Senin, 09 Juni 2008

Arsitektur Nusantara dan Penemuan kembali kebudayaan kita


Pertama kali mengenal Prof. Eko Budihardjo justru bukan sebagai seorang arsitek, tapi sebagai seorang sastrawan, terutama melalui puisi-puisi karyanya, bersama-sama Sapardi Joko Damono, Abdul Hadi WM, Taufik Ismail, dan Sutardji Cholzum Bachri. Belakangan, saya mengenal Eko Budihardjo juga sebagai ahli tata ruang dan perencanaan kota serta seorang arsitek yang juga rektor Undip. Beberapa bukunya tentang kota di Indonesia belakangan turut menghiasi lemari buku dan menambah khasanah pemikiranku, bagaimana seharusnya sebuah kota berkembang dan hidup. Sosok yang sangat idealis, dan pemikirannya yang menempatkan manusia sebagai episentrum perencanaan dan pembangunan mengingatkanku pada Soedjatmoko, intelektual merdeka Indonesia yang berkaliber dunia serta rektor pertama Universitas PBB di Tokyo.

Sementara Prof. Josef Prijotomo (foto kanan), pertama kali mengenalnya dari media (Kompas), yang saat itu mengupas tentang bukunya tentang arsitektur rumah Joglo (rumah Jawa). Guru besar arsitektur ITS ini mengampanyekan tentang perlunya pemahaman yang komprehensif serta kearifan rumah Joglo, serta bagaimana hitungan-hitungan Jawa (petungan) memiliki makna kosmologis dalam masyarakat Jawa sekaligus sebagai simbolisasi dari harmonisasi dengan makrokosmos. Bukunya saat itu (kalau tidak salah, saat aku semester akhir kuliah) benar-benar menarik perhatianku. Meskipun aku sudah berusaha mencarinya (saat itu) tetapi aku belum bisa menemukannya.

Itulah pertemuan intelektual singkatku dengan dua maestro tersebut. Puji Tuhan, akhirnya kesempatan untuk bertatap muka dan bicara secara langsung dengan dua maestro tersebut kesampaian. Kembali, dalam seminar nasional tentang Arsitektur Tradisional. Selain mereka berdua, hadir pula DR. Djauhari (Pusat Dokumentasi Arsitektur), Prof. Yuswadi Salya (ITB), Prof Ananto Yudono (Unhas Makasar), Prof. Yulianto Sumalyo (UI-Jakarta). Tanpa mengesampingkan profesor yang lain, bagiku ide segar dan menarik datang dari Eko Budiharjo dan Josef Prijotomo, karena memberikan tantangan dan pertanyaan yang sifatnya sangat mendasar.

Eko Budihardjo, dalam ceramahnya menggugat peran arsitektur yang memiliki peran dalam “menghancurkan” arsitektur di Indonesia yang cenderung men-dehumanize masyarakat Indonesia dan meng-alienasi masyarakat dari akar budaya. Menurutnya, dalam merancang, para arsitek tidak punya “idealisme” dalam membangun, dan merancang hanya untuk duit dan sesuai pesanan. Form follows fulus, katanya. Hal ini pula yang banyak disampaikan dalam buku-bukunya, dimana arsitek hanya cenderung merancang memenuhi kepentingan kaum kapitalis birokrat yang menekankan pada aspek pertumbuhan ekonomi (baca: akumulasi kapital). Manusia hanya menjadi aspek sekunder atau bahkan tidak masuk variabel dalam perancangan. Alienasi, kriminalitas, kesenjangan, adalah buah perencanaan yang tidak mengindahkan faktor manusia.

Hal inilah, menurutnya penyebab arsitektur tradisional dipandang sebelah mata. Semuanya dilihat dari kacamata untung-rugi, dan bukan fungsionalitas sebagai produk budaya masyarakat. Akhirnya, ruang tidak lagi dipahami dalam konteks budaya tetapi sebagai satuan fungsi ekonomi (ah, di zaman kapitalis seperti ini apa sih yang tidak di komersialkan. Ruang yang sangat privat-pun/seks di kapitalisasi, apalagi hanya rumah). Nilai-nilai budaya dalam arsitektur tradisional-pun lenyap bak di telan bumi terhisap dalam gelombang keserakahan kapitalisme.

Bagaimana memulainya, itulah pertanyaan yang perlu diajukan pada Prof. Eko Budihardjo. Jawaban atas pertanyaan ini tidak mudah, mengingat struktur ekonomi dan budaya kita yang memang sudah ter-hegemoni oleh pandangan kapitalis yang serba massif. Apakah harus dimulai dari para arsitek? Memang, menurut saya arsitek perlu memiliki idealisme tentang bentuk-bentuk yang menempatkan manusia sebagai pusat kosmologis perancangan. Tetapi hal itu tidak mudah, karena asitektur bekerja sesuai dengan kebutuhan. Lantas, apakah kebutuhan hanya dibatasi pada kebutuhan ekonomi saja? Apakah kebutuhan budaya tidak merupakan kebutuhan. Ini tentu saja akan berbenturan dengan pemahaman terhadap ruang itu sendiri. Selama ruang dipahami sebagai satuan fungsi ekonomi, maka selama itu pula arsitek akan bekerja untuk kepentingan ekonomi. Maka, yang paling masuk akal adalah pengembangan arsitektur tradisional di wilayah rural, dimana ruang masih dipahami secara tradisional.

Maka Prof. Josef Prijotomo memberikan pandangan yang menarik, bagaimana seorang arsitek seharusnya bekerja. Menurutnya, perlu perubahan paradigma (weltanschauung) atau sudut pandang yang radikal, yaitu menempatkan arsitektur tradisional (Josef lebih suka menggunakan istilah arsitektur nusantara) sebagai “the other/liyan” (meminjam istilah Jean P. Sartre) dari arsitektur Barat. Menurutnya, corak dan karakter arsitektur tradisonal sangat berbeda jauh dengan arsitektur Barat, akibat perbedaan iklim dan musim. Arsitektur tradisional sebagai pernaungan, sedangkan asitektur Barat sebagai lindungan. Dua hal yang berbeda, ibarat pohon kelapa dan pohon cemara, tidak bisa dibandingkan, hanya bisa disandingkan.

Satu hal yang menjadi keprihatinan Josef adalah sudah 50 tahun lebih sekolah arsitektur, tapi hanya sedikit yang membahas tentang arsitektur tradisional. Itupun hanya mata kuliah arsitektur tradisional dengan literature yang sangat minim. Hanya ada satu buku yang dijadikan acuan, yaitu Sejarah Arsitektur Tradisional karangan DR. Djauhari. Tentu saja ini hal yang ironis, ketika arsitektur tradisional masih belum dianggap sebagai karya arsitektur dalam kacamata arsitektur Barat. Yang harus diingat, Barat bukanlah satu-satunya sumber pengetahuan arsitetur di dunia. Karena itu, perlu perubahan yang radikal terhadap pandangan arsitektur di Indonesia, terutama berkaitan dengan arsitektur tradisional. Bahkan, mengutip Romo Mangun, semestinya kita tidak perlu memakai istilah arsitektur (yang bikinan Barat itu), tetapi istilah yang benar-benar khas nusantara, yaitu Wastu Citra. Itulah, ketika kekuasaan pengetahuan menjadi hegemoni Barat, dan kita benar-benar belum bisa lepas dari pandangan Barat sepenuhnya. (Kita masih terjajah dalam pengetahuan).

Yang menarik lagi adalah perlunya pengetahuan antropologis dalam disiplin ilmu arsitektur. Ini sejalan dengan apa yang digaungkan oleh Eko Budihardjo, bahwa manusia dan seluruh aktifitasnya adalah sumber perencanaan. Objek kajian antropologi, yaitu manusia dan kebudayaannya, semestinya menjadi bahan pertimbangan utama dalam perencanaan arsitektur (atau wastu citra) agar kebudayaan manusia tetap mengambil jalan yang kontinu, tidak terpotong. Sehingga proses dehumanisasi dan alienasi dapat direduksi atau dicegah. Dan inilah yang seharusnya membedakannya dengan arsitektur Barat.

Maka pertanyaannya adalah, manusia dan kebutuhannya senantiasa berubah. Apakah dengan perubahan manusia dan kebutuhannya tersebut, tidak memengaruhi pola hunian yang berarti akan memengaruhi pola arsitektural hunian. Apakah dengan konsep dasar arsitektur tradisional mampu mengakomodasi kebutuhan manusia yang tiap waktu bertambah dan kompleks?. Atau kita perlu mendefinisikan ulang (redefinition) apa itu wastu citra?

Persoalan kedua, apabila memang perlu adanya kuliah arsitektur tradisonal dalam sekolah arsitektur, sejauh mana persiapan tersebut. Sepengetahuanku, sebelum (Alm) Prof. Koesnadi mengawali kuliah hukum lingkungan, beliau perlu mennyiapkan bahan ajar kuliah hukum lingkungan, dan menyiapkannya butuh waktu bertahun-tahun. Memang akhirnya berhasil, dan salah satu faktor akselerasinya adalah jabatan Prof., Koesnadi di Dirjen Dikti saat itu. Tetapi untuk Arsitektur Tradisional? Dalam pembicaraan dengan Prof. Yuswadi Salya di bandara, saya menangkap nada pesimis dari beliau tentang proyek ini. Untuk buku ajar sendiri, sebenarnya sedang disusun tapi terhenti di tengah jalan. Salah satunya adalah kendala dana, kebijakan buku yang tidak kondusif, serta dukungan yang kurang. Para penulis sendiri, seperti Prof. Yosef P, Prof. Eko Budihardjo, dkk sudah menyiapkan dan mengumpulkan bahan tersebut. Sangat disayangkan bila proyek tersebut gagal, mengingat para penulis dan orang-orang yang konsen dengan arsitektur tradisional mulai uzur.

Persoalan selanjutnya adalah konservasi arsitektur tradisional. Selama ini, upaya konservasi hanya pada dokumentasi dan program konservasi lain seperti museum, kawasan konservasi, dsb. Belum ada upaya yang lebih menyentuh substansi konservasi. Hanya beberapa bagian di Indonesia saja yang memertahankan tradisi dengan arsitektur tradisional, seperti Tana Toraja misalnya. Rumah Joglo di Kota Gede Jogja banyak yang berpindah tangan ke pemilik asing. Bahka, dalam kunjungan saya ke benteng Somba Opu kemarin terdapat salah satu rumah tradisional yang dimiliki oleh orang Jerman. Bagaimana rumah tradisional dapat membuat penghuninya memiliki ikatan batin, emosional, dan budaya dengan ruang yang ditempatinya, disitulah menurutku konservasi seharusnya dilakukan. Jadi, bukan sekadar benda museum. Mekipun demikian, langkah DR. Djauhari dengan Pusat Dokuentasi Arsitekturnya perlu mendapat apresiasi dan harus terus dikembangkan.

Jika dulu Bung Karno pernah berpidato “Penemuan kembali revolusi kita” yang akhirnya jadi Manifesto Politik yang juga akhirnya menjadi Garis Besar Haluan Negara (GBHN), maka terbersit ide dalam pikiran : “Penemuan kembali kebudayaan kita”. Mumpung masih dalam rangka 100 tahun kebangkitan nasional. Lihatlah berapa banyak obat tradisional kita menjadi darah dan daging dalam tubuh kita. Dokter lebih percaya dengan obat kimia dari Barat serta metode dari Barat daripada kearifan bangsa dalam memandang tubuh sebagai satu kesatuan dengan prinsip keseimbangan yang paripurna. Atau berapa banyak diantara kita yang bangga dengan kebudayaan kita. Saya percaya, kebudayaan kita adalah kebudayaan adiluhung, pengetahuan kita adalah pengetahuan yang tidak kalah dari bangsa Barat, yang mampu mengantarkan bangsa kita menjadi bangsa yang unggul (khaira ummah). Kritik Mochtar Lubis dalam orasi kebudayaannya di Taman Ismail Marzuki 3 (tiga) dekade yang lalu masih tetap relevan dan perlu sebagai cermin diri. Melepaskan diri dari paradigma deterministik Newtonian menuju paradigma holistik, sebagaimana dimiliki oleh kebudayaan dan pengetahuan (local indigenous) kita.

Dominasi Belanda dan kebudayaannya selama 3 (tiga) abad lebih telah membangun watak inlander dalam diri kita. Sebuah kesadaran yang tertanam jauh dalam alam bawah sadar kita. Maka saatnya bangkit dengan Penemuan Kembali Kebudayaan Kita. Jika Eropa mampu bangkit dari kegelapannya dengan semangat penemuan kembali kebudayaan dan pengetahuan Yunani kuno (renaissance), saya percaya kita mampu melakukan hal serupa. Jika Eropa mampu menyingkirkan mitos dan menciptakan masyarakat ilmu, kita bisa juga melakukannya (menurut Kuntowijoyo, kita masih ada di tahapan masyarakat ideologi, belum masyarakat ilmu). Penemuan Kembali Kebudayaan Kita akan menjadi lentera dan panduan dalam kebangkitan nasional menuju bangsa yang jaya. Sekarang tinggal kemauan kita. Bagaimana?

Tidak ada komentar: