Selasa, 25 November 2008

Purwokerto, Sebuah Panggilan

Sebuah undangan singkat itu akhirnya membawa kami ke Purwokerto. Sebuah undangan dari kelompok petani yang mengharapkan “bantuan” kami untuk pembuatan biodigester. Ternyata website www.kamase.org sangat efektif untuk membangun komunikasi dengan masyarakat, meski tidak semua masyarakat familiar dengan teknologi internet. Dengan semangat 45, kami datang memenuhi undangan itu, meski belum pernah menginjak tanah Banyumas. Awalnya kami memutuskan ke Purwokerto tanggal 15 – 16 November, tapi karena permintaan yang mendesak, maka kami putuskan untuk memenuhi undangan tanggal 1 – 2 November. Dan berangkatlah kami berdua ke Purwokerto demi sebuah panggilan masyarakat.
Awalnya kami tidak begitu yakin bahwa kami akan bisa memenuhi undangan. Bagaimana tidak? belum apa-apa kita sudah ketinggalan bus yang akan membawa kita ke Purwokerto. Jadinya kita mutusin naik bis ekonomi ke Purwokerto, apapun resikonya, berapapun biaya (waktu)nya. Belum-belum kita udah bayangin betapa stressnya naik bis ekonomi, bukan karena ketidaknyamanan, tapi karena bayangan akan berapa banyak waktu yang kita buang sia-sia karena bis-nya ngetem sana-sini. Sesuai dugaan, bis-nya ngetem di Tasikmalaya sejam, di Banjar setengah jam, di mana lagi aku sampai lupa. Berangkat jam 10 pagi dari Cicaheum, nyampai terminal Purwokerto jam 17.30 sore.
Memang, selama perjalanan kami dihibur dengan pemandangan yang sangat indah. Jalan yang berkelak-kelok, di kiri jalan bukit kokoh menjulang tinggi, kanan jalan lembah dan ngarai yang dalam. Kadang-kadang terlihat hamparan sawah terrasering yang luas, kadang terlihat sungai yang berkelak-kelok. Kadang juga terlihat hutan. Ditambah dengan hujan yang turun seharian, membuat suasana semakin menarik. Kompensasi pemandangan indah menjadikan waktu tempuh menjadi tidak berarti.
Di terminal Purwokerto, kami dijemput ma dua mahasiswa. Satu dari UMP (Universitas Muhammadiyah Purwokerto), dan satunya dari Unsoed (Universitas Jenderal Soedirman). Sesuai dugaanku, mereka aktifis salah satu elemen ekstra kampus. Mereka udah lama kenal dengan pengurus paguyuban petani yang ngundang kami di sana, karena organisasi mereka memiliki kegiatan pemberdayaan masyarakat di sana melalui kegiatan edukasi. Memang seharusnya demikianlah mahasiswa, belajar mengasah kepekaan sosial dan meresponnya untuk mempercepat transformasi sosial, terutama di pedesaan yang transformasi sosialnya lambat.
Berapa lama menuju lokasi? di jalan aku nanya gitu. Kira-kira setengah jam lagi. Ah, syukurlah kalau gitu. Jadi kami bisa segera istirahat. Hari sudah mulai gelap saat kami di jalan. Jalan masih basah setelah siangnya diguyur hujan. Jalan mulai menanjak naik, suara mesin motor menderu seperti merasa berat membawa kami berdua naik. Jalanan benar-benar gelap, kabut mulai turun, jarak pandang terbatas, hanya 3 meter ke depan. Kita benar-benar tidak bisa melihat kiri kanan, yang tampak hanya kegelapan semua. Kondisi ini benar-benar membuat kami musti ekstra waspada. Di tengah jalan, tiba-tiba motor terhenti, karena ternyata kita terjebak tanah longsor. Terpaksa kami nuntun motor sampai keluar dari jebakan longsor, baru melanjutkan perjalanan kembali. Untung kondisi jalan udah mulus. Aku ga bisa bayangin kalau seandainya kondisi jalan rusak parah seperti di daerah Panggang – Gunungkidul. Kami sampai di lokasi setelah menempuh perjalanan selama 1 jam, dengan kondisi seperti itu. Dingin banget.
Ternyata, desa yang kami datangi adalah desa terakhir dan terletak di kaki gunung Slamet di ketinggian 900 m dpl. Desa tersebut berbatasan langsung dengan hutan di sebelah utara. Jumlah penduduk sekitar 200 KK, dan 98% adalah petani dengan tingkat pendidikan yang rendah (rata-rata cuman sampai SD). Sebagian besar pemuda pergi ke Jakarta atau kota-kota besar lainnya mengadu nasib, sementara pemudi dan kaum wanitanya banyak yang menjadi TKI/TKW. Ngga’ heran, meski tingkat pendapatan rendah tapi rumah para petani keliatan bagus dari luar.
Masyarakat masih banyak bergantung pada alam. Sebelum listrik dari PLN masuk, mereka memanfaatkan air sungai untuk membangkitkan listrik. Air melimpah, kayu bakar tinggal mengambil dari hutan. Alam memberikan keberlimpahan, dan mereka memperlakukan alam sebagai bagian dari diri mereka sendiri. Di daerah terpencil ini, ternyata masih ada orang yang peduli terhadap nasib para petani dan warga sana. Selain mahasiswa, para petani di sana dibina oleh seorang alumni Komunikasi UGM angkatan 1993. Komitmennya terhadap pemberdayaan masyarakat di sana sangat tinggi. Malam itu kami bicara panjang lebar tentang pemberdayaan dan penguatan masyarakat sipil, terutama peningkatan kualitas hiudp petani.
Pagi harinya, kami ketemu ketua paguyuban petani di sana. Kami bicara tentang keinginan dan kebutuhan petani disana, danmereka secara terbuka minta bantuan para mahasiswa (kami datang ke sana atas nama mahasiswa, Kamase/Komunitas Mahasiswa Sentra Energi) untuk ikut memikirkan bagaimana mereka bisa mandiri di bidang energi. Ini bukan yang pertama. Sebelumnya mereka udah pernah minta bantuan kepada pemerintah dan lembaga pemerintah lainnya, tapi hasilnya nol. Hanya, sering mereka didatangi oleh banyak lembaga untuk survey (sampe mereka lupa lembaga apa aja yang pernah datang ke sana), tetapi rakyat dan petani di sana ga pernah tahu untuk apa survey itu dan apa tindak lanjutnya. They got nothing, kecuali janji-janji. Dan mereka kayaknya udah jenuh dan bosen.

Setelah ngobrol ma ketua paguyuban, kita melakukan site visit, dimana kita akan membangun instalasi biodigester. Lokasinya lumayan jauh dari permukiman, kira-kira 200 - 250 m, terlrtak di tengah sawah dengan ketinggian lebih tinggi dari tanah sekitarnya. Tentu saja ini akan jadi tantangan tersendiri bagi kami untuk membuat desain yang efektif dan efisien.
Kami menyanggupi untuk membantu warga di sana. Kami akan menyediakan system dan desain engineeringnya, tetapi untuk masalah implementasi dan pelaksanaanya kami serahkan kepada warga. Inilah pendekatan emansipatif yang sebenarnya, sebuah pendekatan yang mestinya dilakukan dalam proses pembangunan. Selain itu, kami siap mendampingi sampai operasional sistem tersebut, dan kami juga berencana menjadikan desa tersebut menjadi pilot project “Desa Mandiri Energi”. Kami juga akan terlibat secara aktif dalam penyiapan masyarakat (social engineering).
Semoga ini akan menjadi pembelajaran yang sangat bagus bagi mahasiswa, terutama anggota Kamase, agar memahami kebutuhan riil masyarakat, melatih kepekaan mahasiswa (bisa merasa, bukan hanya merasa bisa), dan mau bergulat dengan permasalahan warga, dan yang lebih penting adalah melatih untuk berpikir integratif dan holistis, dengan berbagai sudut pandang, untuk mencapai kearifan puncak sebagai intelektual muda.
Sebelum kembali ke Bandung, aku nyempetin main ke instalasi kincir air pembangkit listrik yang sudah tidak dipakai lagi. Sungguh sangat disayangkan, sebenarnya apabila sistemnya diperbaiki, potensi ini dapat digunakan untuk menggerakkan unit ekonomi kecil dan menengah warga disana, yang aku lihat terdapat penggilingan padi dan usaha koperasi. Setelah itu, kami jalan-jalan menikmati segarnya udara pedesaan dan indahnya pemandangan pegunungan. Ah,,,segernya... Ah, indahnya… Seandainya tiap hari bisa seperti ini.
Matahari semakin tinggi, saatnya kembali ke Bandung. Selama perjalanan ke terminal Purwokerto, kami dapati kenyataan bahwa ternyata jalanan yang kita lewati semalam, yang gelap gulita, ternyata kiri kanan jalan tersebut adalah jurang yang lumayan dalam. Ngeri juga kalau bayangin semalem motor slip kemudian jatuh ke jurang.
Selamat tinggal, Purwokerto. "We shall return", demikian kata Douglas McArthur

1 komentar:

Yenni Nurhidayanto mengatakan...

Riel...keren banget tuh kincir airnya...he he jadi kepengen maen sana