Cukup kaget juga ketika ibuku membuat sebuah klasifikasi santri
dan abangan terhadap orang Jawa ketika hendak menikahkan adikku. Salah satu
kriteria penilaian Ibuku ketika menerima menantu saat itu adalah apakah calon
menantunya termasuk Santri atau Abangan? Aku berpikir apakah ibu pernah baca
“Religion of Java”-nya Clifford Geertz sebelumnya?. Sepertinya tidak
pernah. Apakah yang dimaksud Ibu dengan istilah Santri dan Abangan sama
seperti yang didefinisikan oleh Geertz?. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah
kategorisasi itu memang sudah inheren dalam pandangan masyarakat Jawa, atau
justru muncul karena wacana yang dibangun oleh Geertz?. Sebuah kenyataan yang
menyesakkan, adalah bahwa saya memahami itu justru bukan dari orang Jawa
sendiri, tapi dari seorang Geertz. Wong Jawa ra njawani. Seperti
kata Darmanto Jatman, ora njawani itu bisa berarti dua hal: durung
Jawa, atau Jawa kliwat (sudah tidak Jawa lagi/post-Jawa).
Mungkin aku termasuk kategori yang juga dibikin oleh Jatman: Jawa
kliwat bukan, durung Jawa masih.
Woodward mungkin bukanlah orang pertama yang mempelajari tentang
Jawa dan menyuguhkan kepada kita gambaran lain dari masyarakat Jawa. Selain
Geertz, ada History of Java dari Thomas S. Raffles, Ben
Anderson, De Graaf, T.H Pigeaud, Denys Lombard, M. Ricklefs, Zoetmulder, dan
banyak lagi, baik yang mengkaji Jawa secara khusus maupun sebagai bagian dari
objek besar: Indonesia. Di kalangan anak bangsa, ada nama Simuh, Damardjati
Supadjar, Darmanto Jatman, Purwadi (Kang Pur), dan mungkin beberapa orang lain.
Tetapi pengetahuan yang paripurna hanya dapat diperoleh dari pengalaman
sehari-hari (sebagai orang Jawa).
Tesis utama Woodward dalam buku ini adalah bahwa Islam Jawa
(kejawen) juga merupakan Islam yang mengambil bentuknya yang khas Jawa. Tesis
ini dibuktikan dengan penelusuran pada doktrin dan ritual agama Islam (yang
bersumber pada al-Qur’an dan Hadits) serta kajian historis kenapa Islam Jawa
mengambil bentuknya seperti yang saat ini. Dari penelusuran teks-teks Jawa,
seperti babad Tanah Jawa, serat Centhini, serat Cebolek, serat Wirid Hidayat
Jati, dan babad-babad lainnya membawa Woodward pada sebuah kesimpulan bahwa
ajaran-ajaran kejawen sangat dipengaruhi oleh doktrin Sufi dan pandangan kosmis
tentang hubungan antara kemanusiaan dan keilahian. Sinkretisme, seperti yang
dituduhkan oleh Geertz sebenarnya tidak terjadi pada Islam Jawa, tetapi adalah
sebuah proses Islamisasi terhadap unsur-unsur Hindu-Budha serta tradisi
pra-Islam lainnya. Islamisasi ini ditunjukkan dalam beberapa mitologi dan
cerita-cerita dalam babad. Bahkan, desain kraton Yogyakarta merupakan
simbolisasi doktrin Sufi tentang fase kehidupan manusia dan jalan spiritual
yang harus ditempuh oleh Salik. Begitu kuatnya dominasi pemikiran keagamaan
wahdatul wujud/manunggaling kawula gusti dari Muhyidin Ibn Arabi dalam ritual
keagamaan masyarakat Jawa. Pandangan-pandangan Jawa tentang wahyu, kesakten, tapa,
pemujaan terhadap Wali (orang suci), didasari pada doktrin sufi tersebut.
Proses ini bukannya tanpa ketegangan sama sekali. Ketegangan
pertama adalah bagaimana Islam Jawa harus menyelesaikan permasalahan syirik
dalam warisan-warisan kebudayaan pra-Islam. Persoalan bagaimana menemukan dan
memberi landasan teologis atas warisan-warisan pra-Islam, agar keluar dari
keterjebakan syirik (sesuatu yang sangat dimurkai oleh Tuhan). Ketegangan
selanjutnya terjadi ketika Islam Jawa harus berhadapan dengan paham yang
mengedepankan kesalehan normatif (syari’ah sentris), antara wadah dan isi, yang
sering disimbolkan dengan pertentangan antara Walisongo dengan Syekh Siti
Jenar, Belakangan, konflik ini semakin menajam seiring dengan perkembangan
teknologi transportasi dan orientasi kaum santri berpindah dari India Selatan
(dan Persi) ke Mekkah, yang kemudian muncul gerakan puritanisme. Konflik ini
dijelaskan secara simbolik dalam serat Centhini dan Cebolek.
Konsep kerajaan di Jawa, merupakan konsep yang mencoba untuk mendamaikan
dua kecenderungan utama model keagamaan orang Jawa tersebut, dengan mendasarkan
pelaksanaannya pada teori mistik Jawa. Teori mistik Jawa sangat kompleks dan
beragam. Interpretasi esoteric dan eksoterik atas berbagai aspek doktrin Islam,
simbolisme Jawa, dan literature wayang dilakukan dengan memakai prinsip
metafisika yang berasal dari tradisi sufi Asia Tenggara, Asia Selatan, dan
Timur Tengah. Dengan konsep yang mencoba menyeimbangkan antara wadah dan isi,
serta kosmologi Islam (Jawa), maka kesultanan merupakan pusat kosmos dengan
menempatkan Sultan sebagai model mistikus sejati (yang mampu mencapai penyatuan
Ilahi), sekaligus sebagai penjaga syari’at (Kalifatullah Ngabdurrahman
sayyidin Panotogomo). Sultan sebagai isi, dan rakyat kesultanan sebagai
wadah. Sebuah proses yang mungkin bagi kita adalah proses legitimasi kekuasaan
Sultan terhadap rakyat, tetapi ini menghasilkan keseimbangan dalam masyarakat
Jawa.
Buku ini juga secara terinci membahas mitos-mitos seputar Sultan
dan Wali, hubungan kesultanan dengan penguasa Laut Kidul, konflik-konfil yang
muncul antara kesalehan normatif (kaum santri) dengan kebatinan (kejawen),
serta bagaimana sejarah dan ramalan memegang peranan penting dalam pemahaman
keagamaan orang Jawa, serta kesultanan pada khususnya. Kajian ini menggunakan
pendekatan dan sudut pandang yang benar-benar berbeda dari kajian tentang Jawa
sebelumnya, sehingga akan memberikan gambaran lain tentang keagamaan orang
Jawa.
Setidaknya, dengan membaca buku ini, kita jadi memahami kenapa ada
anggapan bahwa orang Jawa tidak akan pernah jadi orang Islam, dan orang Islam
juga tidak bisa menjadi Jawa, sehingga pilihannya hanyalah diametral belaka:
menjadi orang Jawa atau orang Islam. Dan kita juga menjadi mengerti tentang
pandangan santri tentang kejawen, dan menjadi tidak heran ketika kita sejak
kecil sudah dididik secara Islam (baca: kesalehan normatif) daripada secara
Jawa (kebatinan).
Tetapi yang menarik dalam buku ini adalah fakta bahwa sejak dahulu
orang Jawa sudah begitu akrab dengan pemikiran-pemikiran sufistik (teosofis)
Muhyidin Ibnu ‘Arabi (yang bergelar Syaikhul Akbar), terutama melalui magnum
opus-nya, Futuhat Al Makkiyah dan Fushush al Hikam. Dan sepertinya sebagian
besar teori mistik Islam Jawa didasarkan pada pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Lantas, apakah orang Jawa tidak bisa menjadi Islam? Apakah
pribumisasi Islam yang digaungkan Gus Dur akan mengambil bentuk praktik
keagamaan Islam kejawen seperti yang digambarkan oleh Woodward? Tapi yang
pasti, sepertinya ketegangan itu akan terus ada dan mungkin tidak akan
terselesaikan sampai akhir dunia.
Wallahu a'lam bishawab
Nun…walqalami wama yasturun.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar