Minggu, 06 Juli 2008

Dua hari di Jogja (terakhir)

15 Juni 2008, Jam 07.00 pagi…
Pagi-pagi sekali kami segera meluncur menyusur jalan Solo menuju Klaten. Ya, tujuan selanjutnya adalah Klaten, tepatnya di desa Pucangmiliran Kecamatan Tulung. Disanalah dulu aku KKN, dan disana pula kami melakukan penelitian. Tujuan kesana adalah untuk menyerahkan hasil penelitian kami kepada perangkat desa dan masyarakat disana.
Kalasan, yang ditandai dengan kehadiran candi Kalasan…lewat…Kemegahan candi Prambanan…lewat… disebelah selatan Prambanan, berdiri megah candi Ratu Boko…lewat…hamparan sawah menuju lokasi, dengan udara pagi itu, duh segarnya…Gunung Merapi dan Merbabu berdiri berdampingan seperti sepasang pengantin, duh indahnya…
Sampai disana, langsung menemui perangkat desa dan menyerahkan hasil penelitian tersebut. Harapan kami, semoga penelitian tersebut tidak hanya menjadi tumpukan kertas yang bila disusun/ditumpuk dapat mengantarkan manusia Indonesia ke Bulan. Kami menghubungkan perangkat desa disana dengan Balai Pemberdayaan PU di Jogjakarta, semoga hasil penelitiantersebut dapat ditindaklanjuti.
Bila ada yang kusesali saat ke Klaten, adalah dua hal. Satu, aku tidak bisa mandi di umbul (kolam mata air), tempat favoritku menghabiskan waktu dengan bermain-main disana selama KKN. Dua, ternyata aku tidak punya banyak waktu untuk silaturrahim dan mengunjungi warga disana, untuk sekadar nostalgia mengenang kenangan indah disana, hehe…
Saat pulang menuju Jogja, aku sempatkan untuk mampir menikmati es dawet di daerah Prambanan. Tempat yang selalu kukunjungi saat melakukan perjalanan dari Klaten maupun Solo menuju Jogjakarta. Hanya dengan Rp. 1000 saja, kita dapat menikmati segarnya es dawet, yang dengan segera memuaskan dahaga.
Sampai di Jogja jam 14.00 WIB

18.00…
Saatnya kembali ke Bandung. Ada yang tersisa dari kunjungan ke Jogja kali ini.
Yogya memang sedang berbenah dan tidak mau ketinggalan dari kota-kota besar lainnya. Sayangnya, pola pembangunan yang Jakarta-sentris telah mengabaikan bahkan mengancam identitas Yogyakarta yang telah terpelihara puluhan bahkan ratusan tahun. Ikon sebagai kota budaya dan pendidikan yang disandangnya, dengan kebersahajaan penduduknya dan kohesi sosial yang kuat antarwarga, sedikit demi sedikit terkikis oleh laju pembangunan. Ruang publik sekaligus ruang sosial mulai terasing dari masyarakat akibat gencarnya mall serta bentuk-bentuk kehidupan individualis-materialis, terutama oleh serbuan dari kota besar dengan gaya hidup borjuasinya. Jika dulu orang kaya malu menunjukkan kekayaannya di Yogya (ora ilok, katanya), maka sekarang tidak ada malu lagi. Mahasiswa banyak menyerbu mall daripada menggelar diskusi ilmiah. Kesadaran kaum intelektual (baca: mahasiswa) tercerabut dari akar sosialnya.
Yogya tengah membangun. Jogja sedang gagap. Modernisasi imitasi.
Sedih, lelah yang tak kunjung sirna. Rupanya, kekecewaan dan kesedihan temanku beralasan. Begitu juga aku. Mungkin aku tidak pandai bersajak dan merangkai kata, tetapi Darmanto Jatman mengekspresikannya dengan liris dalam sajak “Yogya tentang modernisasi” (1977).


Daunan menggeliat
Digelitik
Angin yang berbelitan –
San tiga kesangsian itu:
Wah, wah, wah
Tergoyang-goyang antara mimpi dan kenyataan

Mana malaikat yang bernyanyi
Karena dibaptis
Mana kau yang bermasyuk
Karena daging sudah membuat ruh
Berahi
Mana aku yang berbahagia
Karena ruhku menguasai badanku

(Yogya menggigil kedinginan
Menggeliat pelan-pelan serta menggumam:
Sudah tinggikah matahari
pagi ini?)

Atau seorang teman mengungkapkannya secara puitik dalam “Kota Berlarik Cahaya”

Kota-kota tumbuh menuju kesamaan.
Kematangannya diukur dari serakan pencakar-pencakar langit dan
pemenuhan syahwat belanja.
Sepotong kata terlupa: renta.
Sungai-sungai kering.
Udara lebam menyesakkan.
Terlalu banyak mesin di jalanan.
Hutan sisa sepotong nama, ditandai ingatan.
Musim tanpa isyarat.

Sebuah jalur yang dinamakan Malioboro,
yang dulu ditabuh angin beringin,
kini pusat kerumunan yang mulutnya hingga ke bawaht anah alun-alun.
Kota-kota tumbuh saling meniru dan merampas.
Maka orkes hujan segerombol kodok di tegalan
menjadi ketakjuban baru bagi kanak-kanak.
Ketika laut surut dihisap tsunami, mereka
berkecipak riang menangkap ikan menggelepar.
Mereka buta penanda,
sebagaimana orang dewasa.
Rongga di bawah kota ini kini meruapkan gemuruh.
Lindu menyisakan ketakutan,
rumah baru enggan didirikan, lebih baik tidur dalam angin.
Sesekali Merapi menampakkan diri dalam latar tanpa kabut,
seperti senja kemarin, ketika pandanganku menelusur badan kokohnya.
Puncaknya berlapis suspensi merah samar.
Ia mengirim rasa kekesendirian dalam kepungan.

Lalu selarik cahaya putih kemerahan tiba-tiba hadirdi langit,
memanjang dari timur laut ke barat daya.
Orang-orang mencari makna, berusaha keras
membaca alam agar mampu memanggulnya jika berontak.
Kukenakan sebuah mantel tebal ketika mau keluar,
membelah gerimis pertama bulan Juli,
kiriman badai Bilis Filipina.
Apa yang melesat dari perigi imajinasi
ketika memikirkan selarik cahaya di atas kota yang bergemuruh?
Gerimis menggamit kelam.
Aku bersin dan batuk.
Berasa senyap dalam kepungan,berasa Merapi.

(Prameswari, Juli 2006)

2 komentar:

Anonim mengatakan...

Salam kenal..!

Yenni Nurhidayanto mengatakan...

He he...kata Aisya...ditunggu di Jogja lagi ya om:)