Selasa, 17 Juni 2008

Tidak Harus Demo Untuk Menjadi Peka


Rakyat yang melihat para mahasiswa mungkin dalam hatinya berkata “ Biarlah kita yang bekerja dan membayar pajak untuk membiayai pendidikan mereka, para mahasiswa, karena saya yakin kelak mereka, para mahasiswa akan bekerja untuk kita, rakyat kecil”.
(Soe Hok Gie)

Beberapa hari ini, banyak sekali demonstrasi dilakukan oleh sekelompok massa terutama menyangkut isu kenaikan BBM dan harga barang. Sebagian besar dilakukan oleh kelmpok mahasiswa. Berbicara tentang aksi, entah itu aksi massa yang melibatkan demonstrasi massa besar-besaran, ataupun aksi-aksi yang lainnya, seperti aksi mogok makan, sejuta tanda tangan, dan lain-lainnya, tidak pernah bisa dilepaskan dari konteks munculnya aksi tersebut. Aksi massa (baca:demonstrasi), seringkali muncul karena adanya kebijakan penguasa yang merugikan, kebijakan yang mencoba mengintervensi ruang-ruang publik dalam rangka menancapkan hegemoni mereka atas rakyat dan memantapkan posisi mereka. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa pada akhirnya demonstrasi menjadi pilihan yang rasional karena efektifitasnya dalam menciptakan kekuatan tandingan pada kekuasaan tersebut. Masih segar dalam ingatan kita bagaimana kekuatan massa mahasiswa dalam gerakan ‘98 mampu menumbangkan rezim yang saat itu mustahil dijatuhkan. Dan dalam konteks sosio politik seperti itu, dimana kekuatan sipil harus berhadapan dengan kekuasaan yang korup dan lalim, demonstrasi masih menjadi modus yang relevan, bahkan efektif.

Dalam konteks yang berbeda, demonstrasi harus berkompromi dengan keadaan. Seperti saat ini misalnya, dimana rakyat semakin bosan dengan aksi massa yang dilakukan oleh sekelompok orang yang tidak membawa perubahan yang signifikan terhadap nasib mereka, bahkan mungkin pikiran lugu rakyat telah menganggap bahwa aksi yang dilakukan menyebabkan kenaikan harga, menciptakan instabilitas keamanan, yang pada akhirnya juga hilangnya rasa aman pada rakyat. Diperparah lagi dengan fobia penguasa terhadap aksi massa yang menjadikan mereka semakin represif terhadap berbagai aksi massa, perlu sebuah kreativitas dalam melakukan perlawanan, agar perlawanan tidak berhenti.

Demonstrasi sebagai wujud kepekaan sosial
Sebagai bagian kecil dari masyarakat yang berkesadaran, yang oleh Soe Hok Gie disebut dengan happy few selected, mahasiswa dituntut untuk lebih proaktif dalam menyikapi perubahan-perubahan sosial yang terjadi disekitarnya. Perubahan sosial yang terjadi tidaklah selalu mulus dan berjalan sesuai dengan apa yang diidealisasikan, tapi terkadang mengalami deviasi yang sangat besar. Dan adalah tugas mahasiswa, sebagai elan vital bangsa ini untuk kembali meluruskan kembali hal tersebut. Dan untuk melakukan hal tersebut, diperlukan sebuah kesadaran kritis sosial, bukan sekadar kesadaran kognitif, tapi juga menyentuh pada level kesadaran afektif maupun psikomotorik. Dan inilah yang kita sebut dengan kepekaan sosial, sense of crisis.

Ada berbagai macam cara yang dapat digunakan untuk menyatakan keprihatinan terhadap kondisi sosial yang ada disekitar kita yang tidak sesuai dengan idealitas, tapi sekali lagi hal tersebut perlu ditempatkan pada tempatnya yang sesuai dengan konteks secara proporsional. Tidak harus dengan demo untuk merubah sebuah kebijakan publik, tapi bisa juga dengan cara lain. Untuk sebuah kebijakan yang jelas-jelas telah merugikan rakyat, seperti misalnya kenaikan harga BBM, TDL, maupun rekening telepon, aksi massa besar-besaran masih menjadi salah satu cara yang efektif untuk merubah kebijakan tersebut. Kenapa? karena kebijakan menaikkan harga BBM sangat terkait dengan kebutuhan riil rakyat yang mustahil berubah jika hanya dilakukan seminar, debat publik, atau apapun bentuk aksi yang tidak disertai dengan tekanan. Dan demonstrasi adalah pilihan yang sangat realistis dan efektif untuk tujuan jangka pendek dalam merubah kebijakan publik yang merugikan. Jelas bahwa demonstrasi adalah salah satu wujud kepekaan dan kepedulian kita terhadap realitas sosial yang timpang yang terjadi di sekitar kita.

Dalam konteks yang berbeda, diperlukan sebuah kreatifitas dalam melakukan aksi dan perlawanan. Seperti misalnya pada kasus penggusuran yang beberapa waktu lalu marak. Demonstrasi tidak lagi menjadi mutlak sebagai wujud kepekaan sosial, tapi mahasiswa bisa mengambil langkah lain dalam perlawanan. Misalnya terlibat aktif bersama-sama dengan LSM / NGO dalam kegiatan advokasi, bisa juga mengumpulkan bahan kebutuhan sehari-hari untuk membantu mereka yang tergusur. Justru dengan terlibat secara aktif melalui kegiatan advokasi, gerakan perlawanan bisa lebih efektif dan masyarakat tergusur lebih terbantu daripada dengan menggunakan cara demonstrasi.

Reformulasi Gerakan Mahasiswa
Untuk tujuan perubahan jangka panjang yang fundamental, para aktivis tidak cukup hanya dengan mengandalkan aksi massa. Perlu dicari sebuah pola-pola gerakan yang berbasis pada pemberdayaan masyarakat (civic empowerment). Mahasiswa nantinya tidak hanya melakukan gerakan-gerakan yang bersifat reaktif sporadis yang hanya akan menimbulkan resistensi dari rakyat, tapi sebuah gerakan yang sistematis, terarah, kontinu dan simultan menuju perubahan. Proses penyadaran tidak harus melalui demonstrasi, tapi bisa juga dengan cara lain. Demonstrasi sebagai sebuah media untuk mencapai tujuan jangka pendek sangat efektif, tapi tidak untuk jangka panjang.

Sebuah perubahan meniscayakan proses penyadaran yang berlangsung terus-menerus dan berlangsung dalam waktu yang tidak singkat. Proses itu tidak hanya lewat demonstrasi-demonstrasi, tapi juga melalui penguatan masyarakat sipil (civil society) dan proses demokratisasi disegala bidang, baik itu sosial, politik, ekonomi, pendidikan, maupun budaya. Media tersebut dapat berupa kelompok-kelompok kreatif mahasiswa, NGO/LSM, serta bentuk-bentuk aktifitas lain yang langsung menyentuh pada persoalan kemasyarakatan sehari-hari. Kelompok kreatif mahasiswa perlu banyak didukung dan dikembangkan. Kamase (Komunitas Mahasiswa Sentra Energy) dari Teknik Fisika UGM misalnya, setelah berhasil menjadi 10 besar dunia (major winner) dalam ajang Mondialogo Engineering Award yang diadakan UNESCO dan Daimler Chrysler (www.kamase.org), mendapatkan dana hibah untuk melaksanakan proyek pengadaan air bersih untuk masyarakat di daerah kekurangan air. Saya melihat, kelompok-kelompok sejenis tumbuh subur di UGM, tinggal bagaimana kita mengorientasikan aktiftas mereka untuk rakyat. Bukan sekadar masturbasi intelektual belaka, dan hanya menjadikan mereka sosok di menara gading kehidupan. Tapi juga sebagai intelektual organik (meminjam istilah Mansour Fakih) dan terlibat langsung dalam persoalan riil masyarakat.Di lapangan inilah para mahasiswa bisa memainkan peranan lebih banyak dari sekadar demo di jalanan. Setidaknya, melalui usaha penguatan dan pemberdayaan masyarakat, peran mahasiswa lebih terasa manfaatnya bagi rakyat tertindas. Dan mungkin ini sejalan dengan apa yang diinginkan oleh Soe Hok Gie dari para mahasiswa.

Tidak ada komentar: