Jakarta, masih menampakkan wajah angkuh dan sangarnya, siap menerkam pendatang yang tidak berbekal apa-apa. Banyak gedung baru akan, sedang, dan baru selesai dibangun. Di Cawang, di MT Haryono (maaf..hanya rute itu yang selalu kulewati saat ke Jakarta) ada gedung megah baru berdiri. Jakarta, masih menjadi tujuan manusia kurang beruntung merajut mimpi, yang pada akhirnya ditelan mimpi buruk tanpa bisa bangun lagi. Hirup pikuk masih, seolah lupa (ah, bangsa ini memang mudah terkena amnesia) dan seolah-olah luka yang terjadi persis 10 tahun lalu itu tidak memengaruhi kesombongan Jakarta. Mungkin memang Jakarta terlalu besar hanya untuk digores puluhan bahkan ratusan nyawa yang melayang. “Setiap revolusi selalu memakan anak kandungnya sendiri”, mungkin itu pembelaan pemilik nama lama Batavia ini.
Diatas bus, seorang kakek dengan baju compang-camping masuk sambil membawa gendang. Matanya sudah rusak sebelah, lengan kanannya bengkok (mungkin pernah patah dan tidak punya biaya untuk berobat, akhirnya cacat seumur hidup), kulit hitam legam terbakar panasnya Jakarta, dan tubuh kotor penuh debu asap kendaraan Jakarta yang tiap hari bikin semrawut Jakarta. Hanya suara terbata-bata ah…ah…ah… saja yang keluar dari mulutnya (sepertinya memang gagu), tangan mulai memainkan gendang. Suara dan gerakannya menimbulkan rasa iba dan memunculkan kegelisahan, alangkah banyaknya orang kurang beruntung di Jakarta ini. Dan sepertinya tiap orang sibuk dengan urusan masing-masing, dan lupa (ah,,,amnesia lagi) bahwa sang kakek juga manusia (bukankah esensi manusia itu tunggal?). Kukeluarkan uang seribu (maaf kek, saat itu aku cuman memberi segitu) untuk rasa iba itu.
Ya,,,itulah tiap ke Jakarta ada perasaan keterasingan di tengah jutaan manusia yang membanjiri Jakarta tiap hari. Gambaran yang sangat melodramatic tentang Jakarta digambarkan dengan sangat baik oleh Korrie LAyun Rampan dalam puisinya yang berjudul “Jakarta” (Nyanyian Kekasih, 1981)
Hari-hari keasingan
Memintas diri
Angin kota berdesingan
Menimpuk mati
Gedung-gedung menjulang
Rimba ramai yang sepi
Orang-orang berebut matahari
Mengusung bulan
Membawa uang mimpi pulang
Di bawah langit yang sepi
Kuinjak bumi, kutatap wajah diri
Asing dan sendiri
Atau dengarlah "Jakarta menunggu diusir nasib" dari Darmanto Jatman
Dari Jakarta
Bisa kucium bau sunyi London
Mengapung di bak mandi
Mengguyurku dengan
Rasa sunyi yang dingin
Dan tak kenal belas kasihan
Diantara nyanyi butung-burung
Matahari pagi
Dan bulan bundar sekeping
Erangan kucing pacaran
Dingin kabut
Dan es yang keras lengket di kudukku
- Aku amat sendiri
Tuhanku
Biarkanlah cawan itu lewat dar mulutku
(garuda Indonesia memang biasa terbang sendirian
- Tak usah heran kenapa)
Tapi bebek yogya mana bisa jalan tidak iring-iringan
- Silakan bertanya kenapa)
- Gusti
Hamba merasa
Amat sendiri !!
Kapan kota kita bisa menjadi lebih manusiawi???
Tidak ada komentar:
Posting Komentar