mengingat jauhnya Belanda – Indonesia, dan berbahayanya pelayaran ke Indonesia sebelum Terusan Suez dibuka, ekspedisi bangsa Eropa tidak diikuti oleh kaum perempuan Eropa). Bangunan didalamnya didesain mirip bangunan di Belanda, untuk menciptakan kondisi psikologis agar merasa di rumah sendiri. Hal ini diperlukan, karena apabila semnagat koloni turun karena kangen kampong kelahiran, tujuan Gold, Gospel, Glory dalam ekspedisi sulit tercapai.

Sebagai tempat pembinaan masyarakat koloni awal, benteng dirancang agar kehidupan masyarakat didalamnya berjalan teratur. Tak heran, di dalam Fort Rotterdam terdapat gereja yang berdiri megah ditengah-tengah benteng untuk mengatur kehidupan rohani masyarakat. Bagian terbesar dari benteng adalah garnisun/barak untuk para tentara/serdadu VOC. Di sebelah selatan dan timur merupakan tempat tinggal para serdadu. Sementara sebelah utara, berdiri bangunan yang diperkirakan merupakan tempat tinggal para pejabat tinggi dan para perwira, dan juga perkantoran (semacam balai kota, Stadhuis di Batavia). Bangunan tersebut agak tinggi, dengan pintu masukmelewati tangga di luar, dan berbeda adak mencolok dari bangunan disekitarnya. Bangunan yang difungsikan sebagai tempat tinggal banyak tersebar di beberapa lokasi, sampai di pojok-pojok benteng. Bahkan, bangunan-bangunan di sekitar pojok benteng kelihatan lebih besar daripada bangunan disekitarnya (apakah ini difungsikan juga sebagai tempat tinggal para petinggi?).

Juga terdapat penjara di beberapa sudut benteng. Disudut benteng sebelah barat laut terdapat penjara yang pernah digunakan untuk menahan Pangeran Diponegoro sampai beliau meninggal. Jika di benteng Batavia, proses peradilan dilakukan di Stadhuis, lalu dimanakah lokasi pengadilan di Fort Rotterdam?. Didalamnya juga terdapat bangunan yang digunakan sebagai gudang persediaan, seperti yang ada di sebelah utara (dekat dengan pintu gerbang). Apakah keberadaan bangunan tersebut erat kaitannya dengan Fort Rotterdam sebagai pelabuhan dan pangkalan dagang VOC di Sulawesi?. Beberapa meter ke utara (kurang dari 200 meter) dari Fort Rotterdam saat ini terdapat pelabuhan peti kemas yang relatif besar. Apakah letak pelabuhan Makasar zaman VOC sama dengan yang dipakai oleh pelabuhan bongkar muat barang sekarang?

Sebagai permukiman pertama kaum koloni Eropa, fasilitas dalam benteng termasuk lengkap. Selain keamanan, kesehatan juga mendapatkan perhatian. Banyak saluran drainase yang dibangun, serta persediaan air bersih tercukupi (terdapat sumur air didalam benteng). Penataan bangunannya sangat rapi, dan kelihatan selaras dan harmonis. Mencerminkan bagaimana bangsa Eropa sangat cermat dalam merencanakan permukiman. Darimana kebutuhan pangan penghuni benteng terpenuhi? Mungkin dari perdagangan antarpulau yang dulu lazim terjadi di kepulauan Nusantara, atau dari pengambilan paksa terhadap pertanian peribumi? Entahlah…

Yang pasti, Fort Rotterdam merupakan benteng yang kokoh sebagai pertahanan, sehingga mendorong pelabuhan di Makassar menjadi ramai oleh aktifitas perdagangan (karena jaminan keamanan), rumah tinggal yang nyaman, sehat, tertur, rapi, dan lengkap. Yang jelas, benteng tersebut merupakan warisan cagar budaya bangsa yang harus dilindungi, terutama dari tangan bejat birokrat yang kongkalingkong dengan kaum kapitalis

Selasa, 06 Mei 2008

Menyoal Pendidikan Kita

Dalam rangka hari pendidikan nasional 2 Mei 2008, saya ingin sedikit menyorot tentang pendidikan nasional kita. Semoga bermanfaat dan masih relevan untuk didiskusikan

Latar Belakang
Menyoal kualitas SDM, kita dihadapkan dengan sebuah kenyataan bahwa kualitas SDM Indonesia yang rendah. Data Indeks Pembangunan Manusia (Human Development Index) yang dikeluarkan UNDP tahun 2004 memperlihatkan bahwa posisi SDM Indonesia berada di peringkat 111 dari 175 negara. Bahkan, di antara negara-negara ASEAN, Indonesia berada di peringkat ke-6 setelah Singapura (25), Brunai Darussalam (33), Malaysia (58), Thailand (76), dan Filipina (83). Pertanyaannya adalah apa yang salah dengan kualitas SDM Indonesia dan mengapa hal itu terjadi? Kemudian, langkah konkret apa yang harus ditempuh untuk meningkatkan SDM Indonesia?
Persoalan kualitas SDM tidak dapat dilepaskan dari masalah pendidikan. Pasalnya, kualitas SDM merupakan hasil dari sebuah proses pembangunan manusia yang disebut pendidikan. Upaya peningkatan kualitas SDM akan dihadapkan pada sebuah sistem pendidikan yang tersusun dari variabel-varibel yang saling berhubungan.
Berbagai upaya telah dilakukan oleh pemerintah Indonesia untuk meningkatkan kualitas pendidikan nasional, seperti pengeluaran Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas), Pengembangan Manajemen Berbasis Kompetensi (MBK) dan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK), mengubah sistem ujian akhir nasional (UAN) serta meningkatkan passing grade nilai UAN. Sayangnya, semua itu terkesan dilakukan secara tergesa-gesa sehingga menyebabkan pelaku pendidikan (guru, siswa/mahasiswa, orang tua, serta masyarakat) menjadi tidak siap dalam menyikapi kebijakan tersebut. Akibatnya, terjadi keresahan dan kekhawatiran di antara para orang tua dan masyarakat. Alih-alih memperbaiki kualitas pendidikan, yang terjadi adalah ketidakjelasan arah pendidikan nasional. Contoh kongkret dari kebingungan itu adalah ditahannya para guru di SMAN 2 Lubuk Pakam Sumsel akibat mengubah jawaban ujian nasional.
Untuk memperbaiki dan meningkatkan kualitas SDM Indonesia diperlukan political will dari pemerintah serta keterlibatan aktif masyarakat. Di sisi lain, diperlukan juga sebuah pemahaman yang holistik dan komprehensif dari para pelaku pendidikan dalam proses pembelajaran. Dengan demikian, idealisme awal pendidikan sebagai sebuah proses dapat terus terjaga sehingga cita-cita pendidikan, yaitu menciptakan manusia berkualitas, baik lahir dan batin, dapat terwujud di Indonesia.
Pengertian dan Tujuan Pendidikan
Pendidikan adalah proses pengembangan pengetahuan dan karakter serta sikap hidup dalam diri manusia atau bangsa dalam arti utuh (Mangunwijaya, 2003:129). Utuh yang dimaksudkan oleh Mangunwijaya adalah adanya keterpaduan antara pengetahuan yang dipelajari dengan realitas kehidupan sehari-hari. Realitas tersebut merupakan cerminan dari persoalan-persoalan yang benar-benar terjadi di dalam masyarakat, yang kemudian dilakukan analisa untuk memperoleh model penyelesaian yang beretika. Singkatnya, pendidikan sebenarnya adalah proses memanusiakan manusia kembali (Freire,1970:)

Ideologi dan Paradigma Pendidikan
Banyak pendekatan yang dapat dipakai untuk memahami pendidikan yang ada di Indonesia. Salah satunya adalah dengan memahami ideologi dan paradigma pendidikan. William O’Neill (2000), mengungkapkan bahwa terdapat enam ideologi dasar dalam pendidikan, yaitu fundamentalisme, intelektualisme, konservatifisme, liberalisme, liberasionisme, dan anarkisme. Menurut O’Neill (2000), terdapat tiga arus besar paradigma pendidikan, yaitu konservatif, liberal, dan kritis.
Ideologi pendidikan memiliki pengaruh yang besar terhadap arah pengembangan pendidikan, terutama jika dikaitkan dengan kebijakan politik pemerintah. Kapitalisme global yang saat ini menguasai ideologi negara memiliki pengaruh yang sangat besar pada dunia pendidikan di Indonesia. Di bawah tekanan kapitalisme, pendidikan mengalami komodifikasi. Artinya, pendidikan sekarang menjelma menjadi komoditas yang mengikuti hukum-hukum pasar. Pendidikan beralih fungsi untuk menghasilkan manusia-manusia siap pakai untuk kebutuhan industri.
Paradigma pendidikan memiliki implikasi pada metodologi pendidikan, yang dikaitkan dengan kesadaran ideologi masyarakat (Freire, 1970). Pun berimplikasi pada pendekatan dalam pendidikan, yaitu pendekatan pedagogy dan andragogy (Knowles, 1970)
Penyelenggaraan sistem pendidikan, banyak dikendalikan oleh political will. Artinya, seluruh sistem pendidikan mengacu kepada kecenderungan politis. Para penguasa terlalu banyak mencampuri dan mengarahkan sistem pendidikan ini, sehingga apa yang disebut filsafat pendidikan nyaris tidak terefleksikan dalam setiap tindak pendidikan maupun pembelajaran (Semiawan, 2000). Karena kepentingan-kepentingan politis, kebijakan penguasa (pemerintah) dalam sosiologi Weberian disebut tidak pernah sepenuh hati. Kalaupun kebijakan itu dilakukan, dalam pelaksanaannya akan setengah-setengah.

Perihal Pembelajaran, Pengajaran, dan Pelatihan
Istilah pendidikan dan sekolah merupakan dua hal yang saling berkaitan. Kata pendidikan berasal dari bahasa Latin yaitu e-ducare, yang berarti menggiring ke luar. Yang dimaksud dengan menggiring ke luar adalah menggiring potensi diri. Kata sekolah juga berakar dari bahasa Latin, yaitu skhole, scola, scolae atau schola yang berarti waktu luang atau waktu senggang. Menurut Roem Topatimasang (1998:6), orang Yunani kuno biasanya mengisi waktu luang mereka dengan cara mengunjungi suatu tempat atau seorang pandai, dalam hal tertentu, untuk mempertanyakan dan mempelajari sesuatu yang memang mereka butuhkan dan dianggap penting.
Selama ini, pendidikan sering diidentikkan dengan sekolah (sebagai tempat berlangsungnya pengajaran). Padahal, pendidikan dan pengajaran adalah dua hal yang berbeda. Pendidikan diartikan sebagai proses pembentukan watak dan karakter yang bebas, merdeka, dan bertanggungjawab, sedangkan pengajaran lebih menekankan pada proses transfer pengetahuan yang sifatnya kognitif.
Salah satu akar permasalahan dalam pendidikan di Indonesia adalah ketidakmampuan banyak orang untuk membedakan, dan dengan demikian mempersamakan secara sembrono, antara pendidikan atau proses pembelajaran dengan pengajaran (Harefa, 2000:59).
Harefa juga menegaskan bahwa pengajaran saja belum cukup untuk mengeluarkan segenap potensi dalam diri manusia. Ada potensi diri yang hanya dapat dikeluarkan melalui proses pembelajaran dan pelatihan.
Studi Kasus
Pola pendidikan di masa prasekolah, bagi anak, merupakan proses pengenalan dan sosialisasi dengan lingkungannya. Interaksi yang terus-menerus mampu menimbulkan kontak emosional dan intelektual anak terhadap kehidupan di sekitarnya. Dalam proses tersebut pembelajaran sangat dianjurkan menggunakan metode bermain dan bernyanyi. Memasuki masa pendidikan sekolah dasar, metode pembelajarannya juga tidak jauh berbeda dengan masa prasekolah, hanya perlu ditambahkan beberapa pengetahuan lainnya.
Tetsuko Kuroyanagi (2003) memaparkan bagaimana seharusnya pendidikan di sekolah dasar (SD) itu sebaiknya diselenggarakan. Kuroyanagi mengisahkan pola pendidikan di SD Tomoe di Jepang pada akhir perang dunia II. Di SD Tomoe, proses pembelajaran disesuaikan dengan minat masing-masing siswa. Guru hanya memfasilitasi dengan memberikan beberapa pilihan bidang pelajaran. Setiap siswa boleh belajar apa saja yang disukainya, tanpa ada paksaan dari guru. Peran guru yang memosisikan dirinya sebagai sahabat bagi anak-anak memudahkan pola interaksi di dalam kelas. Suasana kelas yang tidak terlalu banyak jumlah siswanya juga turut memengaruhi proses pembelajaran. Proses pembelajaran tidak hanya di dalam kelas. Siswa SD Tomoe diajak untuk belajar hal-hal yang ada di sekitarnya secara langsung, melatih kepekaan sosial.
Pendidikan yang baik harus mampu menanamkan nilai-nilai kejujuran. Kejujuran yang dilandasi oleh rasa tanggung jawab terhadap kelangsungan hidup umat manusia. Alasan utama untuk memperjuangkan kejujuran adalah bahwa sekolah adalah tempat bagi setiap pelajar untuk belajar (Poedjinoegroho, 2002:34). Kejujuran mendidik siswa untuk menghargai nilai-nilai kehidupan, melampaui batas-batas indikator kesuksesan belajar yang selama ini hanya dilihat dengan deretan angka. Sistem pendidikan di Canisius College (CC), baik di tingkat SLTP maupun SLTA, selama ini telah menerapkan pola pendidikan yang integral antara pembangunan karakter, sikap hidup dan kemampuan akademik. Maka pemberlakuan Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) sejalan dengan petode pembelajaran yang telah diterapkan di CC.

Mewujudkan Manusia Terdidik yang Unggul
Pola pendidikan yang didasarkan pada minat siswa sangat penting dalam menentukan kesuksesan hidupnya. Kesuksesan hidup tidak hanya ditentukan oleh kecerdasan intelektual, justru lebih ditentukan oleh kecerdasan emosional. Belajar berdasarkan minat adalah implementasi dari kecerdasan emosional.
Howard Gardner menggolongkan delapan kecerdasan yang ada di dalam diri setiap manusia, yaitu : kecerdasan linguistik (cerdas kata), kecerdasan matematis-logis (cerdas angka), kecerdasan spasial (cerdas gambar), kecerdasan kinestetis-jasmani (cerdas tubuh), kecerdasan musik (cerdas musik), kecerdasan interpersonal (cerdas bergaul), kecerdasan intrapersonal (cerdas diri), dan kecerdasan naturalis (cerdas alam).
Menurut Howard Gardner, setiap orang memiliki kecenderungan yang paling menonjol terhadap satu atau dua kecerdasan di antara delapan kecerdasan yang ada. Artinya, kecenderungan kecerdasan seseorang dapat berbeda antara yang satu dengan yang lain sehingga pola pembelajarannya juga berbeda. Dengan demikian, pendidikan akan menghasilkan manusia-manusia yang berbudaya dan mampu mengandalkan diri sendiri untuk berkarya menghasilkan sesuatu yang kreatif dan inovatif. Jadi si murid abad-21 harus punya modal kemampuan khas untuk mencari sendiri. Dengan kata lain, ia sudah harus punya kebiasaan eksplorasi diri, berani dan tahu caranya bertanya dan memperoleh/merebut/mencuri (dalam arti baik) informasi (Mangunwijaya, 2003:219).

Empat Masalah Pendidikan di Indonesia
Saat ini dunia pendidikan Indonesia mengalami beberapa masalah yang perlu segera dibenahi. Masalah-masalah tersebut meliputi: pemerataan, mutu, relevansi, dan efisiensi.
Masalah Pemerataan
Data Badan Penelitian dan Pengembangan (Balitbang) Departemen Pendidikan Nasional dan Direktorat Jenderal Pembinaan Kelembagaan Agama Islam (Binbaga) Departemen Agama tahun 2000 menunjukan Angka Partisipasi Murni (APM) untuk anak usia SD pada tahun 1999 mencapai 94,4% (28,3 juta siswa). Pencapaian APM ini termasuk kategori tinggi. Angka Partisipasi Murni Pendidikan di SLTP masih rendah yaitu 54,8% (9,4 juta siswa). Artinya, banyak warga Negara yang tidak dapat mengenyam pendidikan lebih tinggi di Indonesia.
Masalah Mutu
Indikator rendahnya mutu pendidikan nasional dapat dilihat pada prestasi siswa. Dalam skala internasional, menurut Laporan Bank Dunia studi IEA (Internasional Association for the Evaluation of Educational Achievement) di Asia Timur menunjukkan bahwa keterampilan membaca siswa kelas IV SD berada pada peringkat terendah. Rata-rata skor tes membaca untuk siswa SD: 75,5 (Hongkong), 74,0 (Singapura), 65,1 (Thailand), 52,6 (Filipina), dan 51,7 (Indonesia). Anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan ternyata mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran.
Selain itu, hasil studi The Third International Mathematic and Science Study-Repeat-TIMSS-R, 1999 (IEA, 1999) memperlihatkan bahwa diantara 38 negara peserta, prestasi siswa SLTP kelas 2 Indonesia berada pada urutan ke-32 untuk IPA, ke-34 untuk Matematika. Dalam dunia pendidikan tinggi menurut majalah Asia Week dari 77 universitas yang disurvai di asia pasifik ternyata empat universitas terbaik di Indonesia hanya mampu menempati peringkat ke-61, ke-68, ke-73 dan ke-75.
Indikator lain yang menunjukkan betapa rendahnya mutu pendidikan di Indonesia dapat dilihat dari data UNESCO (2000) tentang peringkat Indeks Pengembangan Manusia (Human Development Index), yaitu komposisi dari peringkat pencapaian pendidikan, kesehatan dan penghasilan per kepala yang menunjukkan bahwa indeks pengembangan manusia Indonesia makin menurun. Menurut survei Political and Economic Risk Consultant (PERC), kualitas pendidikan di Indonesia berada pada urutan ke-12 dari 12 negara di Asia.
Posisi Indonesia berada di bawah Vietnam. Data yang dilaporkan The World Economic Forum, Swedia (2000), Indonesia memiliki daya saing yang rendah yaitu hanya menduduki urutan ke-37 dari 57 negara yang disurvai di dunia. Dan masih menurut survai dari lembaga yang sama Indonesia hanya berpredikat sebagai follower bukan sebagai pemimpin teknologi dari 53 negara di dunia.
Rendahnya mutu pendidikan Indonesia terkait dengan kualitas guru dan pengajar yang masih rendah juga. Data Balitbang Depdiknas (1998) menunjukkan dari sekitar 1,2 juta guru SD/MI hanya 13,8% yang berpendidikan diploma D2-Kependidikan ke atas. Selain itu, dari sekitar 680.000 guru SLTP/MTs baru 38,8% yang berpendidikan diploma D3-Kependidikan ke atas. Di tingkat sekolah menengah, dari 337.503 guru, baru 57,8% yang memiliki pendidikan S1 ke atas. Di tingkat pendidikan tinggi, dari 181.544 dosen, baru 18,86% yang berpendidikan S2 ke atas (3,48% berpendidikan S3). Walaupun guru dan pengajar bukan satu-satunya faktor penentu keberhasilan pendidikan, tetapi pengajaran merupakan titik sentral pendidikan dan kualifikasi, dan sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya.
Masalah Relevansi
Menurut data Balitbang Depdiknas 1999, setiap tahunnya sekitar tiga juta anak putus sekolah dan tidak memiliki keterampilan hidup sehingga menimbulkan masalah ketenagakerjaan tersendiri. Adanya ketidakserasian antara hasil pendidikan dan kebutuhan dunia kerja ini disebabkan kurikulum yang materinya kurang fungsional terhadap keterampilan yang dibutuhkan ketika peserta didik memasuki dunia kerja.
Masalah Efisiensi
Rendahnya efisiensi pengelolaan pendidikan dapat dilihat dari: penyebaran guru yang tidak merata, terjadinya putus sekolah di semua jenjang pendidikan, bangunan fisik gedung sekolah yang cepat rusak dalam waktu yang pendek, jam belajar yang tidak efektif dan optimal, dan pengalokasian dana pendidikan yang tidak fleksibel.
Krisis Sumber Daya Manusia Indonesia
Jika melihat pada fenomena sejarah, hasil pendidikan nasional saat ini belum dapat dibandingkan dengan pendidikan pada zaman pergerakan nasional (1908 – 1945). Meskipun pendidikan merupakan salah satu paket politk etis Van Deventer yang sarat dengan kepentingan kolonial, tetapi semangat zaman (zeitgeist) telah membawa kaum terdidik pada suasana “perlawanan terhadap kolonialisme” (Buchori, 2000). Dengan segala keterbatasan, kaum terdidik saat itu menjelma menjadi pemimpin nasional yang tangguh, pemimpin yang berorientasi pada rakyat. Pemimpin seperti Bung Karno, Bung Hatta, Sjahrir, Sutomo, dan kawan-kawan adalah contoh produk pendidikan, yang ironisnya merupakan pendidikan kolonial. Perubahan rezim membawa semangat zaman yang berbeda, sehingga arah kebijakan pendidikan akan berbeda sesuai dengan kepentingan rezim tersebut. Pada era Orde Lama (1945–1959), semangat melawan diperlemah, dan pendidikan diarahkan untuk mendukung demokrasi terpimpin. Orde Baru (1965 – 1998) melumpuhkan semangat melawan tersebut, dan pendidikan hanya digunakan untuk mendukung ideologi pembangunan (developmentalism)
Masalah rendahnya kualitas sumber daya manusia Indonesia diiringi dengan terbatasnya lapangan kerja yang ada di Indonesia. Akibatnya, tingkat pengangguran di Indonesia tinggi, yakni mencapai 10% dari total angkatan kerja di Indonesia, atau sekitar 10 juta orang (Kompas, 19 Februari 2005). Masalah pengangguran memang tidak memiliki kaitan langsung dengan pendidikan, karena pengangguran merupakan masalah investasi untuk menciptakan lapangan pekerjaan. Tetapi, daya serap lapangan kerja terhadap sumber daya manusia menunjukkan besarnya kompetensi sumber daya manusia untuk menghadapi kebutuhan dasar dan tuntutan hidup. Kasus deportasi TKI yang bekerja di Malaysia, yang mayoritas pembantu rumah tangga dan buruh, membuktikan betapa rendahnya kompetensi sumber daya manusia Indonesia.
Persoalan yang mendasar dalam pendidikan adalah bahwa pendidikan nasional Indonesia belum memiliki sistem pendidikan yang relevan dengan kehidupan riil masyarakat yang dinamis. Ditambah lagi dengan perhatian pemerintah tidak serius terhadap dunia pendidikan. Kebijakan seperti kurikulum yang selalu berubah, buku pelajaran yang tiap tahun ganti. Masalah rendahnya gaji guru/dosen, minimnya sarana dan prasarana sekolah, serta alokasi anggaran yang rendah untuk pendidikan adalah bukti ketidakseriusan pemerintah di bidang pendidikan. Pemerintah gagal mewujudkan pendidikan dengan kualitas yang merata. Banyak ditemui disparitas kualitas pendidikan antardaerah.
Persoalan ini bila tidak diatasi akan semakin menjatuhkan Indonesia dalam lubang krisis. Laporan UNDP dari tahun 2000 hingga 2004 menunjukkan bahwa kualitas SDM Indonesia cenderung menurun. Di masa datang, bila kondisi ini tidak diantisipasi, bangsa Indonesia akan menjadi budak di negeri sendiri, akibat kalah bersaing dengan sumber daya manusia dari negera lain.
Peran dan Tanggung Jawab Pemerintah
Pasal 31 amandemen UUD 1945 ayat (1) menyatakan, “Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan”, dan ayat (2) menyatakan, “Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya”. Pasal tersebut diperkuat oleh UU nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (UU Sisdiknas) yang disahkan Presiden tanggal 8 Juli 2003. Dalam UU Sisdiknas pasal 5 ayat (1) disebutkan, “setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”. Pasal 11(1) menyatakan, “pemerintah dan pemerintah daerah wajib memberikan layanan dan kemudahan serta menjamin terselenggaranya pendidikan yang bermutu bagi setiap warga negara tanpa diskriminasi”, serta pasal 11 ayat (2) menyatakan, “pemerintah dan pemerintah daerah wajib menjamin tersedianya anggaran guna terselenggaranya pendidikan bagi setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun”.
Berdasarkan UU di atas, tugas dan tanggung jawab pemerintah, baik pusat maupun daerah, ada dua, yaitu : (1) membiayai pendidikan, dan (2) memberikan pendidikan yang bermutu tanpa diskriminasi kepada warga negara. Kewajiban membiayai pendidikan, dipertegas dalam pasal 49 UU Sisdiknas yang menyatakan, “Dana pendidikan selain gaji pendidik dan biaya pendidikan kedinasan dialokasikan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada sektor pendidikan dan minimal 20 persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah”.
Membiayai Pendidikan
Pasal 49 UU Sisdiknas di atas menyatakan secara eksplisit kewajiban negara untuk mengalokasikan minimal 20 % dari APBN maupun APBD untuk sektor pendidikan. Sektor pendidikan ini di luar gaji guru dan biaya dinas, karena gaji guru dan dinas masuk dalam pos belanja rutin pegawai. Ini berarti, sekitar Rp. 73.76 triliun/tahun dari total anggaran belanja negara yang sebesar Rp. 368.8 triliun harus dialokasikan untuk pendidikan. Tetapi, dalam tahun anggaran 2004 – 2005, anggaran pendidikan hanya sebesar Rp. 15,2 triliun, atau sekitar 4,12 % (Kompas, 05/08/2004). Di sini, pemerintah telah melanggar konstitusi negara dan Undang-undang.
Selama ini, di bawah tekanan IMF dan Bank Dunia, pemerintah dipaksa mencabut subsidi untuk sektor sosial, termasuk di dalamnya pendidikan, sebagai bagian dari paket restrukturisasi ekonomi. Menurut catatan Revrisond Baswir (Kedaulatan Rakyat, 23 Februari 2005), dari total belanja negara, yang digunakan untuk mencicil utang negara adalah Rp. 140 triliun. Dari jumlah itu, pembayaran utang dalam negeri dalam bentuk bunga obligasi sebesar Rp. 44 triliun dan dinikmati oleh kalangan perbankan. Jika dibandingkan dengan besarnya alokasi untuk pendidikan, tampak bahwa pemerintah tidak memiliki perhatian yang serius terhadap pendidikan nasional.
Dalam konteks otonomi daerah, nilai minimal 20 % dari anggaran belanja daerah memunculkan masalah baru. Setiap daerah memiliki kondisi dan kemampuan yang berbeda-beda, sehingga sangat sulit diharapkan untuk mencapai nilai minimal 20%. Konsekuensinya, akan terjadi disparitas kualitas pendidikan antara daerah yang satu dengan daerah yang lain. Akibatnya, di kemudian hari, dapat memunculkan kesenjangan kemajuan antardaerah.
Dana merupakan hal yang niscaya, dan kekurangan anggaran akan menghambat peningkatan kualitas pendidikan serta membatasi akses pendidikan untuk rakyat. Akibat langsung dari kurangnya anggaran pendidikan dari pemerintah adalah pengalihan tanggung jawab pembiayaan pendidikan kepada masyarakat. Masyarakat, dalam hal ini orang tua, dibebani dengan bermacam-macam biaya pendidikan. Jenis biaya pendidikan yang harus dibayar dan besarnya bervariasi, yang terkadang semua itu di luar dari yang ditentukan. Biaya seperti uang gedung, uang BP3, dan biaya lain-lain yang terkadang diluar biaya resmi sering dibebankan pada orang tua, bahkan dengan jumlah yang tidak sedikit. Padahal, sebagian besar penduduk Indonesia masih hidup dalam kemiskinan. Fenomena di mana orang tua banyak menggadaikan barang-barangnya pada pegadaian setiap tahun ajaran baru, serta banyak kasus lainnya yang terjadi, membuktikan hal ini. Implikasinya, terjadi diskriminasi dalam akses pendidikan.
Pengalokasian anggaran minimal 20 % dari APBN untuk pendidikan harus segera dilakukan, dengan terlebih dahulu membenahi manajemen keuangan negara. Bila hal ini dapat diwujudkan, dunia pendidikan nasional tidak akan separah seperti saat ini. Dana sebesar Rp. 73.76 triliun per tahun dapat dialokasikan untuk sektor-sektor yang dapat mendukung secara langsung peningkatan kualitas pendidikan nasional, misal perbaikan sarana dan prasarana sekolah. Bila mungkin, dana tersebut dapat digunakan untuk membiayai pendidikan dasar sembilan tahun secara gratis. Pengertian gratis tidak hanya biaya SPP (Sumbangan Pengembangan Pendidikan), tetapi juga penyediaan seragam, buku-buku, dan peralatan sekolah. Bahkan, dana tersebut dapat digunakan untuk subsidi daerah dengan kemampuan kurang dalam membiayai pendidikannya. Sehingga, kesenjangan antara daerah kaya dan miskin dapat direduksi, dan tercipta pemerataan kualitas pendidikan.
Pemerintah perlu segera mengupayakan peningkatan kesejahteraan para pengajar (guru dan dosen). Pemerintah wajib memenuhi minimal kebutuhan dasar hidup para pengajar, sehingga mereka dapat lebih konsentrasi dalam melaksanakan tugasnya. Mereka tidak dapat lagi dipandang sebagai “pahlawan tanpa tanda jasa”, tapi harus dipandang sebagai tenaga profesional. Sebagai tenaga profesional, mereka harus mendapatkan gaji yang memadai. Karena itu, pemerintah harus segera menaikkan gaji para pengajar (terutama guru honorer) agar profesionalitas mereka dapat terus ditingkatkan.
Memberikan Pendidikan Bermutu Tanpa Diskriminasi
Kewajiban pemerintah selanjutnya menurut UUD 1945 maupun UU Sisdiknas adalah memberikan pendidikan yang berkualitas tanpa diskriminasi pada seluruh rakyat. Berarti, pemerintah menyediakan pendidikan yang berkualitas untuk seluruh warga negara tanpa memandang suku, agama, gender, status sosial dan ekonomi. Pendidikan yang berkualitas merupakan pendidikan yang memenuhi empat pilar sebagaimana yang dirumuskan oleh UNESCO dalam “The International Commision and Education for The Twenty First Century”, yaitu learning to know, learning to do, learning to be, dan learning to live together.
Empat pilar tersebut merupakan artikulasi dari keinginan untuk menyelaraskan proses pendidikan dengan globalisasi, humanisme, demokratisasi, bahkan dengan kondisi sosio-kultural masyarakat. Artinya, pendidikan diarahkan untuk membekali peserta didik dengan keterampilan dasar (basic skills) untuk siap menghadapi kehidupan nyata. Pendidikan disebut berkualitas apabila manusia hasil dari proses pendidikan mampu dan berhasil dalam menyesuaikan diri dengan kehidupan nyata.
Pendidikan yang berkualitas harus dapat dinikmati oleh semua lapisan masyarakat. Artinya, pendidikan nasional pada tataran idealisme (das sein) harus memiliki kualitas yang merata di seluruh wilayah Indonesia. Tetapi faktor geografis (profil alam) dan demografis (profil manusia) yang ada di Indonesia menyebabkan ketidakmerataan kualitas pendidikan. Faktor tersebut perlu dijadikan pertimbangan utama dalam perencanaan manajemen dan kurikulum pendidikan nasional. Kualitas pendidikan di Jakarta, tentu akan berbeda dengan kualitas pendidikan di pedalaman Papua.
Desentralisasi Manajemen Pendidikan Nasional
Dalam manajemen pendidikan, terdapat dua sistem manajemen yang terkait dengan sistem dan budaya politik suatu negara. Sistem tersebut adalah manajemen sentralistik birokratis, yang menjadi ciri khas sistem manajemen negara feodal otoriter, dan sistem desentralistik partisipatoris, yang erat kaitannya dengan negara demokratis dan terbuka. Dalam dikotomis antara setralistik dan desentralistik, Tilaar (1992), mengemukakan tujuh unsur yang merupakan poros-poros penentu perumusan strategi pengelolaan, yaitu : (1) Wawasan Nusantara, (2) Asas demokrasi, (3) Pengembangan kurikulum, (4) Proses belajar dan mengajar, (5) Efisiensi dalam sistem pendidikan, (6) Pembiayaan, dan (7) Ketenagaan.
Dalam manajeman pendidikan yang sentralistik, dengan berpijak pada tujuh poros tersebut di atas, memiliki sifat-sifat berikut (Tilaar,1992:34):
a. Memperkuat rasa kebangsaan dan kohesi nasional, meskipun mengambil bentuk yang semu
b. Memperlambat proses demokratisasi dan menghasilkan organisasi yang kuat tapi kaku. Akibatnya, partisipasi masyarakat kurang dan cenderung pasif.
c. Dalam pengembangan kurikulum, tujuan pendidikan mudah dicapai konsensus tetapi sulit beradaptasi dengan kebutuhan lingkungan.
d. Dalam proses belajar mengajar, cenderung bebas lingkungan dan budaya sehingga cenderung intelektualistik. Evaluasi sebagai alat standarisasi dan sebagai alat legitimasi kekuasaan pemerintah pusat, dan pengawasan agak sulit.
e. Pada efisiensi, secara eksternal menyebabkan kesenjangan dalam pemenuhan kebutuhan tenaga kerja terampil.
Sementara itu, manajemen pendidikan desentralistik memiliki ciri-ciri sebagai berikut:
a. Dapat memperlemah kohesi nasional, dan memunculkan rasa kedaerahan yang sempit.
b. Proses demokratisasi berjalan dengan baik. Perangkat organisasi yang dihasilkan fleksibel dan merata di seluruh daerah, sehingga partisipasi masyarakat sangat nyata dan spontan dan memupuk kemandirian.
c. Diadaptasikan pada tuntutan lingkungan sosial dan budaya masyarakat setempat, konsensus mengenai tujuan pendidikan sulit dicapai.
d. Lingkungan merupakan bagian yang terintegral dari proses pembelajaran. Sulit menerapkan standar nasional. Tetapi, di lain pihak, pengawasan proses pembelajaran menjadi efektif.
e. Efisiensi secara eksternal, relatif terjadi kesesuaian antara supply dan demand tenaga kerja. Kurikulum yang relevan sehingga efisien dalam menggunakan sumber-sumber pendidikan.
f. Dalam pembiayaan dapat dengan segera memobilisasi sumber-sumber pendidikan, asal disertai partisipasi masyarakat dalam pengelolaannya.
g. Pengadaan dan pemanfaatan ketenagaan dapat diadakan sesuai dengan kebutuhan yang nyata, termasuk untuk daerah terpencil.
Saat ini, perencanaan dan manajemen pendidikan nasional Indonesia masih bersifat sentralistik dan birokratik. Buktinya, sampai saat ini, sistem pendidikan nasional masih bersifat top down, dalam pengertian semua peraturan dan perangkat diatur oleh pemerintah pusat dengan sedikit keterlibatan para pelaku pendidikan (orang tua/masyarakat, guru/dosen, dan siswa/mahasiswa).
Dalam pendekatan birokratik sentralistik, metodologi kuantitatif sangat dominan. Kurikulum yang ada saat ini disusun secara sentralistik, sangat padat dan cenderung abstrak, sehingga menambah beban anak didik. Pendidikan hanya diarahkan untuk mencapai target angka-angka, dengan indikator ekonomi dan kriteria efektifitas. Ujian Akhir Nasional (UAN), sebagai sistem evaluasi proses pendidikan di Indonesia, masih menekankan aspek kognitif dengan mengesampingkan aspek afektif maupun psikomotorik siswa. Keberhasilan pendidikan masih dilihat pada sebatas angka kelulusan sekolah 100%, nilai passing grade yang semakin meningkat. Akibatnya, banyak lulusan sekolah yang tidak memiliki kompetensi dan akhirnya menjadi pengangguran.
Melihat kegagalan manajemen sentralistik, perencanaan pendidikan seharusnya berorientasi pada sistem manajemen terbuka dan fleksibel. Sistem ini, akan melahirkan perencanaan partisipatoris, di mana para pelaku pendidikan terlibat aktif dalam perencanaan dan pengelolaan pendidikan. Dalam pendekatan partisipatoris, proses perencanaan dan pengelolaan pendidikan didasarkan pada peningkatan kualitas dengan dititikberatkan pada manajemen sumber-sumber pendidikan. Dengan demikian, perlu ada peralihan dari perencanaan birokratik yang berstereotip kekuasaan ke arah perencanaan terbuka yang berorientasi pada kebutuhan riil masyarakat.
Dalam konteks otonomi daerah, peralihan ini akan menjelma dalam bentuk desentralisasi. Seiring dengan usaha desentralisasi pengelolaan pendidikan, kebutuhan akan kurikulum yang berbasis pada kebutuhan daerah merupakan hal yang mendesak untuk segera diwujudkan. Hal ini karena selain kurikulum yang ada selama ini terlalu padat, sebagai konsekuensi logis dari kurikulum yang sentralistik, juga karena proses penyusunan materi kurikulum masih jauh dari partisipasi aktif masyarakat (Tilaar, 2002:13).
Dengan keterlibatan aktif masyarakat dan adanya sinergitas dengan pemerintah daerah, akan tercipta sistem pendidikan yang berbasis pada masyarakat (education base community). Sistem pendidikan ini, termasuk di dalamnya adalah kurikulum yang relevan dengan kebutuhan daerah dan metode pembelajaran yang sesuai dengan kemampuan dan minat anak didik. Dengan desentralisasi, pemanfaatan sumber daya pendidikan menjadi optimal. Mobilisasi sumber daya pendidikan baik keuangan maupun ketenagaan dapat berlangsung dengan efektif di tingkat daerah bila dibandingkan dengan tingkat nasional. Masyarakat dapat melakukan pengawasan secara langsung atas terselenggaranya pendidikan, sehingga fungsi pengawasan menjadi lebih efektif. Pemerintah dan masyarakat dapat menyusun suatu sistem evaluasi yang dapat merepresentasikan kualitas yang baik dari proses pendidikan.
Sistem manajemen pendidikan yang desentralistik memunculkan masalah baru ketika diletakkan dalam konteks negara Indonesia. Berkaca pada penerapan UU No.22/1999 tentang Otonomi Daerah yang memunculkan penguasa-penguasa baru di daerah, kecenderungan ini harus diwaspadai dalam pengembangan sistem manajemen pendidikan desentralistik. Masalah ini menjadi serius apabila dalam proses pendidikan menghasilkan chauvinisme kedaerahan yang sempit. Persoalan lainnya adalah kesulitan dalam penetapan standar kualitas pendidikan secara nasional.
Melihat masalah ini, dapat dibandingkan dengan negara dengan sistem manajemen pendidikan desentralistik. Hampir semua negara yang menganut sistem desentralisasi pendidikan memiliki sistem pemerintahan federal. Dalam sistem desentralisasi yang dianut oleh negara-negara tersebut, pemerintah pusat hanya menentukan kerangka kurikulum nasional, tetapi penjabarannya dilakukan oleh negara bagian atau sekolah. Di India, penjabaran kurikulum nasional untuk tingkat SD dilakukan oleh distrik (setingkat kabupaten), negara bagian hanya menjabarkan kurikulum untuk tingkat sekolah menengah. Bahkan, kurikulum pendidikan Amerika Serikat dan Jerman disusun dan dijabarkan sepenuhnya oleh negara bagian. Pada negara-negar tersebut, tidak ada ujian nasional. Ujian akhir hanya diadakan oleh negara bagian/distrik, dengan mengacu pada standar nasional.
Dalam konteks Indonesia, manajemen pendidikan nasional dapat dibangun secara desentralistik dengan tetap dalam kerangka negara kesatuan. Indonesia bukan negara federal murni, tetapi daerah memiliki kewenangan lebih dalam mengatur kehidupan rumah tangganya, sesuai dengan UU No. 22/1999. Pemerintah pusat menetapkan kerangka kurikulum dan standar nasional yang akan dijadikan acuan dalam penyusunan kurikulum daerah. Kerangka kurikulum nasional ini berfungsi untuk memperkuat kohesi nasional dan mengantisipasi kecenderungan global yang harus dihadapi oleh daerah. Kerangka ini terdiri dari kurikulum pendidikan Bahasa Indonesia, Pancasila, Bahasa Inggris, maupun Pendidikan Agama, serta beberapa mata pelajaran kemampuan dasar (basic skills). Daerah kemudian menerjemahkan dan menjabarkan kerangka ini menjadi kurikulum daerah.
Untuk sistem evaluasi, pemerintah daerah harus diberi kewenangan dalam menyelenggarakan ujian. Ujian daerah ini tetap mengacu pada standar nasional yang ingin dicapai. Secara teknis, ujian daerah ini lebih mudah pelaksanannya. Sehingga, daerah bisa dengan leluasa menyelenggarakan ujian dengan berbagai macam variasi untuk mendapatkan gambaran kualitas yang sebenarnya dari pendidikan. Selain itu, pengawasannya lebih mudah, sehingga dapat mereduksi berbagai kecurangan dalam ujian.
Kurikulum yang Relevan
Kurikulum merupakan instrumen utama pendidikan dalam mengatur arah dan tujuan pendidikan. Kualitas pendidikan ditentukan oleh kemampuan kurikulum dalam membekali anak didik dengan kemampuan untuk menghadapi dunia nyata, disamping kualitas guru/dosen dalam menerjemahkan kurikulum dalam proses pengajaran. Menurut keberdampakannya pada siswa, Raka Joni (2000) membagi kurikulum menjadi lima tataran yang berbeda, yaitu :
a. Kurikulum ideal, yang mengandung segala sesuatu yang dianggap penting dan perlu dimasukkan ke dalam pendidikan.
b. Kurikulum formal, adalah kurikulum yang ditampilkan dalam bentuk dokumen resmi kurikulum.
c. Kurikulum interaksional, adalah terjemahan dari kurikulum formal menjadi seperangkat skenario pembelajaran.
d. Kurikulum operasional, adalah perwujudan objektif dari niat kurikulum instruksional dalam bentuk interaksi pembelajaran.
e. Kurikulum eksperiensial, adalah makna dari pengalaman belajar yang terhayati oleh siswa.
Sementara Belen (2000), mengemukakan terdapat tiga pendekatan kurikulum, yaitu :
a. Pendekatan konten, yang menekankan daftar/topik/tema/bidang mata pelajaran yang biasanya dijabarkan dari ilmu. Akibatnya, materi amat menekankan pengembangan ranah kognitif dan melalaikan pengembangan ketrampilan dasar mata pelajaran serta sikap dan nilai.
b. Penekatan outcome, disebut juga pendekatan kompetensi atau kemampuan dasar, menekankan pada pengembangan ketrampilan dasar mata pelajaran disamping pengetahuan, pemahaman serta sikap dan nilai.
c. Kombinasi antara konten dan outcome.
Akibat materi kurikulum yang cenderung abstrak, pada tataran interaksional maupun operasional banyak mengalami hambatan sehingga dalam proses pembelajaran cenderung mereduksi kurikulum tersebut. Selanjutnya kegagalan pada tataran interaksional dan operasional akan menyebabkan kegagalan pada tataran eksperiensial.
Inilah yang terlihat pada dunia pendidikan kita selama ini. Siswa tidak pernah dirangsang untuk berdialog dan berdiskusi. Siswa dituntut untuk menyelesaikan target kurikulum yang demikian padat. Selain itu, pendekatan konten dalam kurikulum nasional menyebabkan target-target kurikulum itu masih menekankan pada aspek kognitif, dan melupakan aspek-aspek lain.
Pendidikan yang demokratis harus memberlakukan beragam metode yang menggali kemampuan siswa untuk berperan secara akif, dengan mengakui perbedaan kemampuan intelektual, kecepatan belajar, sifat, sikap, dan minatnya (Semiawan, 2000). Kurikulum pendidikan seharusnya disusun dengan melihat kemampuan siswa yang berbeda-beda. Menurut Howard Gardner, penggagas multiple intelligences, setiap orang memiliki satu kecerdasan yang cenderung menonjol di antara kecerdasan yang lain. Perbedaan kemampuan siswa ini harus diakomodasi dalam sebuah kurikulum yang memungkinkan siswa mengembangkan seluruh potensi dan kemampuannya secara optimal.
Agar tujuan pendidikan dapat tercapai, dalam penyusunan kurikulum hendaknya beralih dari pendekatan konten ke pendekatan outcome. Dengan pendekatan outcome, siswa dibekali dengan kemampuan dasar mata pelajaran yang memungkinkannya untuk menghadapi kehidupan nyata dan mengantisipasi masa depan. Pendekatan konten memungkinkan terjadi reduksi antara proses pembelajaran dengan kurikulum. Tetapi dengan pendekatan outcome, terjadi sinergitas antara proses pembelajaran dengan kurikulum.
Langkah pemerintah untuk menyusun Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK) patut diapresiasi. Ada dua catatan yang harus diperhatikan dalam penyusunan KBK ini. Pertama, kurikulum ini masih disusun secara sentralistik oleh pemerintah dan tidak sejalan dengan semangat otonomi daerah. Kurikulum ini belum mengakomodasi kepentingan daerah secara khusus. Akibatnya, kurikulum ini masih belum memiliki relevansi dengan kehidupan nyata masyarakat. Kedua, implementasi dari KBK masih terkesan tergesa-gesa tanpa mempersiapkan perangkat yang dapat mendukung. Akibatnya, di beberapa tempat terjadi kesalahmengertian tentang KBK dan ketidaksiapan dalam pelaksanaannya.
Setelah kerangka kurikulum formal terbentuk, maka harus segera disusun model pembelajaran (kurikulum interaksional atau operasional) yang dapat menterjemahkan kerangka kurikulum formal tersebut. Beberapa metode pembelajaran itu adalah student centered learning dan problem based learning. Dalam student centerde learning, siswa menjadi pusat proses pendidikan. Siswa didorong untuk menjadi aktif dalam proses pembelajaran. Siswa hanya diajarkan pengetahuan yang sifatnya dasar, sehingga siswa lebih terdorong untuk bertanya. Dalam metode problem based learning, siswa dihadapkan pada persoalan nyata sehari-hari dan didorong untuk menyelesaikan masalah tersebut. Diharapkan, muncul ide-ide kreatif dan inovatif dari siswa.
Pemerintah, baik pusat maupun daerah harus menyiapkan semua perangkat yang dibutuhkan terlebih dahulu sebelum mengeluarkan sebuah kebijakan. Ketersampaian pesan pendidikan sangat tergantung bukan pada materi pesan yang ingin disampaikan, melainkan pada cara penyampaiannya – the process is the content, the medium is the massage. Dengan persiapan perangkat ini, terjadi sinergitas antara kebijakan yang dikeluarkan pemerintah dengan implementasi di lapangan, yang melibatkan banyak pihak.

Kebijakan Buku
Selama ini, salah satu masalah yang sering muncul dalam pendidikan nasional adalah masalah buku teks. Isi/materi buku teks dipengaruhi oleh kurikulum formal yang digunakan dalam sistem pendidikan. Kecenderungan kurikulum yang berubah, selalu diikuti oleh perubahan buku teks yang digunakan dalam proses pengajaran. Akibatnya, masa pakai buku teks sangat singkat. Di tengah kondisi perekonomian yang tidak menentu saat ini, hal ini tentu saja memberatkan orang tua siswa.
Persoalan lain terkait dengan penetapan dan pengadaan buku teks pelajaran. Penetapan buku teks selama ini masih menjadi kebijakan pemerintah pusat tanpa melibatkan pihak sekolah selaku pelaksana pendidikan. Sementara itu, monopoli pengadaan buku menyebabkan harga buku teks dipermainkan oleh penerbit. Akibatnya, harga buku teks menjadi mahal dan sulit terjangkau oleh orang tua siswa. Monopoli pengadaan buku kadang disertai dengan kolusi antara pihak sekolah dengan penerbit. Akibatnya, sekolah menjadi ladang bisnis penjualan buku teks oleh pihak sekolah.
Dalam regulasi perbukuan yang dikeluarkan pemerintah, memuat kebijakan bahwa buku pelajaran hanya memuat konsep-konsep dasar pengetahuan yang tidak banyak perubahan dalam kurun waktu lima tahun. Dari kebijakan tersebut diharapkan tidak terjadi pergantian buku selama ditinjau dari segi keilmuan dan pengetahuan masih layak. Untuk mencapai target tersebut, perbaikan kurikulum mutlak diperlukan. Seperti disebutkan di atas, kerangka kurikulum nasional hendaknya berisi kemampuan dasar mata pelajaran yang relatif tidak berubah untuk jangka waktu lama (minimal lima tahun). Materi buku teks yang digunakan akan disesuaikan dengan kurikulum tersebut, sehingga masa pakai buku teks tersebut dapat diperpanjang.
Dalam konteks desentralisasi pendidikan, di mana kurikulum lokal disusun oleh daerah, maka kehadiran penerbit lokal harus terus didorong. Untuk mencegah monopoli, sebaiknya pengadaan buku diserahkan kepada swasta. Sekolah, kemudian memilih buku teks yang akan di gunakan selama proses pembelajaran. Pemilihan buku ini harus didasarkan pada kurikulum nasional maupun daerah yang digunakan. Artinya, harus dilihat apakah buku teks tersebut sinergi dengan kurikulum atau justru mereduksinya. Buku teks yang digunakan seharusnya sinergis dengan kurikulum yang digunakan.
Fungsi buku teks yang hanya memuat konsep-konsep dasar pengetahuan, tidak dapat mengikuti perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berkembang pesat dewasa ini. Karena itu, mutlak diperlukan adanya buku-buku pendukung. Sayang, kebiasaan membaca masyarakat masih sangat rendah. Ini diperparah dengan kecilnya anggaran yang disisihkan untuk belanja buku. Bahkan, ketiadaan anggaran untuk membeli buku mencapai 80 %. Selain faktor pendidikan, tingkat ekonomi masyarakat turut memengaruhi pola konsumsi buku. Bagi sebagian besar penduduk Indonesia, buku masih merupakan barang mahal, karena tingkat penghasilan rakyat yang masih rendah, dan bukan kebutuhan mendesak yang harus dipenuhi.
Selama ini, pemerintah belum memerhatikan secara serius masalah perbukuan. Persoalan mahalnya harga buku dapat diantisipasi dengan mendirikan perpustakaan umum yang mudah diakses oleh masyarakat dan pemberian insentif (subsidi) terhadap berbagai komponen perbukuan maupun pembebasan beragam pajak yang dilekatkan dalam industri perbukuan. Pemberian insentif dan pembebasan pajak dapat mendorong penurunan harga buku, sehingga terjangkau oleh tingkat pendapatan masyarakat dan konsumsi buku masyarakat meningkat. Selain itu, pemerintah perlu mendorong peningkatan minat baca masyarakat dengan menggalakkan kampanye gemar membaca.
Peran dan Tanggung Jawab Pelaku Pendidikan
Tanggung jawab pembangunan manusia Indonesia tidak hanya dibebankan kepada pemerintah. Para pelaku pendidikan (orang tua/masyarakat, guru/dosen, serta siswa/mahasiswa) juga memiliki peran yang sangat penting.
Orang Tua/Masyarakat
Pelaku pendidikan yang utama dan pertama adalah orang tua, sedangkan sekolah hanya memainkan peran sebagai pembantu. Artinya, dalam sekolah hanya berlangsung proses pendidikan yang mendukung ke pengajaran.
Peran orang tua/masyarakat Indonesia dalam menyiapkan generasi penerus bangsa masih harus terus ditingkatkan. Kegiatan belajar, dalam hal ini membaca, seharusnya tidak hanya berlangsung di sekolah. Selepas sekolah, siswa dapat melanjutkan dan mengembangkan proses belajar dengan bantuan orang tua. Tetapi sayangnya, para orang tua dan masyarakat kurang menyadari peran dan tanggung jawabnya. Para orang tua cenderung hanya mencukupi segala kebutuhan materi bagi anaknya yang sekolah. Padahal menurut Illich (2000:ix) bahwa etos masyarakatlah, dan bukan hanya lembaga, yang harus dibebaskan dari kecenderungan yang menganggap sekolah sebagai satu-satunya lembaga pendidikan.
Hal yang lebih mengejutkan lagi adalah ternyata anak-anak Indonesia hanya mampu menguasai 30% dari materi bacaan dan mereka sulit sekali menjawab soal-soal berbentuk uraian yang memerlukan penalaran. Ini memberikan bukti bahwa selama ini proses pendidikan hanya menciptakan manusia-manusia yang berperilaku seperti robot. Akibatnya, anak-anak tidak mampu berpikir dan bertindak kreatif.
Untuk menumbuhkan minat pada buku, pertama-tama yang harus dilakukan adalah mengubah paradigma dalam memandang buku. Buku hendaknya dianggap sebagai makanan untuk rohani. Agar menyenangkan, ketika membaca buku tinggalkan cara lama yaitu memandang terus-menerus rangkaian kata-kata dalam buku. Sebaiknya menggunakan metode multiple intelligences yang meliputi S (somatis), A (audio), V (visual), dan I (intelektual).
Kemampuan bernalar anak-anak tidak dapat dilepaskan dari kemauan dan cara belajarnya. Seringkali orang tua memaksakan kehendak kepada anak-anak mereka. Hal demikian akan menghambat kreatifitas anak-anak. Padahal, setiap anak memiliki kemauan dan cara belajar sendiri-sendiri, yang tidak sama antara anak yang satu dengan yang lain. Di sinilah orang tua harus jeli. Penerapan metode belajar kecerdasan majemuk (multiple intelligences) akan sangat membantu orang tua dalam memberikan pendidikan yang baik untuk anak-anaknya.
Dalam sudut pandang psikologi, usia lima tahun pertama merupakan masa kritis bagi perkembangan anak. Pada usia sekian terjadi pembentukan struktur dasar kepribadian anak. Mengingat hal tersebut, pola pendidikan anak balita harus disesuaikan dengan kepribadian dasar si anak, yaitu kasih sayang yang utuh. Hal tersebut akan mendorong perilaku positif dari anak kepada keluarga maupun sebaliknya, sehingga mampu merangsang timbulnya daya kreatifitas anak.
Seto Mulyadi menegaskan bahwa untuk menumbuhkan dan mengembangkan kreatifitas anak, setiap keluarga harus memerhatikan dua hal, yaitu keamanan dan kebebasan psikologis. Keamanan psikologis artinya memberi suasana gembira agar anak mampu menunjukkan eksistensi diri yang sesuai dengan keinginannya, tanpa mendapat penilaian yang terburu-buru dari keluarga atau orang tua yang justru dapat mematikan kreatifitas. Kebebasan psikologis artinya memberi kesempatan si anak untuk mengungkapkan segala ide-ide maupun pendapatnya. Peran keluarga sebagai fasilitator pertumbuhan anak sangat penting. Untuk itu keluarga harus mampu melihat potensi yang ada pada anak. Peran keluarga juga tak kalah penting ketika si anak mendapat masalah. Di sini, keluarga berperan memberikan terapi untuk mengembalikan suasana kegembiraan dalam kehidupan anak.
Guru/Dosen
Sebagai cermin kualitas, tenaga pengajar memberikan andil sangat besar pada kualitas pendidikan yang menjadi tanggung jawabnya. Hal ini ditegaskan oleh Paul Suparno (2002:58-59) bahwa guru merupakan ujung tombak kesuksesan pelaksanaan pendidikan. Tanpa guru sebagus apapun kurikulum yang dirancang, tidak akan menghasilkan pendidikan yang berkualitas.
Kualitas pendidikan Indonesia yang rendah disebabkan oleh profesionalisme pengajar di Indonesia masih merupakan cita-cita yang belum menjadi realita. Sosok pengajar yang baik adalah pengajar yang selalu menunjukkan hasrat dan keinginan yang besar untuk terus-menerus belajar. Muchtar Buchori menyebutkan ada lima ciri profesional, yaitu : sikapnya yang altruistik; tingkat keahlian melakukan hal-hal yang biasa dengan cara yang luar biasa; tidak pernah menyebut dirinya profesional, tetapi memperoleh pengakuan itu dari masyarakat; hidup berlandaskan nilai-nilai etis; dan melakukan pekerjaan itu untuk mencari nafkah.
Paradigma pengajaran konvensional, yang selama ini digunakan oleh para guru dan dosen, agaknya harus segera ditinggalkan. Ketika sang guru (master) tidak lagi menganggap dirinya sebagai sumber informasi atau model keterampilan yang lebih hebat, anggapan mereka bahwa mereka mempunyai kearifan yang lebih hebat akan mengandung kebenaran (Illich, 2000:129)
Perubahan sosial, budaya dan teknologi yang kian cepat harus disadari oleh para pendidik. Para pendidik harus mampu menciptakan suasana yang nyaman bagi siswa maupun mahasiswa dalam belajar. Penciptaan suasana yang nyaman dan menyenangkan mampu membuat suasana belajar lebih efektif. Juga perlu dirubah paradigma belajar dari teaching oriented menjadi student center learning sehingga terjadi proses pembelajaran dua arah. Hasilnya, akan tercipta manusia-manusia pembelajar yang memiliki semangat tinggi untuk membangun bangsanya.
Untuk tujuan tersebut perlu diperhatikan tujuan pendidikan di perguruan tinggi dan praperguruan tinggi. Pasalnya, tidak semua siswa akan melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi. Hal ini perlu diperhatikan karena akan sangat memengaruhi pola pendidikan dan pengajaran yang digunakan. Pater Drost (1990:5) memberikan kritik terhadap para pengajar di perguruan tinggi bahwa seorang ilmuwan sejati seharusnya tidak akan, atau bahkan menolak, mendidik sarjana yang tidak mampu berpikir dan berkreatifitas. Di sinilah pentingnya pendidikan praperguruan tinggi sebagai tempat menyiapkan calon mahasiswa yang mampu bernalar dan berkreatif. Pendidikan yang didasarkan pada multiple intelligences akan menghasilkan calon mahasiswa yang memiliki kreatifitas untuk menghasilkan karya yang berguna bagi masyarakat.
Siswa/Mahasiswa
Tanggung jawab pendidikan, dan akhirnya ketersediaan lapangan kerja, merupakan tanggung jawab semua pihak. Setelah pemerintah, para orang tua/masyarakat, dan guru/dosen bekerja optimal meningkatkan kualitas pendidikan, kini saatnya para peserta didik mengambil peran.
Berbekal moral (hasil dari pembelajaran), pengetahuan (hasil dari pengajaran) dan keterampilan (hasil dari pelatihan) manusia Indonesia diharapkan mampu mendayagunakan kreatifitasnya untuk memecahkan berbagai persoalan sosial, budaya, ekonomi maupun politik dengan menghasilkan karya-karya yang bermanfaat bagi masyarakat yang tentunya tetap menjaga dan melestarikan nilai-nilai budaya bangsa. Inilah manusia Indonesia yang dicita-citakan oleh Mangunwijaya yang harus punya kebiasaan eksplorasi diri, berani dan tahu caranya bertanya dan memperoleh informasi untuk memecahkan persoalan-persoalan yang ada di masyarakat.
Proses pembelajaran seperti yang dicita-citakan Mangunwijaya tersebut hanya dapat dilakukan apabila setiap manusia Indonesia menyadari peran dan tanggung jawabnya sebagai manusia yang harus terus-menerus belajar sepanjang hayat. Belajar tidak hanya dilakukan dalam institusi formal pendidikan, tetapi juga belajar dari lingkungan dan kehidupan.

KESIMPULAN
Rendahnya kualitas SDM Indonesia berpangkal pada rendahnya kualitas pendidikan nasional. Penyebabnya antara lain: (1). Kekurangan anggaran, (2). Manajemen pendidikan yang sentralistik-birokratis, (3). Kurikulum yang tidak relevan dengan kebutuhan nyata dan cenderung mengutamakan aspek kognitif, (4) Metode pembelajaran yang menempatkan siswa/mahasiswa sebagai obyek, dan (5) Sinergitas antara pemerintah dan para pelaku pendidikan yang kurang.
Untuk meningkatkan kualitas pendidikan, beberapa hal yang mendesak yang harus dilakukan antara lain:
a. Realisasi anggaran pendidikan minimal 20% dari APBN.
b. Meningkatkan kesejahteraan para pendidik (guru/dosen)
c. Desentralisasi manajemen pendidikan nasional yang menyangkut kurikulum, ketenagaan, pembiayaan, evaluasi, dan metode pembelajaran.
d. Keterpaduan antara pemerintah, baik pusat maupun daerah, dengan para pelaku pendidikan (orang tua/masyarakat, guru/dosen, siswa/mahasiswa,) dalam perencanaan pendidikan.
e. Mendorong minat baca masyarakat dengan kampanye gemar membaca dan mendirikan perpustakaan umum. Selain itu, memberikan insentif dan pembebasan pajak agar harga buku menjadi murah dan terjangkau.
Metode pembelajaran yang digunakan selama ini tidak efektif karena cenderung mengeliminasi peran siswa dalam proses pembelajaran. Sistem KBK yang dikembangkan pemerintah masih memiliki kekurangan dalam paradigma dan implementasi.
Metode pembelajaran hendaknya disesuaikan dengan potensi, kemauan, dan kemampuan siswa yang didasarkan pada multiple intelligences.
Pendidikan hendaknya dikembangkan dan disesuaikan dengan semakin meningkatnya penggunaan teknologi informasi dalam kehidupan masyarakat terkini.

DAFTAR PUSTAKA
Armstrong, T., Sekolah Para Juara: Menerapkan Multiple Intelligences di Dunia Pendidikan, cetakan ke-3, Kaifa, Bandung , 2004.
Baswir, R., Menolak BBM Naik, Kedaulatan Rakyat, 23 Februari 2005.
Belen, S., Ebtanas, Kurikulum, dan Buku Pelajaran, Basis Nomor 07 – 08 Tahun ke -49, Juli – Agustus 2000, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Buchori, M., Peranan Pendidikan dalam Budaya Politik di Indonesia, Basis Nomor 07 – 08 Tahun ke -49, Juli – Agustus 2000, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Drost, J., Untuk Apa Perguruan Tinggi Didirikan?, Prisma Nomor 1 edisi 1990, LP3ES, Jakarta, 1990.
Freire, P., Illich, I., Menggugat Pendidikan: Konservativisme, Liberalisme, dan Kritis, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2000.
Hernowo, Andaikan Buku Itu Sepotong Pizza: Rangsangan Baru untuk Melejitkan “Word Smart”, cetakan ke-3, Kaifa, Bandung, 2004.
Harefa, A., Menjadi Manusia Pembelajar, cetakan ke-6, Gramedia, Jakarta 2000.
Harefa, A., Sekolah Saja Tidak Pernah Cukup, cetakan ke-2, Gramedia, Jakarta, 2002.
Illich, I., Bebaskan Masyarakat dari Belenggu Sekolah, Yayasan Obor Indonesia, Jakarta, 2000.
Kuroyanagi, T., Totto-chan: Gadis Cilik di Jendela, cetakan ke-2, Gramedia, Jakarta, 2003.
Lie, A., Menggugat Tanggung Jawab Negara atas Pendidikan, Kompas, 5 Agusrus 2004.
Mangunwijaya, Y. B., Impian dari Yogyakarta: Kumpulan Esai Masalah Pendidikan, Kompas, Jakarta, 2003.
O’Neill, W., Ideologi-ideologi Pendidikan, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2001.
Poedjinoegroho, E. B., Latihan Mengasah Hati Nurani untuk Berkembang, Basis Nomor 07-08 Tahun ke-51, Juli-Agustus 2002, Yogyakarta, 2002.
Joni, T. R., Memicu Perbaikan Pendidikan Melalui Kurikulum, Basis Nomor 07 – 08 Tahun ke -49, Juli – Agustus 2000, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Silaban, S., Suka, S. G., dan Donald, P. (ed), Pendidikan Indonesi : dalam Pandangan Lima Belas Tokoh Pendidikan Swasta, Dasamedia Utama, Jakarta, 1993.
Suparno, P., Sikap Guru dalam Menghadapi Kurikulum Berbasis Kompetensi, Basis Nomor 11-12 Tahun ke-51 November-Desember 2002, Yogyakarta, 2002.
Suparno, P., Kurikulum SMU yang Menunjang Pendidikan Demokrasi, Basis Nomor 07 – 08 Tahun ke -49, Juli – Agustus 2000, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Semiawan, C., Relevansi Kurikulum Pendidikan Masa Depan, Basis Nomor 07 – 08 Tahun ke -49, Juli – Agustus 2000, Kanisius, Yogyakarta, 2000.
Tilaar, H.A.R., Manajemen Pendidikan Indonesia: Kajian Pendidikan Masa Depan, cetakan ke-6, Remaja Rosdakarya, Bandung, 2003
Topatimasang, R., Sekolah Itu Candu, cetakan ke-4, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, 2002.

Wilujeng Sumping

Selamat datang,,, kata-kata seperti itu banyak dipasang dipinggir jalan tiap masuk kota di Indonesia. Bukti keramahan bangsa ini. Karena aku adalah bagian dari bangsa tersebut, maka tolong terima keramahanku juga, dengan mengucapkan Selamat datang diduniaku, dunia simulakral tentunya. Orang Jawa bilang Sugeng Rawuh, Urang Sunda bilang Wilujeng Sumping, Kalo orang Arab bilang Ahlan Wa Sahlan, Tapi kalau orang Namibia ga tahu bilangnya…
Sebenarnya ini bukanlah yang pertama aku nulis blog. Tapi bikin blog khusus, ini juga bukan yang pertama. Yang pertama pake Wordpress, tapi karena alasan teknis (lupa password:)), jadi aku bikin baru lagi aja. Sebelumnya banyak nulis di FS (yang aku lupa alamat blognya). Sebenarnya inipun karena ikut-ikutan tren yang berkembang sekarang. Jadi biar ngga dikatain katrok, ndeso, jadul, de es be…Jadi tolong jangan katakan bahwa aku juga udah mulai ikut-ikutan mass culture yang menghilangkan identitas unik pribadi. Bukan karena itu. Juga bukan karena sekarang era terbuka, sehingga aku perlu membuka semua hal tentangku disini.
Percayalah, hanya lewat blog aja, anda ga akan tahu siapa saya sebenarnya. Dalam dunia simulakral, antara nyata dan ga nyata sulit (untuk tidak mengatakan ga bisa) dibedakan, karena kita bermain di wilayah citra. Ketika masuk wilayah citra, harus dilihat apa kepentingannya. Dan akhirnya dunia tersebut hanyalah menjadi medan perebutan makna tanpa tahu entitas realitas yang sebenarnya (apaan sich...).
Tapi bagaimanapun juga, dengan membaca blogku ini, semoga muncul rasa ingin tahu. Bukankah rasa ingin tahu adalah pintu masuk ke wilayah pengetahuan ? So, jangan biarkan dahaga rasa ingin tahu anda tidak terpuaskan. Eksplorasi lebih jauh, dan pilah-pilah mana yang nyata dan mana yang tidak, maka anda akan menemukan pengetahuan yang sebenarnya. Bukankah pengetahuan yang sebenarnya dekat dengan kebijaksanaan.