Jumat, 28 November 2008

Makam Sunan Bayat

Gerbang candi bentar menuju Makam
Wali songo adalah sebuah lembaga agama yang menjadi penopang utama kerajaan Demak Bintoro. Anggota dewan tersebut ada sembilan (songo) orang, dan dalam periode tertentu, salah satu anggotanya adalah Sunan Bayat.

Makam Sunan Bayat ada di kecamatan Bayat, kab. Klaten. Makamnya terletak di atas bukit. Kompleks makam Tembayat ini sendiri dibangun sejak tahun 1526 (sengkala: murti sarira jleging ratu) dengan nuansa Hindu yang sangat kental. Jadi lebih tua dari makam Imogiri. Desain kompleks makam ini mengikuti pandangan kosmologis masyarakat Jawa. Begitu masuk, sudah disamput gapura Segara Muncar yang berbentuk candi bentar. Gapura ini sekarang sudah menyatu dengan kompleks permukiman warga dan berdiri di sudut lapangan balai desa.

Agak naik ke atas, kita akan bertemu gapura Dhuda, juga berupa candi bentar. Berturut-turut akan menemui gapura Pangrantunan (kayak nama daerah di buku Nagasasra dan Sabuk Inten) berbentuk paduraksa tanpa pintu, gapura Panemut yang berbentuk candi bentar, gapura Pamuncar seperti gapura Panemut, dan gapura Bale Kencur yang berbentuk paduraksa yang berdaun pintu. Aku belum tahu kenapa gapura-gapura tersebut dinamai demikian. Tapi yang jelas, bentuk arsitekturnya Hindu banget.


Setelah gapura terakhir, kita akan menemui masjid usianya setua usia kompleks makam ini. Ukurannya kecil, bahkan untuk masuk masjid harus menundukkan kepala. Arsitektur majsid jawa dengan 4 soko guru. Bahan kayu yang dipakai untuk sokoguru, pintu, dan jendela masih asli. Bedung yang sudah termakan usia juga masih ada, ditaruh di luar. Setelah gapura Bale Kencur, kita memasuki makam keluarga dan pengikut sunan Bayat. Di kompleks makam ini terdapat dua padasan yang berusia ratusan tahun, yang bernama Kyai Naga. Disebut Kyai Naga karena tempat keluarnya air dari padasan berbentuk kepala naga. Naik lagi ke atas, kita akan sampai pada puncak kosmos pemakaman itu, yaitu makam sunan Bayat. Makam tersebut terletak di dalam sebuah bangunan yang luas dan tertutup (lihat foto bawah), dengan tembok yang tebal. Di dalam ruangan, makam tersebut juga ditutupi oleh bangunan dari kayu, dengan selambu kain warna putih. Sayang aku dilarang mengambil gambar di dalam. Bahkan kita tidak bisa melihat ke dalam untuk melihat makam tersebut. Di sekitar bangunan tersebut juga terdapat senjata tombak dan payung. Mungkin itu adalah pusaka peninggalan Sunan Bayat. Ada sebuah tulisan yang berhuruf Jawa, sayang tidak ada terjemahannya. Aku tidak bisa membaca itu tulisan apa . Mungkin riwayat hidup Sunan, mungkin bisa apa saja.
Tempat wudhu
Sunan Bayat sendiri hidup semasa Sunan Kalijaga (dan Syekh Siti Jenar). Nama aslinya adalah Ki Ageng Pandanarang. Awalnya beliau adalah seorang pejabat tinggi kerajaan dan memiliki kekayaan yang melimpah. Kemudian beliau memutuskan untuk meninggalkan kehidupan duniawinya, kekayaannya, dan mengabdikan dirinya untuk syia’ar agama. Beliau menjadi murid Sunan Kalijaga, dan oleh Kanjeng Sunan Kalijaga diperintahkan untuk berd’awah di daerah Bayat, Klaten. Disinilah Sunan Bayat berda’wah sampai menutup mata. Saat gonjang-ganjing Syekh Siti Jenar, Sunan Bayat masuk sebagai salah satu anggota dalam dewan Wali Songo (baca Syekh Siti Jenar karya Abdul Munir Mulkhan).

Makam Tembayat juga membuktikan satu hal, bahwasanya Islam “ramah” terhadap budaya lokal/asli. Proses da’wah yang asimiliatif, penuh toleransi, dan tanpa kekerasan budaya, ditunjukkan oleh makam Tembayat ini, seperti juga banyak bukti lain seperti Masjid Menara Kudus. Makam ini memberi pelajaran penting bahwa mengajak kepada kepada kebaikan tidak harus melalui kekerasan, pelajaran akan pentingnya toleransi untuk keharmonisan hidup. Makam ini juga menjadi teladan seorang Sunan Bayat yang rela meninggalkan kehidupan duniawi yang penuh kemewahan demi sebuah panggilan nurani untuk kemanusiaan dan pencerahan
.

Tidak ada komentar: