Jumat, 27 Juni 2008

23 Juni 2008

Saat itu aku sedang di rumah untuk memulihkan kondisi dan istirahat –aku punya penyakit liver yang kambuhan. Malam itu pula, seorang kawan lama datang ke rumah. Kawan semasa MI (Madrasah Ibtidaiyah) dan MTs (Madrasah Tsanawiyah) serta teman sepermainan dan seorganisasi di IRM (Ikatan Remaja Muhammadiyah). Saat ini dia menjadi salah satu aktifis muda persyarikatan Muhammadiyah di tingkat cabang (kecamatan). Niatnya memang hanya untuk silaturrahim dan menengok sahabat lama yang sedang pulang kampong. Tapi, pembicaraan yang mengalir malam itu memunculkan ironi dan terasa sangat menyedihkan.
Cerita itu bermula dari aktifitas di salah satu amal usaha Muhammadiyah, yaitu pendidikan (maklum, kawanku itu berkecimpung di dunia itu sebagai pendidik). Sebagai orang yang dibesarkan dalam lingkungan Muhammadiyah, baik secara kultural maupun sosiologis, kawanku tahu benar apa arti ber-Muhammadiyah, paham benar apa yang menjadi ideologi Muhammadiyah. Karena itu, terlihat keprihatinan yang mendalam di mata kawanku saat berbicara tentang Muhammadiyah saat ini.
Menurutnya, gerakan Muhammadiyah di Sumberrejo terutama dan di Bojonegoro, mulai mengalami stagnansi akibat tercurahkannya energi para aktifisnya pada aktifitas politik. Celakanya, mereka semua bertindak tidak professional dengan membawa-bawa Muhammadiyah dalam kancah politik praktis (pertempuran Pilkada). Irasionalitas politik itu semakin menjadi-jadi dengan pengerahan seluruh potensi amal usaha Muhammadiyah yang ada untuk mendukung salah satu calon bupati. Lembaga pendidikan (Perguruan Muhammadiyah) bahkan harus meliburkan siswanya agar siswa tersebut mengikuti kampanye. Begitu juga dengan amal usaha yang lain seperti PKU/Rumah Sakit dan Panti Asuhan serta potensi-potensi yang ada.
Tak pelak, hal ini memunculkan pertentangan-pertentangan serta konflik antaranggota persyarikatan. Distribusi kekuasaan dan wewenang dalam organisasi yang tidak merata (adanya dominasi beberapa orang dalam organisasi), menyebabkan pertentangan ini semakin meruncing. Sayangnya, kekuatan dominan tersebut lebih dekat kepada kepentingan politik praktis tersebut. Akibatnya bias ditebak, beberapa orang yang tidak sepakat dengan sepak terjang kelompok tersebut, harus rela tersingkir. Banyak diantara mereka yang kemudian mengambil jalur politik lain sebagai saluran politiknya, seperti Hizbut Tahrir dan PKS (Partai Keadilan Sejahtera). Kawan saya tidak mengatakan apakah mereka yang tersingkir sudah sampai pada tahap mufaraqah terhadap Muhammadiyah atau tidak.
Yang lebih disayangkan lagi, ternyata ada beberapa orang-orang yang menjadikan Muhammadiyah sebagai batu loncatan terhadap karier dan ambisi politik mereka. Hal yang wajar, karena kekuatan Muhammadiyah yang signifikan di Bojonegoro. Orang-orang seperti inilah, yang menurutku berbahaya sekali terhadap persyarikatan dan harus “disingkirkan” dari persyarikatan agar tidak menjadi kangker yang menggerogoti persyarikatan dari dalam.
Tapi tidak hanya cerita sedih yang diceritakan kawan saya itu. Menurutnya, masih banyak orang-orang yang masih istiqamah dengan kemuhammadiyahan mereka. Orang yang memegang teguh pendirian dan ideologi Muhammadiyah. Orang-orang yang juga sedih melihat sepak terjang “elit lokal” Muhammadiyah dalam kancah politk dan menyeret-nyeret persyarikatan. Orang-orang yang dengan sengaja menjaga jarak dengan kekuasaan. Orang-orang yang menginginkan adanya perubahan, tetapi tidak memiliki kekuasaan untuk itu.
Kepada kawan tersebut, aku tantang untuk melakukan gerakan “pembaharuan” dalam tubuh organisasi pembaharu yang mulai stagnan tersebut. Caranya, rangkul semua kekuatan “progressif”, orang-orang yang masih memiliki pikiran jernih dalam satu barisan. Ajak mereka secara persuasif. Aku kasih kepada kawanku salinan SK PP Muhammadiyah No 61/2008 tentang sikap Muhammadiyah terhadap Pilkada serta SK No 149/2006 tentang konsolidasi aset-aset Muhammadiyah agar terhindar dari politisasi. Kuberikan juga buku Muhammadiyah “Digugat”, agar menjadi referensi dalam penyadaran beberapa aktifis yang sudah mulai kehilangan akal sehat karena godaan kekuasaan.
Gerakannya memang tidak perlu radikal. Yang paling penting adalah membangun kesadaran kembali para aktifis akan kewajiban dan tugas mereka dalam persyarikatan. Bila saatnya nanti, maka tiba saatnya untuk mengambil alih organisasi dan mengembalikan organisasi kepada khittah-nya semula, sebagai gerakan dakwah amar ma’ruf nahi munkar, mewujudkan masyarakat utama adil dan makmur yang diridhai oleh Allah SWT (sesuai dengan AD/ART Muahammadiyah).
Bila saja Kiai Ahmad Dahlan masih hidup, beliau tentu akan sedih melihat Muhammadiyah yang mulai dijadikan alat menuju kekuasaan, bukan alat untuk Fastabiqul Khairat. Masih relevan wasiat Kiai sebelum wafat: Hidup-hidupilah Muhammadiyah, jangan mencari hidup di Muhammadiyah. Bila mencari hidup di Muhammadiyah saja sudah menjadi pantangan, apalagi bila mencari kekuasaan di Muhammadiyah.
Tetapi, bukankah dengan demikian kita menjadi lebih kritis dan berpikir, Quo Vadis Muhammadiyah?

Tidak ada komentar: