Jumat, 23 Mei 2008

Tentang Peneliti


To be or not to be, ungkapan yang sangat terkenal dari William Shakespeare beberapa abad lampau dalam sebuah dramanya Hamlet. Sebuah ungkapan yang sangat sederhana tetapi memiliki makna yang sangat dalam. Menurutku, menjadi peneliti adalah persoalan to be or not to be, bukan to have or have not.

Pada pertemuan (atau lebih tepatnya “pengarahan”) dengan Pusbindiklat (Pusat Pembinaan, Pendidikan dan Pelatihan) LIPI beberapa waktu yang lalu, ada beberapa persoalan yang mendasar yang harus diperhatikan dalam kepenelitian. Persoalan mendasar tersebut adalah orientasi penelitian. Orientasi ini berkaitan erat dengan motivasi, dan motivasi merupakan landasan penting untu menjadi (to be) seorang peneliti. Orientasi ini penting, karena semua yang akan dilakukan oleh seorang peneliti dalam meniti jenjang karier kepenelitiannya sangat bergantung kepada motivasi dan orientasi tersebut. Dan tentu saja berpengaruh secara langsung terhadap kualitas kepenelitian tersebut.
Sekarang bayangkan saja, dalam pertemuan tersebut, yang dibahas adalah keuntungan menjadi peneliti yang dapat merangkap jabatan ganda, tunjangan yang besar, usia pensiun yang lebih lama, karier di tangan sendiri, pencapaian angka kredit, kemudahan mencari angka kredit, kenaikan pangkat yang cepat (bahkan mampu sampai IV-e/setara jabatan menteri) dan melulu semua-mua yang berbau keuntungan materialistis. Apakah kemudian tidak ada orientasi yang lebih agung seperti kebahagiaan, atau sesuatu yang lain yang abstraks yang tidak dapat dinilai dengan materi?

Sebenarnya tidak ada yang salah dengan hal tersebut, sejauh kemudian hal tersebut mampu menjadi motivator yang besar untuk seorang peneliti. Memang, harus diakui, dunia kepenelitian di Indonesia masih belum mendapatkan tempat dan penghargaan yang selayaknya, baik dari pemerintah maupun masyarakat (kelompok lain). Dan persoalan tunjangan, jabatan rangkap, dan sebagainya mungkin dapat menjadi stimulan untuk menjadi peneliti. Tetapi, apabila kemudian stimulan itu justru yang menjadi faktor fundamental seseorang menjadi peneliti, akan membawa kepada beberapa konsekuensi, diantaranya:
1. Kualitas kepenelitian yang rendah
Karena motivasi dasar adalah kemilau materi (tunjangan, kedudukan), bukan tidak mungkin karya tulis yang dihasilkan asal-asalan. Asal aku dapat kredit (poin), dan status kepenelitianku ga dicabut, masa bodoh dengan kualitas tulisan. Kan dah dapet tunjangan, kreditku meningkat, naik pangkatku cepat, masa bodo dengan kualitas tulisan/peneliti. Apalagi kalau penelitian tersebut orientasinya adalah orientasi proyek. (waduh...jadi berabe neh...). Lalu, apa manfaatnya untuk rakyat? Kayaknya laporan penelitian yang kayak gini bila ditumpuk dapat nganter kita ke bulan, tanpa harus merancang pesawat ulang-alik hehehe...
2. Peneliti hanya menjadi ”jago kandang”
Karena kemudahan dalam mengumpulkan kredit, maka peneliti hanya akan menjadi ”jago kandang” dan ibaratnya katak dalam tempurung. Gimana tidak? Tiap lembaga riset pasti menerbitkan jurnal. Dan tulisan peneliti di jurnal tersebut kemungkinan besar dimuat dalam jurnal tersebut. Dapat kredit, dan kembali ke motivasi awal tadi, akhirnya masa bodo dengan kualitas. Akhirnya peneliti tersebut pekerjaannya ya hanya menulis, diterbitkan sendiri, dibaca sendiri, terus ketawa sendiri, hahahaha..... Apakah peneliti seperti ini yang kita harapkan?
3. Pemborosan
Ya karena uang yang dikeluarkan ga sebanding dengan hasilnya, itu kan dinamakan pemborosan uang negara to...

Memang belum ada penelitian yang menjelaskan adanya korelasi antara stimulan yang materialistik dengan motivasi yang spiritualistik, apakah sejalan atau berlawanan arus. Tapi mudah-mudahan, dengan stimulan yang murni materiaistik tersebut dapat muncul gairah dan semangat spiritualistik dari kalangan peneliti. Dan etika peneliti tidak hanya menjadi onggokan prasasti yang tidak bermakna.
Apapun itu, yang pasti, ketika seseorang sudah terjun dalam lembaga riset, maka ”Cintailah apa yang kamu lakukan, jangan hanya melakukan apa yang kamu cintai”, karena menjadi peneliti adalah persoalan eksistensi, to be or not to be.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Artikel yang menarik. Observasinya cermat dan kesimpulannya ... menyakitkan. Tapi saya menyaksikan hal yang sama. Betapa banyaknya Profesor Riset yang duduk di atas Laporan Teknis Intern. Betapa banyaknya plagiator. dalam berbagai jenjang jabatan peneliti.