Tanggal
5 – 10 Juni 2012 yang lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi Pulau Rote
untuk yang kedua kalinya (setelah yang pertama bulan Maret yang lalu). Jika
kunjungan yang pertama tidak sempat melihat dan menelusuri jalanan Pulau Rote,
kunjungan kali ini saya lebih beruntung karena dapat mengamati lebih banyak alam
dan kehidupan di Pulau Rote, meskipun tidak lama.
Informasi
yang saya terima tentang pulau Rote sangat terbatas sebelumnya, kecuali tentang
posisi geografisnya yang merupakan pulau terluar Indonesia di sebelah Selatan.
Tidak ada informasi apapun yang saya peroleh tentang pulau itu, bahkan setelah
aku mengunjunginya untuk pertama kali. Informasi lebih lengkap saya peroleh
dari penduduk setempat, dan terutama dari sekretaris desa Oebafok yang menemani
saya selama 5 hari di sana. Akhirnya sedikit banyak saya tahu tentang bahasa,
budaya, kehidupan sosial, bahkan dinamika politik Pulau Rote pasca-pemekaran
wilayah tahun 2002.
Sejak
tahun 2002, pulau Rote merupakan bagian dari Kabupaten Rote Ndao setelah
sebelumnya hanya berstatus sebagai pembantu bupati (seperti kawedanan kalau di Jawa). Kabupaten ini
terdiri dari lima kecamatan dengan jumlah penduduk kurang lebih hanya 18.000
jiwa saja. Jumlah yang apabila ditaruh di Stadion Utama GBK hanya akan mengisi seperenam
bagian saja. Tak heran, selama perjalanan saya lebih banyak menemui hamparan
tanah kosong dengan permukiman yang sangat jarang tidak seperti di pulau Jawa.
Jika kunjungan pertama saya saat musim hujan terlihat banyak hamparan padi
serta semak belukar yang menghijau, maka kunjungan kedua ini lebih banyak saya
temui hamparan sawah yang kering serta semak belukar yang mengering dan
terlihat tanda-tanda habis dibakar orang.
Akses
ke Pulau Rote sangat terbatas. Meski mulai dibangun bandara perintis, tetapi
jumlah penerbangan sangat terbatas. Transportasi utama adalah melalui laut dari
pelabuhan Tenau di Kupang, bisa dengan kapal feri maupun kapal express. Namun
apabila kondisi laut tidak memungkinkan, kapal laut tidak bisa berlayar.
Seperti yang menimpa saya saat kunjungan pertama di mana gelombang laut saat
itu sangat tinggi. Mau tidak mau, saya harus naik kapal nelayan yang ukurannya
lebih kecil untuk menyeberang ke laut. Pertama kali dalam hidupku, berada
terombang ambing di laut selama sekitar 4 jam dengan tinggi gelombang lebih
dari 3 meter. Maka, bisa dibayangkan kalau gelombang pasang terus-terusan
menerpa laut (selat) pulau Rote, distribusi barang kebutuhan sehari-hari ke
Pulau Rote terganggu, seperti yang saya hadapi pada kunjungan kedua kemarin.
Bensin menghilang dari pasaran, sehingga harganya melambung. Beberapa warga
mengeluhkan beredarnya bensin eceran dengan harga yang melangit.
|
Istana Raja Thie |
Komposisi
etnis di Pulau Rote sangat menarik. Menuruti informasi dari perangkat desa yang
kami temui, di Rote terdapat 10 suku utama dengan hampir 25 anak suku.
Uniknya, meskipun antar- suku (dan anak suku) diakui memiliki hubungan
kekerabatan, tetapi bahasa yang digunakan antar-suku dan anak suku pada umumnya
berbeda-beda. Jadi bisa dibayangkan pulau sekecil itu memiliki banyak suku –anak
suku- dengan bahasa berbeda-beda. Biasanya, suku-suku besar terkelompok dalam
satu kerajaan. Kami cukup beruntung, karena selama kunjungan pertama, saya berkesempatan
tinggal di rumah salah satu raja di Rote (Raja Thie) selama 2 malam. Jangan bayangkan rumah raja di sana seperti
istana raja-raja di Pulau Jawa atau Sumatra. Dulu, antarkerajaan bisa saling menyerang
dan terjadi perang suku. Menurut informasi, perang suku terakhir terjadi tahun
80-an.
Meskipun
pulau terluar Indonesia, pulau Rote boleh dikatakan tidak terbelakang. Mereka
mengklaim sebagai pelaut yang handal. Mereka sangat bangga apabila menceritakan
nelayan-nelayan mereka yang sanggup berlayar sampai Australia hanya dengan
perahu kecil. Masih melihat budaya yang dominan adalah budaya agraris dengan
peran air yang sangat sentral. Tidak heran bila nama desa di sana diberi nama
dengan awalan oe yang berarti air,
seperti misalnya oebafok, oebobo, dsb. Ini bisa dibandingkan dengan daerah di
Jawa Barat yang kebanyakan menggunakan awalan ci yang berarti air, seperti Cileunyi, Cinunuk, Cibubur, dsb. Corak
kerajaan yang ada, upacara adat serta perkawinan yang masih berlangsung, masih
mencerminkan dominannya budaya agraris tersebut. Demikian juga dengan sistem
sosial dan kekerabatan yang dibangun di sana. Mayoritas penduduk memeluk agama
Kristen. Salib banyak terlihat di sepanjang jalan, baik itu pada ornamen,
hiasan pada makam-makam ataupun gereja. Ada kecenderungan untuk menempatkan
makam nenek moyang (leluhur) di depan rumah. Kebiasaan seperti ini dapat
ditemui di tempat lain, seperti misalnya di Pulau Nias. Masyarakat sudah
memegang kepercayaan Kristen, tetapi adat budaya sebagai masyarakat agraris
yang memuja roh nenek moyang tidak ditinggalkan sepenuhnya.
|
Rumah penduduk Pulau Rote dan kebun kelapa dibelakangnya |
Hubungan
kekerabatan antarwarga sangat erat. Dalam satu desa biasanya memiliki hubungan
kekerabatan yang dekat. Terdapat beberapa aturan dalam hal kawin mawin yang
diatur oleh adat, bahkan dalam beberapa suku tertentu dilarang kawin dengan
suku tertentu pula, dan ada suku yang membolehkan kawin dengan semua suku yang
ada di sana (sumber menyebutkan dengan (anak) suku yang paling muda). Peran
masyarakat adat beserta pranatanya sangat penting dan dominan, dan peran
lembaga resmi negara (seperti camat, kepala desa dsb) cenderung agak kurang.
Namun karena pada umumnya orang yang menjadi kepala desa adalah orang yang
berpengaruh di lingkungan adat, maka kadang-kadang permasalahan adat di
selesaikan oleh kantor desa tetapi dengan pendekatan adat.
Saya
tidak banyak mengetahui tentang struktur sosial masyarakat Rote, karena
informasi yang sangat terbatas. Sistem kerajaan sebagai sebuah kesatuan sosial
politik sudah lama menghilang, dan kerajaan yang ada sekarang lebih berfungsi
budaya sebagaimana keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Penyebab hilangnya sistem
tersebut juga tidak banyak informasi. Ada yang bilang sejak masuknya agama
Kristen, ada yang bilang sejak masuknya orang Belanda ke Rote. Sepertinya,
struktur masyarakat hanya dibedakan antara rakyat biasa dan keluarga kerajaan
saja, itupun jangan dibayangkan memiliki hubungan sosial yang rumit sebagaimana
antara raja dan masyarakatnya di kerajaan di Jawa. Terkadang, raja juga
memainkan fungsi-fungsi religius (sebelum masuknya agama Kristen tentunya). Cara
orang Rote bertutur agak unik. Sebagaimana orang Indonesia Timur, nada
bicaranya seperti orang marah, meledak-ledak dengan intonasi yang tinggi dan
frekuensi yang cepat. Kadang kadang agak menakutkan juga dengan diksi yang
dipakai. Untuk mematikan lampu saja, orang Rote harus berteriak: “Kasih bunuh
itu lampu!!!...”.
Modernisme
di pulau Rote mula-mula harus disebutkan ditandai dengan adanya agama Kristen
di sana. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara orang Rote dengan orang
luar, dalam hal ini saya yakini adalah missionaris Belanda atau Portugal.
Karena dominan Kristen (Protestan), saya meyakini adalah Belanda yang masuk ke
sana, meskipun tidak banyak peninggalan-peninggalan Belanda di sana, kecuali
istana (lebih tepatnya rumah) Raja Rote. Yang perlu dicatat, Raja ini tidak
pernah diakui oleh orang Rote, karena dianggap hanya semacam “boneka” Belanda
untuk menguasai Rote. Selanjutnya, kehadiran modernisme ditandai oleh
produk-produk modern seperti motor atau mobil, produk-produk industri lain, alat-alat
komunikasi serta informasi kendati masih serba terbatas. Modernisme dalam arti
lain, seperti sikap, etos kerja (berdasarkan standar Barat yang kapitalistik
materialistik tentunya), masih belum tampak.
Kehidupan
ekonomi masih menampakkan ciri-ciri ekonomi subsisten Produksi ekonomi masyarakat
yang terlihat hanyalah produk pertanian dan peternakan. Dengan pola iklim yang
hanya 4 bulan mengalami musim hujan, serta minimnya sistem irigasi di Rote,
lahan pertanian hanya dapat ditanami sekali dalam setahun. Hasil pertanian
(beras) hanya dipakai sendiri oleh pemilik sawah, tidak untuk dijual. Ketika
musim panen tiba, banyak tumpukan karung beras di dalam rumah. Industri belum
berkembang di sana. Kelapa, lontar tersedia dalam jumlah yang melimpah. Sepanjang
jalan terlihat perkebunan kelapa dan lontar (jawa: Siwalan). Potensi yang
sangat luar biasa tetapi belum terolah dengan baik. Buah kelapa di Rote hanya
dibiarkan jatuh berserakan di jalanan dan pekarangan rumah tanpa diolah lebih
lanjut. Masyarakat hanya menggunakan kelapa untuk kebutuhan sendiri, baik untuk
diambil minyaknya ataupun untuk masak. Bahkan, kelapa tersebut digunakan
sebagai bahan pakan babi. Meskipun demikian, produksi tetap melimpah dan tidak
termanfaatkan. Kelapa/lontar tidak dapat dijual di pulau Rote, karena hampir
semua orang di sana memiliki kebun (kelapa/lontar sendiri. Apabila di jual di
luar Rote masyarakat kesulitan dalam distribusinya, karena mahal. Apabila ada
pengepul yang datang ke Rote, satu biji buah kelapa hanya dihargai Rp. 500,-
sampai Rp. 1000,-.
Potensi
lain adalah ternak. Ternak yang sangat banyak di Rote adalah sapi, kerbau,
kambing/domba, babi, dan kuda. Cara pemeliharaan binatang ternak juga tergolong
unik, yaitu binatag ternak dibiarkan saja berkeliaran di jalanan dan ladang. Pernah dalam satu kesempatan, kendaraan yang
kami naiki harus berhenti selama beberapa saat karena puluhan sapi yang sedang tidur
di tengah jalan, dan bukan perkara mudah mengusir sapi tersebut untuk keluar
dari jalan. Potensi ternak ini didukung oleh panas matahari yang panas
terus-terusan sepanjang tahun sehingga rumput tumbuh cepat dan banyak tersedia
di sana. Kepemilikan ternak (kecuali babi) hanya ditandai oleh stempel pada
binatang tanda lain seperti anting-anting di telinga binatang, kalung, lonceng,
dsb. Babi umumnya dipelihara di kandang dekat rumah dan apabila berkeliaran pun
tidak jauh-jauh dari seputaran rumah, sehingga babi jarang ditandai secara
khusus sebagai bukti kepemilikan. Umumnya setiap keluarga memelihara babi
dengan jumlah yang tidak begitu banyak. Babi, serta ternak lain, memegang peranan
penting dalam sistem budaya masyarakat setempat, baik sebagai mahar perkawinan,
pesta perkawinan dan pesta adat lain
Masih
belum berkembangnya tahap perekonomian di Rote mungkin lebih banyak disebabkan
oleh faktor terbatasnya infrastruktur pendukung ekonomi saja. Meskipun
demikian, ada beberapa faktor penghambat dari dalam diri masyarakat sendiri
yang harus diatasi agar pulau Rote mengalami akselerasi kemajuan, sebagaimana
pernah dibahas oleh Koentjaraningrat. Yang bisa mengatasi hambatan tersebut,
dalam hemat saya, adalah masyarakat itu sendiri dengan trigger dari pemerintah. Keterbukaan masyarakat terhadap sesuatu
hal yang baru dari luar adalah modal berharga untuk menghadapi
perubahan-perubahan yang sedang dan akan terjadi.
Pohon
jarak di pulau Rote tersedia dalam jumlah yang sangat melimpah. Menurut
informasi, pohon jarak tersebut tidak ada yang menanam, tetapi tumbuh dengan
sendirinya. Dalam perjalanan ke Nemberala, pohon jarak tersebut terlihat
terhampar sejauh mata memandang di lahan-lahan kosong. Ini adalah potensi yang
luar biasa untuk energi terbarukan. Tetapi sayangnya masyarakat di Rote belum
mengenal potensi tersebut. Pohon-pohon tersebut sejak dulu hanya dibiarkan saja
dan diperlakukan seperti tanaman belukar lain yang tumbuh ketika musim hujan
berakhir. Petugas pemerintah setempat yang mengantar kami berkeliling mengaku
tidak mengetahui bahwa ada potensi besar tersebut dan tidak tahu bagaimana
mengolah pohon jarak.
What Next?
Seorang
pejabat di provinsi NTT pernah bilang: “Ancaman yang sesungguhnya bagi keutuhan
NKRI adalah wilayah perbatasan”. Ucapan ini masuk akal ketika akhir-akhir ini
banyak pemberitaan “pencaplokan” wilayah perbatasan, maupun iming-iming
“kesejahteraan” dari negara lain. Itulah yang hampir terjadi ketika warga pulau
Ndana (perbatasan dengan Australia) hendak disediakan saluran air oleh salah
satu LSM asal Australia. Dan seperti biasa, pemerintah kita bersikap reaksioner
dan akhirnya membangun saluran air sendiri di sana. Daerah perbatasan harus
diberi perhatian oleh pemerintah bila tidak ingin kasus Sipadan dan Ligitan
terulang kembali, serta demi keutuhan negara.
Infrastruktur
dasar seperti pendidikan, kesehatan, jalan, energi/listrik, air bersih perlu
segera disediakan oleh pemerintah. Terlihat sekali di sana bagaimana fasilitas
pendidikan dan kesehatan sangat terbatas. Air bersih juga sangat terbatas,
serta beberapa akses jalan sangat buruk sekali sehingga membatasi mobilitas
penduduk. Pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan kualitas sumberdaya
manusia, sementara jalan akan memacu perkembangan perekonomian.
|
Kampung nelayan yang mayoritas muslim sekaligus pelabuhan alternatif |
Sektor
energi juga perlu perhatian. Sulitnya transportasi ke sana menyebabkan suplai
BBM ke sana kadang-kadang terhambat. Di satu sisi, potensi energi terbarukan
seperti energi matahari dan pohon jarak belum digunakan secara optimal. Memang,
di beberapa tempat yang terpencil masyarakat mendapatkan bantuan panel surya
untuk menyediakan listrik. Tetapi masih banyak tempat lain yang belum terlayani
energi listrik maupun sumber-sumber energi lain, seperti minyak tanah.
Kadangkala,
hati ini seperti teriris ketika membaca dan melihat berita betapa banyak rupiah
digelontorkan untuk mengembangkan (dan memperluas) bandara dan pelabuhan di
Jawa, sementara di wiayah perbatasan dan terpencil lain di Indonesia fasilitas
umum masih sangat terbatas. Indonesia bukan hanya Jawa, bung !!!