Selasa, 27 Mei 2008

Jakarta, Mei 2008


Sekian lama tidak ke Jakarta di akhir pekan, membuatku merasa ingin sedikit bernostalgia dengan Jakarta (huek…). Dan masih sama, selalu panas, penuh sesak dengan jejalan manusia dengan urusannya masing-masing. Ga peduli kiri kanan, “This is my world”, mungkin kayak gitu kira-kira apa yang mereka pikirkan. Larut dan tenggelam dalam alam pikiran masing-masing sambil bergegas mempercepat langkah.
Jakarta, masih menampakkan wajah angkuh dan sangarnya, siap menerkam pendatang yang tidak berbekal apa-apa. Banyak gedung baru akan, sedang, dan baru selesai dibangun. Di Cawang, di MT Haryono (maaf..hanya rute itu yang selalu kulewati saat ke Jakarta) ada gedung megah baru berdiri. Jakarta, masih menjadi tujuan manusia kurang beruntung merajut mimpi, yang pada akhirnya ditelan mimpi buruk tanpa bisa bangun lagi. Hirup pikuk masih, seolah lupa (ah, bangsa ini memang mudah terkena amnesia) dan seolah-olah luka yang terjadi persis 10 tahun lalu itu tidak memengaruhi kesombongan Jakarta. Mungkin memang Jakarta terlalu besar hanya untuk digores puluhan bahkan ratusan nyawa yang melayang. “Setiap revolusi selalu memakan anak kandungnya sendiri”, mungkin itu pembelaan pemilik nama lama Batavia ini.
Diatas bus, seorang kakek dengan baju compang-camping masuk sambil membawa gendang. Matanya sudah rusak sebelah, lengan kanannya bengkok (mungkin pernah patah dan tidak punya biaya untuk berobat, akhirnya cacat seumur hidup), kulit hitam legam terbakar panasnya Jakarta, dan tubuh kotor penuh debu asap kendaraan Jakarta yang tiap hari bikin semrawut Jakarta. Hanya suara terbata-bata ah…ah…ah… saja yang keluar dari mulutnya (sepertinya memang gagu), tangan mulai memainkan gendang. Suara dan gerakannya menimbulkan rasa iba dan memunculkan kegelisahan, alangkah banyaknya orang kurang beruntung di Jakarta ini. Dan sepertinya tiap orang sibuk dengan urusan masing-masing, dan lupa (ah,,,amnesia lagi) bahwa sang kakek juga manusia (bukankah esensi manusia itu tunggal?). Kukeluarkan uang seribu (maaf kek, saat itu aku cuman memberi segitu) untuk rasa iba itu.
Ya,,,itulah tiap ke Jakarta ada perasaan keterasingan di tengah jutaan manusia yang membanjiri Jakarta tiap hari. Gambaran yang sangat melodramatic tentang Jakarta digambarkan dengan sangat baik oleh Korrie LAyun Rampan dalam puisinya yang berjudul “Jakarta” (Nyanyian Kekasih, 1981)

Hari-hari keasingan
Memintas diri
Angin kota berdesingan
Menimpuk mati
Gedung-gedung menjulang
Rimba ramai yang sepi
Orang-orang berebut matahari
Mengusung bulan
Membawa uang mimpi pulang
Di bawah langit yang sepi
Kuinjak bumi, kutatap wajah diri
Asing dan sendiri

Atau dengarlah "Jakarta menunggu diusir nasib" dari Darmanto Jatman

Dari Jakarta

Bisa kucium bau sunyi London

Mengapung di bak mandi

Mengguyurku dengan

Rasa sunyi yang dingin

Dan tak kenal belas kasihan

Diantara nyanyi butung-burung

Matahari pagi

Dan bulan bundar sekeping

Erangan kucing pacaran

Dingin kabut

Dan es yang keras lengket di kudukku

- Aku amat sendiri

Tuhanku

Biarkanlah cawan itu lewat dar mulutku

(garuda Indonesia memang biasa terbang sendirian

- Tak usah heran kenapa)

Tapi bebek yogya mana bisa jalan tidak iring-iringan

- Silakan bertanya kenapa)

- Gusti

Hamba merasa

Amat sendiri !!


Kapan kota kita bisa menjadi lebih manusiawi???

Tidak ada komentar: