Jumat, 26 Desember 2008

A Never Ending Love: Jogjakarta

Bicara Jogja tidak pernah ada habisnya. Dengarlah cerita dan pengakuan Katon Bagaskara ketika menciptakan lagu Yogyakarta yang legendaris ini:

Katon diminta Adi membuat lirik. Dalam pikiran Katon, lagu mestinya berbau latin. Itu berarti ia harus membuat setting kota di mana di kota itu terjadi romantika percintaan seseorang yang lama ditinggalkan kekasihnya. Namun, kota tersebut selalu membawa kenangan indah. Romantika lagu sudah jadi, tetapi kotanya belum terpilih. Konsep awal yakni nama kota yang berbau Eropa, membingungkan Katon.

“Saya lalu berpikir, kenapa tidak kota di Indonesia, namun yang bisa membangkitkan romantisme, dan terpikirlah Yogyakarta. Langsung kebayang Malioboro, Tugu, Tamansari, yang tiap sudut menyapaku bersahabat”, kata Katon Bagaskara.

Jogjakarta, akan selalu menjadi kota yang istimewa bagi orang yang pernah tinggal disana. Dan aku akan selalu merindukan Jogjakarta, dengan segala kisahnya.

Tapi maafkan aku Jogja, aku tidak memasukkan namamu dalam daftar yang harus kukunjungi dalam perjalanan panjangku tahun ini. Bukan karena aku tidak merindukanmu, tapi biarkan rasa rindu ini semakin terpendam dan menjadi dalam, sehingga pada waktunya nanti membuncah menjadi sebuah kemesraan yang tak terlupakan.

Dengarkanlah lagu baru Katon yang berjudul Jogja, Never Ending Love

In the sand
I can see my footprints left behind
Parangtritis waves calling in rhyme

For the longest time
life has been a struggle in the past
Now it’s time to free my soul at last

Between waves chasing each other to the shore
The sound of Gamelan enticing even more
This calm I’ve been waiting for

Letting myself fly
I see all these people passing by
bicycles are everywhere I go

Smiles so beautiful
friendly faces greeting me so nice
My heart’s found its home in paradise

Watch that lady
dancing gracefully
She brings to life the legend of Tamansari
How softly and sweetly
tradition’s calling me

Oh please let me stay
time don’t pass away
I treasure your beauty
day to day

Here peace I can find
leave troubles behind
just this city in my mind

A place that’s so real
and yet makes me feel
like being in heaven up above
Pure white like a dove
a passion deep in my heart

A never ending love:
Jogjakarta
Hoo~ woo~

Deep within my heart will never be apart
Javanese romance enchanting like a dance
Oh.. so innocently tradition’s calling me

~-~

Oh please let me stay
time don’t pass away
I treasure your beauty day to day

Here peace I can find
leave troubles behind
just this city in my mind

A place that’s so real
and yet makes me feel
like being in heaven up above
Pure white like a dove
a passion deep in my heart

A never ending love:
Jogjakarta

Kamis, 18 Desember 2008

Bandung Military Tour



Salah satu sudut bangunan milirer
Selalu menyenangkan jalan-jalan. Apalagi kalau jalan-jalan tersebut dapat memberikan banyak pengetahuan baru. Minggu yang lalu, aku mengikuti acara Militour, jalan-jalan mengintip fasilitas militer yang ada di kota Bandung. Memang, Bandung (Priangan), selain dulunya disiapkan sebagai ibukota Negara Hindia Belanda sebagai pengganti Batavia, juga disiapkan sebagai pusat militer pemerintah kolonial. Maka tidak mengherankan bila di Bandung terdapat banyak fasilitas militer.

Di mulai dari Gudang Utara, yang merupakan arsenal militer Hindia Belanda, perjalanan bermuara di Museum Mandala Wangsit, museum perjuangan Kodam III/Siliwangi. Seperti biasa, militer selalu mengklaim dirinyalah sendiri yang menopang kedaulatan dan pejuang sejati kemerdekaan Indonesia. Istilah seperti “tentara berjuang bersama rakyat”, sering mereka keluarkan daripada pernyataan: “rakyat berjuang bersama tentara”. Seolah-olah merekalah komponen utama perjuangan dulu. Tapi sudahlah, bangunan dan fasilitas militer lebih menarik untuk diamati daripada memikirkan hal itu.


Sayangnya, kita tidak bisa masuk ke dalam instalasi dan fasilitas militer, alasannya sih katanya demi menjamin kerahasiaan Negara (hehehe..padahal fasilitas mereka sudah bisa dipotret lewat Google Earth). Jadi kita hanya bisa menikmati arsitektur klasik romantik dari luar aja. Kalau dari sudut sejarahnya sih ga ada yang menarik menurutku. Bukannya nyombong, tapi aku sedikit banyak tahu tentang sejarah militer di Indonesia, mulai dari KNIL, PETA, dan laskar-laskar rakyat sampai TNI sekarang. Cuman mungkin dengan berkunjung ke tempat-tempat itu, aku ngerasa seperti terlibat langsung dengan sejarah militer Indonesia sendiri.


Alat musik Karinding
Yang menarik bagiku adalah karinding yang dimainkan oleh seorang anggota Bandung Heritage. Karinding merupakan alat musik tiup sederhana yang terbuat dari batang bambu, yang ukurannya kecil sekali, panjang sekitar 10 cm, lebar 1 cm, dan ketebalan 1-2 mm. Ketika ditiup oleh satu orang, suaranya emang lirih dan kecil. Tetapi ketika ditiup secara bersamaan oleh eberapa orang, interferensi suara menghasilkan suara yang nyaring. Menurut pengakuan orang itu, frekuensi yang dihasilkan oleh interferensi suara itu dapat mengusir hama di sawah. Alat musik ini dulunya banyak dimainkan oleh urang sunda saat di sawah. Sambil menunggu sawah, mengusir hama, juga bermain musik dengan karinding. Bayangkan “kebudayaan petani” yang bersahaja dan memiliki kohesi sosial yang sangat kuat. Saat individualisme belum mencemari pematang sawah. 

Keberadaan karinding ini sudah sangat langka, untuk tidak mengatakan hampir punah. Dan sudah jarang sekali orang yang bisa memainkannya. Begitulah nasib budaya kita…Tergusur oleh kekuatan besar yang sekarang lagi dominan: KAPITALISME. Saat kita melupakan karinding, bisa jadi dalam beberapa tahun mendatang Malaysia akan meng-klaim bahwa karinding adalah produk budaya mereka. Siapa peduli?...


Yang tersisa dari perjalanan ini adalah pertanyaan-pertanyaan yang terkadang klise tapi jawabannya sulit tersedia. Lantas, peran Dinas Pariwisata dimana? Justru kelompok-kelompok masyarakat seperti Bandung Heritage inilah yang memiliki kepedulian nyata terhadap warisan sejarah dan budaya bangsa. Bukankah gila kalau Tommy Winata mau membeli gedung Sabau (bekas gedung Department van Oorlog dan bekas gedung KNIL) untuk dijadikan hotel, dan Pangdam III/Siliwangi mengijinkannya.


Sejarah memang harus ditulis ulang, dengan kajian akademik yang objektif lepas dari kepentingan penguasa. Kenapa? Karena apa yang tertulis dan terpampang di Museum adalah warisan sejarah Orde Baru yang militeristik. Apakah otak dan kesadaran anak cucu kita harus terkontaminasi sejarah yang “bengkok”?

Selasa, 02 Desember 2008

Arti sebuah puncak: Mi'raj menuju kesempurnaan

Apa arti sebuah puncak?
Sebuah puncak adalah sebuah pencapaian akhir dari usaha yang sangat keras
Puncak bukan sebuah akhir dari perjalanan.
puncak adalah sebuah proses.
puncak adalah sebuah perjalanan spiritual
menuju kesempurnaan jiwa dan pikiran

Perjalanan dari mahluk menuju Allah (min al-khuluq ila al-khaliq)
itulah saat kita memantapkan hati, meluruskan niat, membersihkan jiwa, meninggalkan dunia dengan segala hirup pikuknya untuk memenuhi panggilan nurani. Apapun yang terjadi, meski hujan menghadang, puting beliung menerjang, hati yang mantap tidak tergoyahkan membawa kita menuju semesta. Membawa kita berjalan dari alam kemakhlukan menuju alam spiritual.
Perjalanan di dalam Tuhan bersama Tuhan (min al-haq fi al-haq)
saat kita mulai mendaki, itulah saat kita menetapkan sebuah keyakinan. Saat mendaki menuju puncak, terasa sangat berat. Keyakinan telah melahirkan kekuatan untuk terus mencapai puncak. Keyakinan bahwa akan ada sebuah kenikmatan yang tidak terbayangkan saat mencapai puncak. Keyakinan yang mampu membawa kaki-kaki kita melewati setiap tanjakan, tikungan. Setiap langkah kaki kita adalah sebuah keyakinan. Keyakinan itulah hakikatnya. Berjalan dalam keyakinan bersama keyakinan.
Puncak, adalah akhir sebuah perjalanan sekaligus awal perjalanan baru. Puncak adalah hikmah/kearifan (al-hikmah al-muta’alliyah), pencerahan tertinggi (rausyan fikr). Melihat luasnya alam, betapa kerdilnya manusia. Menyadari sepenuhnya kemakhlukan, hamba sahaya sekaligus wakil-Nya di alam semesta ini. Penyatuan dengan Sang Maha Segalanya (liqa ila Allah).
Perjalanan dari Tuhan menuju makhluk bersama Tuhan (min al-haq ila al-khuluq bi al-haq)
Puncak adalah awal dari perjalanan baru. Awal untuk meneruskan perjalanan turun kembali menuju kemakhlukan dan menjalankan tugas kekhalifahan, bersama kearifan puncak dan pencerahan tertinggi. Maka perjalanan turun kembali adalah sebuah perjalanan suci, dengan kesadaran baru.Bersama Tuhan (liqa ila Allah)pula turun ke bumi bersama semua problematikanya.
Perjalanan di dalam makhluk bersama Tuhan (fi al-khuluq bi al-haq)
Adalah saat kembali dalam masyarakat dengan kearifan. Dengan kearifan itu pula menjalankan tugas kemakhlukan sekaligus kekhalifahan. Menciptakan kehidupan yang lebih baik, kebudayaan dan peradaban tinggi, yang dibangun dengan moral dan etika yang luhur. Menghadirkan Tuhan dalam kehidupan sehari-hari.
Itulah makna sebuah puncak bagiku.
mi’raj menuju kesempurnaan spiritual.
bukan hanya untuk diri kita, tapi juga untuk orang lain
untuk rakyat, bangsa, dan negara