Rabu, 02 Juli 2008

Dua hari di Jogja (lanjutan)

11.30…
Wisma PU, Yogyakarta. Aku dulu sempat bekerja selama 1,5 bulan disini sebelum akhirnya dibuang ke Cileunyi, Bandung. Banyak yang berubah, dan tentu saja berubah lebih baik. Semua berkat gempa bumi Yogyakarta. Loh? Iya, bangunannya sempat rusak parah akibat gempa tahun 2006 yang lalu. Aku, bersama beberapa kawan saat itu kemudian mendesain ulang untuk diperbaiki. Tidak kusangka, perbaikannya demikian bagus (maklum, saat proses perbaikan aku sudah “terbuang” ke Bandung).
Ibu Boss masih ada rapat staff. Kutunggu sambil istirahat di dalam kamar sambil mengatur rencana menghabiskan malam di Jogja. Capek, lelah, belum istirahat, belum mandi, setelah 10 jam perjalanan Bandung – Jogjakarta. Selesai mandi, kuseret kawanku untuk menikmati makan siang di warung angkringan. Kebetulan dekat wisma ada angkringan yang masih buka di siang hari. Ah,,,betapa nikmatnya. Aku sangat merindukan nasi kucing ini. Maka kulahap setiap butir nasi kucing dengan kepuasan yang tidak dapat diukur dengan satuan apapun.

14.00 …
Pertemuan dengan bu boss. Agenda ini memang sudah di-arrange sebelumnya. Kuserahkan hasil penelitian tim kami tentang limbah aren di desa Pucangmiliran, Kecamatan Tulung, Kabupaten Klaten. Terjadi pembicaraan empat mata di pendopo wisma yang lumayan seru. Pembicaraan mengalir, seputar kondisi kantor, kegiatan kantor, hambatan dan tantangan ke depan, struktur organisasi dan sumberdaya manusia, serta perlunya perubahan paradigma lembaga penelitian sosial ekonomi. Disini dilihat perlunya kajian sosiologis maupun antropologis yang menyeluruh untuk social mapping dan social engineering yang berkaitan dengan pembangunan infrastruktur ke-PU-an. Apabila paradigma ini diubah, maka lembaga litbang sosial ekonomi dapat menjadi avant garde dalam pembangunan infrastruktur PU.
Pembicaraan yang mengalir membuat kami tak sadar bahwa matahari telah mulai tergelincir sepenggalan ke ufuk barat. Ibu Boss mengajak nonton pertunjukan seni budaya di Ambarukmo Plaza malam ini. Bingung, padahal malam itu aku sudah ada janji dengan kawan-kawan mau menikmati kopi Joss di angkringan Toegoe. Kusampaikan kegelisahanku, eee…dia malah bilang mau ikut. Malah aku dikasih kunci mobil untuk jalan-jalan malam ini. Ya sudahlah,,,berarti malam ini ke angkringan Toegoe rame-rame pakai mobil dinas kantor hehehe…

19.00
Ambarukmo Plaza (Amplaz), pertunjukan seni budaya dalam rangka Visit Indonesia Year. Aku memutuskan jalan kaki dari wisma PU ke Amplaz, karena aku yakin malam itu pasti jalanan macet total. Ya, sejak ada Amplaz, Jl. Adisucipto yang biasanya lengang pada malam hari sekarang penuh dengan hiruk-pikuk manusia pencari kesenangan. Di tengah perjalanan, sebenarnya ada acara yang lebih menarik perhatianku, yaitu perayaan 100 tahun pelukis Affandi. Aneh, karena selama karierku di Jogja, belum pernah aku masuk ke museum Affandi yang ironisnya letaknya ga jauh dari UGM. Sekarang, Jl. Gejayan sudah diubah namanya menjadi Jl. Affandi.
Sampai disana, tidak habis pikir, kenapa acara seni budaya diadakan di sebuah Mall. Mall, memang penuh sesak dengan manusia, tetapi aku lihat mereka acuh tak acuh dengan pentas seni budaya, dan lebih senang berburu barang-barangg konsumsi yang terkadang tidak dibutuhkannya. “Bagaimana Indonesia dikatakan krisis ya, wong pengunjung mall begitu banyak”, komentar seorang kawan. Iya, krisis memang tidak pernah dirasakan oleh mereka yang di mall, tapi krisis ada bagi mereka yang ada di pinggir jalan mengais-ngais rupiah dari belas kasihan, mereka yang terpukul oleh tingginya harga pupuk dan tak mampu bertahan dari gempuran beras impor, mereka yang tersingkir, mereka yang dimiskinkan secara struktural.
Disana, aku malah melihat pekerja seni disana menjadi terasing dengan lingkungan sekitarnya. Jika biasanya acara seni budaya diadakan di gedung societet, benteng Vredeburg, JEC (pernah dulu aku menikmati Festival Kraton Nusantara disana), atau tempat-tempat lain yang akrab dengan kegiatan seni dan budaya. Disana, kupikir para pekerja seni tersebut bisa lebih dihargai daripada di mall. Festival seni budaya berbeda jauh dengan festival konsumsi, kecuali festival budaya pop/mass culture/budaya MTV. Mereka memiliki tempatnya masing-masing.

20.00…
The journey continuous…
Kecewa dengan acara seni budaya di Amplas, kami memutuskan untuk pulang lebih awal dan meneruskan perjalanan untuk menikmati sajian yang legendaris, kopi Joss a la angkringan Toegoe. Sebelumnya sempat tersiar kabar kalau angkringan tersebut digusur oleh Pemkot. Beberapa hari sebelum keberangkatan aku dengar kabar dari seorang kawan kalau angkringan itu tidak jadi digusur. Maka kami memutuskan untuk menikmati malam ini di angkringan Toegoe.
Tempat itu masih bersahaja seperti dulu. Bedanya, sekarang tempat untuk nongkrong lebih luas karena bangunan-bangunan semi permanen di sepanjang trotoar sudah tidak ada lagi. Yang mendatangi bukan lagi kalangan menengah ke bawah, tapi menengah ke atas mulai akrab dengan angkringan ini. Berbeda dengan angkringan lain di Jogja yang saat ini marak dengan layanan hot spot, angkringan toegoe masih mempertahankan “tradisi angkringan” lama. Tetapi justru disinilah kekuatan utamanya, sebagai ruang publik, ruang pertemuan manusia untuk saling berkomunikasi, memperkuat kohesi sosial, dan tidak menutup kemungkinan terjadi pembicaraan bisnis kelas atas, pembicaraan budaya, bahkan pembicaraan revolusi (sebagaimana terjadi pada revolusi Perancis medio 60-an).
Bicara, dengan kata-kata verbal, melibatkan emosi, menjadikan komunikasi lebih memiliki makna yang intensif daripada pembicaraan verbal tanpa emosi seperti dalam dunia maya (sebagaimana angkringan yang menyediakan fasilitas hot spot, yang pengunjungnya sibuk dengan laptopnya masing-masing tanpa peduli dengan lingkungan sekitar).
Kopi Joss, masih khas seperti dulu. kopi campur arang membara, memberi aroma dan rasa yang khas. Enak, nikmat, sedap, harum. Ditambah dengan nasi kucing, sate usus, sate kulit, mendoan bakar. Menjadikan malam itu semakin renyah dengan gelak tawa dan pembicaraan ringan tentang kehidupan. Oh,,,malam yang begitu indah dan ingin rasanya tinggal di Jogjakarta untuk seterusnya. Semakin besar rasa cintaku pada Jogjakarta.
Jika ada yang harus kusesali, adalah aku tidak bisa berlama-lama menikmati kopi Joss dan suasana malam itu di angkringan toegoe, karena harus buru-buru balik ke penginapan.
Ternyata tidak ada yang berubah dari sebuah angkringan

Tidak ada komentar: