Jumat, 20 Juni 2008

Dua hari di Jogjakarta (cerita perjalanan menit ke menit)

Pulang ke kotamu
Ada setangkup haru dalam rindu
Masih seperti dulu
Tiap sudut menyapaku bersahabat
Penuh selaksa makna

(KLa Project)

Kota yang selalu kurindukan dan akan selalu ada dalam hatiku, Yogyakarta. Sejuta kenangan terukir disana dan kepingan itu masih tercecer di sana-sini, menunggu untuk dikumpulkan dan disusun menjadi sebuah cerita kehidupan. Bahagia – sedih, suka – duka, pahit – manis, susah – senang. Ada tugas yang belum tertunaikan. Rindu pada sebentuk kehidupan yang kini mulai langka. Prasasti budaya dan alam yang senantiasa membisikkan rindu kepadaku.
Perasaan inilah yang kembali membawaku ke Jogjakarta minggu kemarin (14 – 15 Juni 2008), sekadar untuk nostalgia dan tetirah. Tetirah dari lelah jiwa yang luar biasa, yang aku pikir hanya kematianlah yang mampu menghapus lelah ini.
Keberangkatanku ke Jogja diiringi oleh kelelahan yang luar biasa, berharap Jogja mampu menghapusnya. Badan yang semakin sulit diajak kompromi, dengan kesehatan yang semakin menurun. Pagi sebelum berangkat, tubuh menggigil dan demam disertai dengan sedikit muntah-muntah. Tapi ternyata tarikan Jogja terlalu kuat untuk dikalahkan oleh kelemahan tubuh ini. Ya, aku curiga liverku kembali berulah.
Keberangkatanku ke Yogya ditemani oleh bayangan celoteh dan omelan beberapa kawan terhadap kondisi Jogja belakangan ini. Yogya sudah berubah, tidak nyaman dan menyenangkan seperti dulu. Apakah Yogya tidak boleh berubah? Bukankah segala sesuatu pasti berubah. Apakah rasa nyaman harus menghalangi sebuah entitas untuk berubah? Aku akan datang sendiri untuk membuktikan ocehan kawan-kawanku, dengan mata kepala sendiri.
Bus itu membawaku pergi dari Bandung tepat jam 19.00 dari peraduannya. The journey has begun…

04.30 pagi…
Bus itu berhenti di perempatan Kentungan, Ring Road Utara Jl. Kaliurang. Langsung udara dingin menyerang tubuhku yang memang sudah mulai kelihatan kelelahan. Bulan-bulan yang sangat dingin kupikir, karena angin musim kemarau dari gunung Merapi turun dengan ganas menyergap siapa saja yang masih terjaga pagi itu. Jalanan masih sunyi, hanya satu dua mobil yang melewati jalanan yang bila siang hari biasanya sangat padat itu. Pria paruh baya mengayuh becaknya ke arah utara sambil menawarkan jasanya padaku. Mungkin pria tersebut sudah tidak tahan dengan dinginnya udara pagi itu, dan memutuskan untuk pergi saja.
Kupencet-pencet HP, mengabarkan kalau aku sudah tiba kepada seorang kawan. “Baik bung, 10 menit lagi”, begitu jawabnya. 10 menit, waktu yang tidak lama. Tapi di tengah udara dingin ini? Maka kuputuskan untuk menunggu sambil nongkrong di depan ATM Mandiri. 30 menit kemudian, datang juga kawanku itu. Aduh bung, 30 menit lagi kaubiarkan aku menunggu, bisa membeku aku. Ayo kita shalat…(motor itu membawaku ke masjid Blimbingsari)

06.30…
Time to breakfast…maka kuputuskan untuk makan gudeg di pinggir Jakal. Tempat makan yang kusukai, sambil lesehan di pinggir jalan menikmati matahari pagi di jalanan Jogja. Gudeg yang masih diolah dengan tangan-tangan tradisional mbok-mbok Jogja menawarkan kelezatan yang tidak biasa. Kali ini aku sengaja datang lebih pagi, karena pernah agak siangan dikit sudah tidak kebagian gudeg yang menurutku emang tidak kalah ma gudeg wijilan ataupun gudeg Permata yang legendaris itu.
Ah, terasa nikmat setelah sarapan pagi, tubuh terasa lebih segar. Ah, tubuh ini masih saja menggigil. “Aku dah di kos, bro. Tak tunggu”. SMS berbunyi yang memaksaku segera beranjak dan menuju kos seorang kawan yang baru datang dari Jakarta, untuk “konsolidasi”.

08.00…
Kita meluncur ke plaza KPTU fakultas teknik UGM untuk bertemu kawan-kawan dari Kamase. Tanpa mandi, tanpa gosok gigi, tanpa parfum, cukup dengan cuci muka pakai air minus sabun. Wajah kelelahan masih terlihat, tapi antusiasme dan semangat tinggi menyamarkannya. Sampai disana beluma da orang. Ah, dasar orang Indonesia.
Banyak yang berubah pada wajah KPTU Fakultas Teknik. Lantai sudah menjadi keramik, sehingga sebuah prasasti bertuliskan “Ariel Maniez, Fisika Teknik ‘00” di lantai sebelumnya telah sirna hehehe... Di sana-sini mahasiswa menenteng laptop dan browsing ke dunia maya. Sangat jauh berbeda dengan saat aku kuliah dulu. Tapi aku senang, itu artinya terjadi perubahan ke arah yang lebih baik.
Pertemuan dimulai. Pertemuan itu sendiri merupakan respon atas isu yang berkembang dalam organisasi Kamase tentang Kamase Care dengan Kamase di kampus. Isu lama sebenarnya, dan kita selalu mengulang dan mengulang terus permasalahan ini. Menurut saya, persoalan utamanya adalah pada masalah komunikasi antargenerasi, serta belum adanya mekanisme baku dalam organisasi (aku lebih suka menyebutnya sebagai paguyuban, karena memang sifat kekeluargaan lebih kental daripada struktur yang hierarkis dan kaku di dalamnya). Tapi tidak apa, ini kuanggap sebagai dinamika organisasi yang memang meniscayakan perubahan sebagaimana bentuk-bentuk eksistensi yang lain di ala mini. Justru bila tidak ada dinamika seperti ini malah membuat aku khawatir.
Aku juga sangat bangga, saat organisasi yang kami rintis 7 tahun yang lalu ternyata masih tetap eksis dengan berbagai prestasi yang gemilang (salah satunya meraih penghargaan internasional Mondialogo Engineering Award). Bertahan sampai 4 generasi, suatu hal yang tidak pernah kami sangka-sangka sebelumnya, mengingat organisasi ini merupakan “organisasi tanpa bentuk”, dalam arti tanpa struktur organisasi yang baku dan sumber daya (ekonomi) yang tetap. Tetapi kami punya visi dan misi yang melampaui zamannya, setidaknya untuk ukuran mahasiswa.
Maka dalam forum tersebut, kita sepakati beberapa hal, yaitu :
1. Komunikasi akan semakin dibuat intensif. Kawan-kawan mahasiswa selalu memberikan laporan kegiatan kepada alumni, agar para alumni dapat mengetahui sejauhmana gerakan mahasiswa di kampus. Demikian juga alumni akan melaporkan aktifitasnya pada kawan-kawan di kampus agar kawan-kawan di kampus juga mengetahui aktifitas para alumni.
2. Pembagian peran yang jelas antara kawan-kawan di kampus dalam organisasi alumni, sehingga ke depan pertanyaan-pertanyaan yang sifatnya syak wasangka tidak muncul ke permukaan. Dan alumni tidak sering-sering turun gunung menyelesaikan permasalahan (it’s okay,,,I love JogjaJ)
3. Dalam waktu dua minggu ke depan, akan diadakan outbound untuk semakin mempererat ukhuwah antara alumni dan kawan-kawan di kampus yang terbentang jarak generasi yang lebar. Selain sebagai jembatan antargenerasi, juga untuk transfer pengetahuan, cita-cita, visi dan misi organisasi kepada generasi baru agar memiliki militansi dalam perjuangan.
4. Akan dibuat beberapa program yang sifatnya pemberdayaan mahasiswa, untuk meningkatkan kapasitas mahasiswa. Diantaranya adalah perpustakaan dan pelatihan bagi anggota Kamase. Perpustakaan ini nantinya akan berisi literatur-literatur yang tidak terdapat di kampus, tetapi benar-benar dibutuhkan dalam dunia nyata sehari-hari. Pelatihan ini lebih pada sharing pengalaman alumni dalam dunia kerja, terutama yang berkaitan dengan energy terbarukan.
Sudah jam 11.00, saatnya pertemuan diakhiri, karena sobatku harus pulang ke Solo. Urusan keluarga (Selamat bro, aku ikut bahagia untukmu). So, perjalanan dilanjutkan menuju tempat penginapan Wisma PU di depan IAIN Sunan Kalijaga Jogjakarta. Sudah ada yang menungguku disana.
Bersambung....

1 komentar:

Anonim mengatakan...

tops!!! ternyata si kacang blum kehilangan kulitnya... jogja emang banyak berubah, pemuas hedonisme muncul di tiap sudut tapi esensinya masih bisa di temui saat mampir di angkringan yang tak akan tergusur jaman... jadi kepengen nangkring di Kopi Joss lagi Prol... hehehehe