Kamis, 12 Juni 2008

Siapa yang merusak citra Islam?

Kalau kita padankan kata citra dengan image, dalam kamus Inggris image berarti the way that people consider someone or something to be. Atau dengan kata lain citra adalah cara orang untuk melihat sesorang atau sesuatu itu seperti apa. Dan cara pandang itulah yang akhirnya mendefinisikan seseorang atau sesuatu itu seperti apa (to be). Pada akhirnya, pencitraan itu sangat dipengaruhi oleh cara seseorang atau sesuatu tersebut menampilkan dirinya. Disini, ada dua moda bagaimana sebuah bentuk eksistensi itu dipahami. Yang pertama adalah bagaimana sebuah eksistensi menampilkan dirinya. Dan yang kedua adalah bagaimana yang lain (the other/liyan) melihat dan memahami eksistensi tersebut. Dengan demikian, citra belum tentu sama dengan bentuk yang sebenarnya (das ding an sich). Terlihat bahwa ada kesenjangan antara pengetahuan sejati dengan presepsi indrawi (yang kadang-kadang dicitrakan sebagai kebenaran sejati)
Islam, sebagai salah satu bentuk eksistensi (atau bagian dari sistem tanda dalam strukturalisme de Saussure), juga terikat dalam ruang dan waktu, yang pada akhirnya menyediakan dirinya sebagai medan perebutan makna. Disinilah kemudian muncul konflik dalam menafsirkan sistem tanda (simbol) untuk melahirkan apa yang dinamakan hegemoni pengetahuan (meminjam istilah Antonio Gramschi). Islam, yang diklaim bersumber dari kebenaran wahyu, dalam penafsirannya tidak pernah tunggal. Tafsir tunggal hanya terjadi pada zaman Rasulullah Muhammad SAW. Kembali, teks-teks suci menjadi medan perebutan makna. Apakah kemudian mau ditafsirkan secara politis, sosiologis, antropologis, filosofis-hermeneutis, tentu saja sangat bergantung kepada penafsir dan kepentingan serta latar belakangnya (sosial budaya dan politik/lokalitas). Dalam prosesnya tidak jarang muncul ketegangan-ketegangan. Pencatutan ayat suci Al-Quran dalamkampanye serta kecenderungan-kecenderungan penggunaan ayat suci untuk legitimasi perbuatan adalah salah satu kecenderungan itu.
Kalau kita yakini, Islam adalah rahmatan lil ‘alamin, rahmat bagi seluruh semesta alam. Tuhan (Tauhid), sebagai pusat dari sistem keyakinan ini digambarkan Maha Segala-galanya, tetapi yang sangat dominan adalah Maha Pengasih dan Penyayang. Kasih Sayang-Nya melampaui kemurkaan-Nya. Sifat yang sangat feminin tentunya. Sifat Tuhan yang demikian agung dan transenden tersebut beremanasi dalam ajaran-ajaranNya yang antroposentris (untuk siapa Al-Qur’an diturunkan? Untuk Tuhan?). Bahwa kemudian perbuatan manusia akan selalu kembali kepada manusia sendiri, itulah dictum pokoknya. Untung rugi yang digambarkan dalam terminologi pahala-dosa sebenarnya juga akan kembali kepada manusia, bukan untuk Tuhan. Tanpa disembah-pun, Tuhan tidak kehilangan ke-Maha Besar-anNya. Manusia berbuat dosa dan kerusakan-pun Tuhan tidak kehilangan Kekuasaan-Nya. Dan bukankah Al-Qur’an hanya sebagai Al-Furqan (pembeda) dan Adz-Dzikr/pengingat (ingat,,pengingat,,itu berarti bahwa manusia sudah memiliki pengetahuan a priori tentang baik dan buruk). Dan tidak ada paksaan dalam beragama (Laa Ikraha fi ad-dien). Dan tidaklah diutus Rasul Muhammad kecuali hanya sekadar menyampaikan dan mengingatkan. Maka tindakan kekerasan atas nama agama, apalagi atas nama Tuhan, tidak pernah dibenarkan. Tuhan tidak perlu dibela, demikian kata Gus Dur
Islam adalah rahmatan lil ‘alamin. Maka Islam memerintahkan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Maka Islam memerintahkan beramal sholeh (setiap kata dalam al-Quran setelah beriman selalu diikuti amal sholeh/’amanu billahi wa ‘amalan shalihan). Apakah amal sholeh itu, yaitu semua perbuatan yang menurut Al-Quran dan nurani adalah baik, seperti birrul walidain (berbakti pada orang tua), menyantuni anak yatim, zakat untuk mustahiq, bekerja dan berjihad, berkurban, serta masih banyak jenis perbuatan lain yang tidak dijelaskan eksplisit asalkan diniatkan karena Allah semata maka menjadi amal sholeh.
Lalu bagaimana bila seseorang berbuat dosa/maksiat? Yang pertama, biarlah itu menjadi urusan Tuhan dengan si pembuat dosa, Biar Tuhan yang memperhitungkan kelak di yaumul hisab. Yang kedua, dalam konteks hidup bermasyarakat dan bernegara, biarlah negara (yang diwakili pemerintah) mengambil tindakan terhadap pembuat dosa tersebut. Apa kategori dosa dalam konteks ini? Yaitu perbuatan yang memiliki potensi merusak keutuhan dan keharmonisan masyarakat, yang diatur dalam Undang-undang. Jadi sudah ada aturannya, termasuk siapa yang berwenang menindak pelanggaran UU tersebut. Persoalan apakah kemudian aparat yang berwenang berat sebalah atau tidak tegas harus dipisahkan dari kaidah/prinsip kita bernegara dan berbangsa.
Dalam ber- ‘amar ma’ruf nahi munkar juga ada prinsipnya. Bila kita punya kekuasaan (yang diatur dan didelegasikan oleh UU), maka kita berkewajiban. Bila tidak mampu, dengan lisan. Dan bila masih tidak mampu, maka dengan doa dalam hati (selemah-lemah iman). Dan bermusyawarahlah kalian dalam segala urusan, demikian sabda Nabi. Jadi, menurutku, kekerasan bukanlah watak asli Islam. Kekerasan hanya diijinkan apabila rumah/tanah air/wilayah kita diserang oleh musuh dan kita terusir. Wala taqtulun nafsa al-lati harrama Allahu illa bi al-haq, jangan membunuh manusia tanpa hak (hak mematikan hanya milik Allah). Kekerasan/perang, kata Gus Dur lagi, hanya diijinkan apabila umat Islam dalam kondisi terusir (dari wilayahnya/baldat bukan daulat) dan tidak dapat melaksanakan kewajiban agamanya. Kekerasan/perang hanya diwajibkan untuk membela diri dan kemanusiaan. Jadi Islam memang mengenal kekerasan, tapi tidak sama dan identik dengan kekerasan. Demikianlah Islam yang kupahami (kucitrakan) sebagai Islam rahmatan lil ’alamin.
FPI sebagai bagian dari kelompok (ummah) Islam menggunakan pendekatan kekerasan dalam gerakan ‘amar ma’ruf nahi munkar. Pendekatan inilah yang saya kira merusak ajaran Islam sebagai rahamatan lil ‘alamin. Ajaran luhur Islam ditampilkan dengan wajah yang sangar, sadis, dan kejam, tanpa mengindahkan tata aturan yang berlaku di negara. Maka yang tampak oleh orang awam, atau katakanlah yang belum mengetahui ajaran Islam sebenarnya, melihat dan menyimpulkan ajaran Islam adalah ajaran yang sarat dengan kekerasan, dan melakukan pendekatan kekerasan dalam penyelesaian masalah. Bagi orang yang sudah memahami ajaran Islam, tentu akan kecewa karena citra agamanya dirusak sedemikian rupa.
Ahamdiyah, yang saya tahu juga tidak tunggal. Dua kelompok besar yang saya ketahui, yaitu Ahmadiyah Qadiyan dan Ahmadiyah Lahore memiliki pendapat berbeda tentang kenabian. Bila kemudian benar bahwa sesudah Nabi Muhammad ada Nabi lagi (yaitu Mirza Ghulam Ahmad), maka jelas bahwa dalam dirinya sendiri Ahmadiyah sudah keluar dari kelompok Islam yang bertauhid La Ilaha illa Allah, Muhammad ar Rasulullah. Bagaimana penyelesaiannya? Yang pertama, biarkan umat Islam sendiri yang menyelesaikan melalui “institusi” yang ada (perlu dicatat bahwa umat Islam tidak mengenal lembaga/institusi keagamaan otoritatif semisal ke-Paus-an seperti dalam Katholik Roma). “Institusi” tersebut, yaitu menurut saya adalah edukasi/pendidikan pada masyarakat melalui pemahaman yang benar tentang Islam. Disini, peran ulama/kyai sangat penting. Yang kedua adalah melalui proses hukum dengan delik penodaan agama. Dengan penempelan embel-embel Islam pada Ahmadiyah, kelompok (ummat) Islam yang merasa tersakiti dengan hal tersebut, dapat mengajukan gugatan atau tuntutan kepada pengadilan, apabila mau persoalan ini dibawa ke ranah pidana penistaan agama. Disini, pemerintah dan kepolisian harus bertindak cepat dengan merespon tuntutan tersebut agar tidak mengarah kepada tindakan anarkis. Menurut seorang kawan yang kebetulan sarjana hukum, peristiwa kekerasan ini terjadi karena pemerintah dan kepolisian lambat dalam merespon kegelisahan masyarakat. Katanya lagi, tidak diperlukan prosedur tertentu untuk delik penodaan/penistaan agama sebagaimana kita mau mendaftarkan gugatan perkara ke pengadilan.
Tetapi di sisi lain, dalam gerakannya Ahmadiyah justru menggunakan pendekatan nonkekerasan. Mereka banyak terlibat dalam gerakan sosial, ekonomi, dan pendidikan. PIRI (Persatuan Islam Republik Indonesia) telah memiliki banyak sekolah mulai dari SD sampai SMA, bahkan memiliki beberapa pendidikan tinggi untuk ikut dalam upaya mencerdaskan kehidupan bangsa. Mereka juga terlibat aktif dalam upaya pemberdayaan ekonomi masyarakat. Di Bogor, aktifitas bersama warga setempat dengan aktifis Ahmadiyah justru menunjukkan sebuah hubungan yang harmonis, yang membuktikan bahwa perbedaan “ideologi” bukan penghalang dalam hidup bersosial. Meskipun, menurut saya pribadi, mereka telah keluar dari Islam, tetapi justru dalam aktifitas sehari-hari mampu menampilkan citra diri sebagai rahmatan lil ‘alamin.
Wallahu a’lam bi ash-shawab

Tidak ada komentar: