Sabtu, 31 Mei 2008

Tentang Kematian



Belakangan ini aku selalu berpikir tentang kematian. Apakah karena kematian adalah sesuatu yang paling dekat dengan kita tetapi kita hanya tidak pernah menyadari kehadirannya. Dan saatnya sekarang aku manyadarinyaSetiap detik dan waktu aku merasa kematian begitu dekat denganku. Saat naik angkot, terlintas dalam pikiran angkot yang kunaiki mengalami kecelakaan. Saat naik motor, terbayang menabrak sesuatu yang merenggut nyawaku.
Aku bukan orang yang beriman yang selalu merindukan kematian. Tetapi terkadang aku ingin kematian segera datang menghampiriku dan membawaku pergi dari kesia-siaan hidup. Mungkin ini karena ketidakstabilan jiwaku. Atau jangan-jangan kematian memang sudah menantiku, dan berharap aku menyapa dan menerima ajakannya (Siapa aku?, hehehe). Tapi mungkin saat dia menyapa dan memaksaku ikut dengannya, aku mungkin takkan siap. ”Apakah kamu tidak merindukan-Nya”, tanya sang kematian. ”Apakah Dia merindukanku?”....
Kematian menghapuskan semuanya, termasuk penderitaan. Kematian membawa pertemuan, bahkan yang dulu bermusuhan, meskipun pertemuan itu terjadi di pekuburan. Kematian pula yang akan mengantarkan air mata terkasih ke tanah yang masih basah oleh bau wewangian. Kematian pula yang mengkahiri kehidupan sekaligus mengawali kehidupan yang baru. Yang senantiasa menderita (di dunia), berharaplah pada kehidupan baru yang lebih indah dan bahagia.
Sebagaimana kehidupan, kita tidak pernah bisa memilih untuk dilahirkan. Memilih menjadi anak siapa, bangsa apa, dan menjadi apa. Begitu juga kematian. Kita tidak bisa memilih cara kita mati. Tapi seandainya aku diijinkan oleh Tuhan untuk memilih bagaimana aku harus mati, maka Tuhan ijinkanlah aku mati dengan cara-cara seperti ini:
1. Aku ingin mati dalam pelukan sang alam. Aku ingin mengulangi sejarah yang dialami oleh Soe Hok Gie ketika harus menerima kematian di puncak Semeru. Alam, begitu agung. Dalam pelukan keagungan sang alam, mungkin kematianku akan menjadi sangat agung dan sangat indah, lebih indah dari larik puisi sang kala.
2. Aku ingin mati sebagai martir yang membela kepentingan rakyat tertindas. Aku kembali ingin mengulang sejarah Arif Rahman Hakim atau Elang yang tewas tertembus peluru aparat komprador penindas. Lihatlah, darah suci telah membasahi tanah pertiwi, dan mati dalam pelukan Sang Ibu terasa sangat khidmat kudus, dan sahdu.
3. Aku ingin mati saat aku sedang bersujud kepadaMu wahai Kekasih, bersujud mencium Kaki-Mu yang Maha Suci. Bersujud alam keheningan malam. Bersujud di tempat yang Kau sucikan.
Tetapi aku tahu bahwa aku tidak diberi hak untuk memilih bagaimana aku harus mati. Karena itu sebelum waktuku tiba, kadang aku berpikir banyak hal yang harus kulakukan. Hal-hal yang belum pernah kulakukan atau sudah lama sekali tidak kulakukan. Sebelum tiba sesal.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

hiks...hiks...baca ini aku jadi inget mamahku yang baru 40 hari meninggal. Sejak mamahku meninggal aku jadi kepengen banget cepet2 "kesana" buat ketemu mamah..tapi ya masih takut juga siy bekalnya gak cukup. Yang ada nanti bukannya ketemu mamah malah ketemu yang mengerikan...hiks..jadi kangen mamah..