Rabu, 14 Mei 2008

Fort Rotterdam, oleh-oleh dari Makasar


Benteng itu berdiri megah dengan menghadap ke arah pantai. Aku bisa membayangkan betapa angkuhnya bangunan kolonialisme tersebut, saat didirikan berabad-abad yang lalu untuk menandingi kebesaran benteng Somba Opu milik kerajaan Gowa. Belum masuk benteng aku sudah mulai membandingkan dengan benteng Vredeburg di Yogyakarta (kebetulan yang terakhir ini sudah sangat akrab bagiku, karena dulu sering mendatanginya saat ada pertunjukan seni dan budaya disana). Tentu saja, Fort Rotterdam jauh lebih besar dan lebih megah daripada benteng Vredeburg, padahal, menurut dugaanku usia Fort Rotterdam lebih tua daripada Vredeburg. Fort Rotterdam sudah ada sejak zaman VOC, dan pernah direbut oleh Sultan Hasanuddin (untuk sementara dan sesaat) dalam pertempuran besar di Makassar (VOC saat itu bersekutu dengan Aru Palaka), sementara Vredeburg dibangun untuk membendung pengaruh Kesultanan Yogyakarta yang secara de jure dan de facto baru ada setelah perjanjian Gianti tahun 1755 (masa akhir VOC, yang dibubarkan tahun 1799). Usia Fort Rotterdam mungkin hanya kalah dari benteng Batavia.

Masuk ke dalam benteng, akan membawa kita kepada pemahaman bagaimana ekspedisi bangsa Eropa membangun kolonialisme di tanah seberang. Benteng, berfungsi utama sebagai tempat perlindungan utama terhadap kepentingan-kepentingan koloni yang baru terbentuk tersebut. Perlindungan terutama dari kekuasaan pesaing-pesaing terdekat, dalam hal ini adalah dari kerajaan Gowa yang telah dulu berkuasa di daerah Makasar. Sebagai tempat berlindung, Fort Rotterdam boleh dibilang sangat kokoh, dan mustahil ditembus untuk ukuran zaman itu. Kenapa? Yang pertama, desain benteng tersebut sangat kokoh. Dibangun dari batu gunung dengan tebal tembok rata-rata 3 meter dan setinggi 3 meter, mustahil ditembus oleh meriam (kuno) kaliber terbesar sekalipun. Di beberapa ujung, dibangun bastion sebagai pertahanan artileri utama. Terdapat beberapa lubang untuk penempatan meriam dan mengarahkan sasaran tembak, dan jumlahnya sangat banyak untuk tiap-tiap sisi benteng. Tidak terdapat indikasi adanya parit didepan benteng sebagaimana terdapat di Yogyakarta. Tetapi dengan bagian depan menghadap langsung ke laut, maka serangan dari laut akan sangat mudah sekali dihalau. Seperti kata Napoleon, “Satu meriam di darat lebih baik daripada 100 meriam di laut”. Berdiri di tembok benteng, jarak pandang sangat luas, sehingga memudahkan tentara dalam benteng dalam mengarahkan sasaran senapannya (VOC diberi hak oleh pemerintah kerajaan Belanda untuk mengeluarkan mata uang sendiri dan membentuk tentara). Dengan konstruksi benteng seperti itu, dapat dipastikan benteng tersebut menjadi salah satu benteng yang terkuat yang dibuat oleh VOC. Maka, ketika Sultan Hasanudin berhasil menguasai Fort Rotterdam, meskipun untuk sementara, membuktikan betapa dahsyatnya pertempuran yangterjadi dan betapa jeniusnya Sultan Hasanudin mengatur siasat perang.

Yang kedua, ini berkaitan dengan perbedaan jauh antara teknologi yang dimiliki oleh VOC dan orang Makasar, dan orang Indonesia ada umumnya. Meskipun jumlah koloni bangsa Belanda di Makasar relative kecil, tetapi dengan keunggulan teknologi yang dimilikinya mampu mengatasi kekurangan yang dimilikinya. Perbedaan ini menjadikan Fort Rotterdam sangat kokoh dan sulit ditaklukkan. Keunggulan teknologi ini pula menjadikan posisi politik mereka sangat tinggi terhadap penguasa-penguasa pribumi. Maka tak heran VOC sering terlibat dalam konfilk antarpenguasa pribumi, karena permintaan penguasa pribumi tersebut untuk membantu mereka dalam persaingan antarpenguasa pribumi. Keadaan ini dimanfaatkan VOC untuk memecah belah kekuatan pribumi, dan lama-lama malah menguasai mereka. Mula-mula minta daerah konsesi sebagai imbalan karena memberi bantuan, lama-lama wilayah penguasa pribumi berkurang, dan akhirnya seluruh wilayah takluk di bawah kekuasaan Belanda (VOC). Perjanjian Gianti, adalah bukti keterlibatan VOC dalam memecah kerajaan Mataram. Keterlibatan VOC dalam konflik antara Sultan Hasanudin dan Aru Palaka di Sulawesi Selatan, dalam konflik antara kaum adat dengan kaum Paderi di Sumatra Barat, adalah bukti metode dan cara kerja kaum koloni awal tersebut.

Melihat dari bangunan yang ada di dalam Fort Rotterdam, benteng ini juga dimanfaatkan untuk membina koloni masyarakat Eropa di Makasar. Pada awal kolonialisme, sebagian besar penghuni benteng adalah pria (mengingat jauhnya Belanda – Indonesia, dan berbahayanya pelayaran ke Indonesia sebelum Terusan Suez dibuka, ekspedisi bangsa Eropa tidak diikuti oleh kaum perempuan Eropa). Bangunan didalamnya didesain mirip bangunan di Belanda, untuk menciptakan kondisi psikologis agar merasa di rumah sendiri. Hal ini diperlukan, karena apabila semnagat koloni turun karena kangen kampong kelahiran, tujuan Gold, Gospel, Glory dalam ekspedisi sulit tercapai.

Sebagai tempat pembinaan masyarakat koloni awal, benteng dirancang agar kehidupan masyarakat didalamnya berjalan teratur. Tak heran, di dalam Fort Rotterdam terdapat gereja yang berdiri megah ditengah-tengah benteng untuk mengatur kehidupan rohani masyarakat. Bagian terbesar dari benteng adalah garnisun/barak untuk para tentara/serdadu VOC. Di sebelah selatan dan timur merupakan tempat tinggal para serdadu. Sementara sebelah utara, berdiri bangunan yang diperkirakan merupakan tempat tinggal para pejabat tinggi dan para perwira, dan juga perkantoran (semacam balai kota, Stadhuis di Batavia). Bangunan tersebut agak tinggi, dengan pintu masukmelewati tangga di luar, dan berbeda adak mencolok dari bangunan disekitarnya. Bangunan yang difungsikan sebagai tempat tinggal banyak tersebar di beberapa lokasi, sampai di pojok-pojok benteng. Bahkan, bangunan-bangunan di sekitar pojok benteng kelihatan lebih besar daripada bangunan disekitarnya (apakah ini difungsikan juga sebagai tempat tinggal para petinggi?).

Juga terdapat penjara di beberapa sudut benteng. Disudut benteng sebelah barat laut terdapat penjara yang pernah digunakan untuk menahan Pangeran Diponegoro sampai beliau meninggal. Jika di benteng Batavia, proses peradilan dilakukan di Stadhuis, lalu dimanakah lokasi pengadilan di Fort Rotterdam?. Didalamnya juga terdapat bangunan yang digunakan sebagai gudang persediaan, seperti yang ada di sebelah utara (dekat dengan pintu gerbang). Apakah keberadaan bangunan tersebut erat kaitannya dengan Fort Rotterdam sebagai pelabuhan dan pangkalan dagang VOC di Sulawesi?. Beberapa meter ke utara (kurang dari 200 meter) dari Fort Rotterdam saat ini terdapat pelabuhan peti kemas yang relatif besar. Apakah letak pelabuhan Makasar zaman VOC sama dengan yang dipakai oleh pelabuhan bongkar muat barang sekarang?

Sebagai permukiman pertama kaum koloni Eropa, fasilitas dalam benteng termasuk lengkap. Selain keamanan, kesehatan juga mendapatkan perhatian. Banyak saluran drainase yang dibangun, serta persediaan air bersih tercukupi (terdapat sumur air didalam benteng). Penataan bangunannya sangat rapi, dan kelihatan selaras dan harmonis. Mencerminkan bagaimana bangsa Eropa sangat cermat dalam merencanakan permukiman. Darimana kebutuhan pangan penghuni benteng terpenuhi? Mungkin dari perdagangan antarpulau yang dulu lazim terjadi di kepulauan Nusantara, atau dari pengambilan paksa terhadap pertanian peribumi? Entahlah…

Yang pasti, Fort Rotterdam merupakan benteng yang kokoh sebagai pertahanan, sehingga mendorong pelabuhan di Makassar menjadi ramai oleh aktifitas perdagangan (karena jaminan keamanan), rumah tinggal yang nyaman, sehat, tertur, rapi, dan lengkap. Yang jelas, benteng tersebut merupakan warisan cagar budaya bangsa yang harus dilindungi, terutama dari tangan bejat birokrat yang kongkalingkong dengan kaum kapitalis

Tidak ada komentar: