Senin, 26 Mei 2008

Akhirnya naik juga



Akhirnya harga BBM naik juga, setelah isu tersebut ditiupkan pemerintah sejak beberapa hari yang lalu. Isu yang sangat sensitif dan memicu berbagai keresahan ekonomi dan sosial masyarakat Indonesia. Belum harga BBM dinaikkan, harga-harga sudah melambung tinggi, BBM terutama minyak tanah, bahkan elpiji menghilang dari pasar. Sementara, pendapatan masyarakat tak kunjung meningkat, bahkan cenderung menurun ditengah ketidakpastian ekonomi ini. Demonstrasi terjadi dimana-mana, baik pada skala kecil maupun besar, ditunggangi kepentingan politik atau tidak, bahkan disertai tindakan represif aparat terhadap para demonstran yang sebagian besar adalah para mahasiswa dan ibu rumah tangga. Seorang buruh di Jakarta dengan hanya penghasilan Rp. 972.000/bulan (UMP DKI Jakarta) dengan harga minyak saat ini saja sudah tidak bias memenuhi kebutuhan konsumsi dasar, apalagi jika harga BBM sudah dinaikkan. Entah darimana lagi sang buruh harus memenuhikebutuhan hidupnya yang kian hari kian membengkak.

Akhirnya harga BBM naik juga. Dengan dibacakan oleh anggota kabinet yang dikomandoi oleh Sri Mulyani (Menkeu), pemerintah menaikkan harga Premium Rp. 6000,-, solar Rp. 5500,- dan minyak tanah Rp. 2500,-. Maka lengkaplah penderitaan rakyat Indonesia di bawah pemerintahan bangsanya sendiri, dan tidak lebih baik daripada pemerintahan bangsa asing (VOC/Hindia Belanda). Maka sia-sialah tujuan proklamasi bangsa, melindungi segenap bangsa Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdasakan kehidupan bangsa. Kemiskinan akan semakin bertambah, beban hidup semakin berat, harga-harga melambung tinggi, pendapatan tetap, bahkan berkurang karena nilai uang yang semakin rendah. Tragedi busung lapar akan kembali terulang, nasi aking akan menjadi santapan pokok sebagian besar rakyat miskin. Biaya produksi, biaya distribusi/ transport akan meningkat (belum termasuk pungli aparat kepolisian ataupun dinas perhubungan setempat), angkot naek, nasi padang dan warung tegal juga ikut naek, bahkan mungkin harga jarum per batang juga naik kayaknya. Perusahaan gulung tikar, pengangguran merajalela. Bila sudah demikian, ikatan sosial masyarakat melemah. Potensi konflik sangat besar, perut yang lapar sangat mudah terprovokasi. Kerawanan sosial meningkat. Siapa yang paling menderita?. Rakyat. Apakah pemerintah tidak pernah berpikir dengan efek domino (multiplying effect) yang diakibatkan oleh kenaikan harga BBM dengan berakibat pada penderitaan rakyat, dan lebih memilih mengatakan :”bahwa yang melakukan demo mendukung subsidi untuk orang kaya”. Mulutmu harimaumu.

Tidak adakah jalan yang lebih bijaksana selain menaikkan harga BBM?. Entahlah, aku bukan ahli ekonomi yang mengetahui seluk-beluk ekonomi makro atau mikro, APBN, tingkat inflasi, dan tetek bengek lainnya. Yang aku ketahui bahwa adalah bahwa APBN bocor beratus-ratus triliun kepada para konglomerat untuk likuiditas Bank Indonesia (wow…bukankah mestinya dana tersebut bisa digunakan menambal deficit APBN akibat harga minyak dunia yang melambung?, entahlah…). Yang aku tahu hutan kita tiap jam habis seluas 6 kali lapangan bola dan kerugian Negara pertahun mencapai 200 Triliun rupiah. Atau ikan kita diperairan nasional yang dibiarkan dijarah nelayan asing dan merugikan Negara puluhan triliun tiap tahun. Dan yang aku tahu, rakyat kita sudah sangat menderita, danjangan ditambah lagi penderitaan tersebut.
Entahlah, rupanya pemerintah lebih suka mengorbankan kaum buruh tani dan rakyat miskin untuk menjadi tumbal salah urus negara daripada harus repot-repot ngurus pengemplang BLBI dan penjarah hutan dan laut kita (maklumlah, pembantu presiden kan kebanyakan pengusaha/kapitalis). Sejarah juga mengajarkan pada kita, betapa kaum buruh tani dan rakyat kecil selalu menjadi korban kelas diatasnya, sejak jaman feodalisme sampai aristokrasi borjuasi VOC dan Hindia-Belanda. Semua karena posisi politik kaum buruh tani yang lemah (Ong Hok Ham).

Akhirnya harga BBM naik juga. Dan pemerintah kembali menggunakan pola lama yang terbukti gagal, Bantuan Langsung Tunai (BLT). Apakah pemerintah sudah benar-benar bebal dan tidak mau menarik pelajaran dari kegagalan BLT sebelumnya? Atau memang sengaja lebih memilih menjadi keledai yang terantuk pada lubang yang sama dua kali? (siapa pemimpin keledainya?). Yah, meskipun jumlahnya tidak sama, hanya sedikit ditambah beras dan minyak goreng, tetapi apalah artinya jumlah uang Rp. 100.000/bulan di kala semua kebutuhan hidup meningkat. Nilai uang Rp. 100.000 di tahun 2005 tentu saja berbeda dengan tahun 2008. Untuk makan saja dalam seminggu sudah habis (di Jakarta), apalagi untuk sewa rumah, bayar listrik, kesehatan anak, pendidikan, dan entah kebutuhan apalagi. Apa yang diharapkan dari itu kecuali pembodohan, peninaboboan, dan kalau istilah teman-temanku di kampus: penjontrongan sistematis (sampai sekarang aku tidak tahu apa arti penjontrongan itu, tapi sepertinya berarti penelantaran atau melemparkan seseorang kepada masalah baru) terhadap masyarakat.

Bandingkan dengan dampak yang ditimbulkan oleh BLT, selain ketidakmampuan BLT menyelesaikan permasalahan mendasar masyarakat, adalah gesekan-gesekan yang muncul di kalangan rakyat. Ada yang mendapat dan ada yang tidak mendapatkan BLT. Apa yangterjadi, sungguh dapat diduga. Ribut, kisruh, saling curiga, kecemburuan, pertengkaran, dan retaknya hubungan sosial antarmasyarakat. Siapa yang menjadi korban?. Rakyat. Bukankah persatuan dan kesatuan serta nilai-nilai budaya dan kehidupan sosial yang sehat merupakan salah satu modal dasar pembangunan Indonesia. Sangat disayangkan kalau kita kehilangan itu semua karena jumlah materi yang tidak seberapa.

Kapan Indonesia bangkit? Itu mungkin bisa terjadi kalau SBY-JK turun tahta dan diganti pemerintahan yang progresif. Apakah kita membutuhkan sosok-sosk seperti Hugo Chavez, Evo Morales, Fidel Castro, atau Mahmoud Ahmadinejad? Entahlah, mereka belum teruji dimasyarakatnya (tapi setidaknya mereka berani berdiri bersama rakyat).
Apakah kondisi saat ini mengharuskan adanya revolusi sosial (revolusi proletarian ala bolshevisme atau maoisme)? Kesan kita akan revolusi selalu mengerikan dengan jatuhnya banyak korban. Bila perubahan dapat tercapai tanpa revolusi, kenapa tidak?. Tapi bila revolusi adalah keniscayaan, untuk mencapai sana kita membutuhkan sang pemimpin yang menguasai teori revolusi dan mempraksiskannya pada kondisi Indonesia. Kita butuh sang pemimpin semacam founding father Tan Malaka, selain organisasi proletarian yang kuat yang akan memandu revolusi, organisasi yang dapat meningkatkan posisi politik kaum buruh tani dan murba sehingga menjadi the ruling class.

Maafkan kami para pahlawan, kami gagal mengemban amanatmu untuk memajukan bangsa ini di bawah pemerintahan bangsa sendiri. Pengorbananmu seolah sia-sia belaka. Darah yang mengalir, keringat yang tumpah, harta benda yang hilang, menjadi tidak bermakna. Sempat terbersit pikiran: “Kembalikan saja negara ini pada Belanda, mungkin bisa lebih baik kondisinya” Tetapi aku yakin kalian pasti akan marah mendengarnya. Aku tidak mau menambah kekecewaan kalian, wahai para pahlawanku…

Tidak ada komentar: