Selasa, 07 Januari 2014

Islam Jawa: Kesalehan Normatif vs Kebatinan


Cukup kaget juga ketika ibuku membuat sebuah klasifikasi santri dan abangan terhadap orang Jawa ketika hendak menikahkan adikku. Salah satu kriteria penilaian Ibuku ketika menerima menantu saat itu adalah apakah calon menantunya termasuk Santri atau Abangan? Aku berpikir apakah ibu pernah baca “Religion of Java”-nya Clifford Geertz sebelumnya?. Sepertinya tidak pernah. Apakah yang dimaksud Ibu dengan istilah Santri dan Abangan sama seperti yang didefinisikan oleh Geertz?. Pertanyaan selanjutnya adalah, apakah kategorisasi itu memang sudah inheren dalam pandangan masyarakat Jawa, atau justru muncul karena wacana yang dibangun oleh Geertz?. Sebuah kenyataan yang menyesakkan, adalah bahwa saya memahami itu justru bukan dari orang Jawa sendiri, tapi dari seorang Geertz. Wong Jawa ra njawani. Seperti kata Darmanto Jatman, ora njawani itu bisa berarti dua hal: durung Jawa, atau Jawa kliwat (sudah tidak Jawa lagi/post-Jawa). Mungkin aku termasuk kategori yang juga dibikin oleh Jatman: Jawa kliwat bukan, durung Jawa masih.


Woodward mungkin bukanlah orang pertama yang mempelajari tentang Jawa dan menyuguhkan kepada kita gambaran lain dari masyarakat Jawa. Selain Geertz, ada History of Java dari Thomas S. Raffles, Ben Anderson, De Graaf, T.H Pigeaud, Denys Lombard, M. Ricklefs, Zoetmulder, dan banyak lagi, baik yang mengkaji Jawa secara khusus maupun sebagai bagian dari objek besar: Indonesia. Di kalangan anak bangsa, ada nama Simuh, Damardjati Supadjar, Darmanto Jatman, Purwadi (Kang Pur), dan mungkin beberapa orang lain. Tetapi pengetahuan yang paripurna hanya dapat diperoleh dari pengalaman sehari-hari (sebagai orang Jawa).
Tesis utama Woodward dalam buku ini adalah bahwa Islam Jawa (kejawen) juga merupakan Islam yang mengambil bentuknya yang khas Jawa. Tesis ini dibuktikan dengan penelusuran pada doktrin dan ritual agama Islam (yang bersumber pada al-Qur’an dan Hadits) serta kajian historis kenapa Islam Jawa mengambil bentuknya seperti yang saat ini. Dari penelusuran teks-teks Jawa, seperti babad Tanah Jawa, serat Centhini, serat Cebolek, serat Wirid Hidayat Jati, dan babad-babad lainnya membawa Woodward pada sebuah kesimpulan bahwa ajaran-ajaran kejawen sangat dipengaruhi oleh doktrin Sufi dan pandangan kosmis tentang hubungan antara kemanusiaan dan keilahian. Sinkretisme, seperti yang dituduhkan oleh Geertz sebenarnya tidak terjadi pada Islam Jawa, tetapi adalah sebuah proses Islamisasi terhadap unsur-unsur Hindu-Budha serta tradisi pra-Islam lainnya. Islamisasi ini ditunjukkan dalam beberapa mitologi dan cerita-cerita dalam babad. Bahkan, desain kraton Yogyakarta merupakan simbolisasi doktrin Sufi tentang fase kehidupan manusia dan jalan spiritual yang harus ditempuh oleh Salik. Begitu kuatnya dominasi pemikiran keagamaan wahdatul wujud/manunggaling kawula gusti dari Muhyidin Ibn Arabi dalam ritual keagamaan masyarakat Jawa. Pandangan-pandangan Jawa tentang wahyu, kesakten, tapa, pemujaan terhadap Wali (orang suci), didasari pada doktrin sufi tersebut.
Proses ini bukannya tanpa ketegangan sama sekali. Ketegangan pertama adalah bagaimana Islam Jawa harus menyelesaikan permasalahan syirik dalam warisan-warisan kebudayaan pra-Islam. Persoalan bagaimana menemukan dan memberi landasan teologis atas warisan-warisan pra-Islam, agar keluar dari keterjebakan syirik (sesuatu yang sangat dimurkai oleh Tuhan). Ketegangan selanjutnya terjadi ketika Islam Jawa harus berhadapan dengan paham yang mengedepankan kesalehan normatif (syari’ah sentris), antara wadah dan isi, yang sering disimbolkan dengan pertentangan antara Walisongo dengan Syekh Siti Jenar, Belakangan, konflik ini semakin menajam seiring dengan perkembangan teknologi transportasi dan orientasi kaum santri berpindah dari India Selatan (dan Persi) ke Mekkah, yang kemudian muncul gerakan puritanisme. Konflik ini dijelaskan secara simbolik dalam serat Centhini dan Cebolek.
Konsep kerajaan di Jawa, merupakan konsep yang mencoba untuk mendamaikan dua kecenderungan utama model keagamaan orang Jawa tersebut, dengan mendasarkan pelaksanaannya pada teori mistik Jawa. Teori mistik Jawa sangat kompleks dan beragam. Interpretasi esoteric dan eksoterik atas berbagai aspek doktrin Islam, simbolisme Jawa, dan literature wayang dilakukan dengan memakai prinsip metafisika yang berasal dari tradisi sufi Asia Tenggara, Asia Selatan, dan Timur Tengah. Dengan konsep yang mencoba menyeimbangkan antara wadah dan isi, serta kosmologi Islam (Jawa), maka kesultanan merupakan pusat kosmos dengan menempatkan Sultan sebagai model mistikus sejati (yang mampu mencapai penyatuan Ilahi), sekaligus sebagai penjaga syari’at (Kalifatullah Ngabdurrahman sayyidin Panotogomo). Sultan sebagai isi, dan rakyat kesultanan sebagai wadah. Sebuah proses yang mungkin bagi kita adalah proses legitimasi kekuasaan Sultan terhadap rakyat, tetapi ini menghasilkan keseimbangan dalam masyarakat Jawa.
Buku ini juga secara terinci membahas mitos-mitos seputar Sultan dan Wali, hubungan kesultanan dengan penguasa Laut Kidul, konflik-konfil yang muncul antara kesalehan normatif (kaum santri) dengan kebatinan (kejawen), serta bagaimana sejarah dan ramalan memegang peranan penting dalam pemahaman keagamaan orang Jawa, serta kesultanan pada khususnya. Kajian ini menggunakan pendekatan dan sudut pandang yang benar-benar berbeda dari kajian tentang Jawa sebelumnya, sehingga akan memberikan gambaran lain tentang keagamaan orang Jawa.
Setidaknya, dengan membaca buku ini, kita jadi memahami kenapa ada anggapan bahwa orang Jawa tidak akan pernah jadi orang Islam, dan orang Islam juga tidak bisa menjadi Jawa, sehingga pilihannya hanyalah diametral belaka: menjadi orang Jawa atau orang Islam. Dan kita juga menjadi mengerti tentang pandangan santri tentang kejawen, dan menjadi tidak heran ketika kita sejak kecil sudah dididik secara Islam (baca: kesalehan normatif) daripada secara Jawa (kebatinan).
Tetapi yang menarik dalam buku ini adalah fakta bahwa sejak dahulu orang Jawa sudah begitu akrab dengan pemikiran-pemikiran sufistik (teosofis) Muhyidin Ibnu ‘Arabi (yang bergelar Syaikhul Akbar), terutama melalui magnum opus-nya, Futuhat Al Makkiyah dan Fushush al Hikam. Dan sepertinya sebagian besar teori mistik Islam Jawa didasarkan pada pemikiran Ibnu ‘Arabi.
Lantas, apakah orang Jawa tidak bisa menjadi Islam? Apakah pribumisasi Islam yang digaungkan Gus Dur akan mengambil bentuk praktik keagamaan Islam kejawen seperti yang digambarkan oleh Woodward? Tapi yang pasti, sepertinya ketegangan itu akan terus ada dan mungkin tidak akan terselesaikan sampai akhir dunia.
Wallahu a'lam bishawab
Nun…walqalami wama yasturun.


Catatan dari Pulau Rote

Tanggal 5 – 10 Juni 2012 yang lalu, saya berkesempatan untuk mengunjungi Pulau Rote untuk yang kedua kalinya (setelah yang pertama bulan Maret yang lalu). Jika kunjungan yang pertama tidak sempat melihat dan menelusuri jalanan Pulau Rote, kunjungan kali ini saya lebih beruntung karena dapat mengamati lebih banyak alam dan kehidupan di Pulau Rote, meskipun tidak lama.
Informasi yang saya terima tentang pulau Rote sangat terbatas sebelumnya, kecuali tentang posisi geografisnya yang merupakan pulau terluar Indonesia di sebelah Selatan. Tidak ada informasi apapun yang saya peroleh tentang pulau itu, bahkan setelah aku mengunjunginya untuk pertama kali. Informasi lebih lengkap saya peroleh dari penduduk setempat, dan terutama dari sekretaris desa Oebafok yang menemani saya selama 5 hari di sana. Akhirnya sedikit banyak saya tahu tentang bahasa, budaya, kehidupan sosial, bahkan dinamika politik Pulau Rote pasca-pemekaran wilayah tahun 2002.
Sejak tahun 2002, pulau Rote merupakan bagian dari Kabupaten Rote Ndao setelah sebelumnya hanya berstatus sebagai pembantu bupati (seperti kawedanan kalau di Jawa). Kabupaten ini terdiri dari lima kecamatan dengan jumlah penduduk kurang lebih hanya 18.000 jiwa saja. Jumlah yang apabila ditaruh di Stadion Utama GBK hanya akan mengisi seperenam bagian saja. Tak heran, selama perjalanan saya lebih banyak menemui hamparan tanah kosong dengan permukiman yang sangat jarang tidak seperti di pulau Jawa. Jika kunjungan pertama saya saat musim hujan terlihat banyak hamparan padi serta semak belukar yang menghijau, maka kunjungan kedua ini lebih banyak saya temui hamparan sawah yang kering serta semak belukar yang mengering dan terlihat tanda-tanda habis dibakar orang.
Akses ke Pulau Rote sangat terbatas. Meski mulai dibangun bandara perintis, tetapi jumlah penerbangan sangat terbatas. Transportasi utama adalah melalui laut dari pelabuhan Tenau di Kupang, bisa dengan kapal feri maupun kapal express. Namun apabila kondisi laut tidak memungkinkan, kapal laut tidak bisa berlayar. Seperti yang menimpa saya saat kunjungan pertama di mana gelombang laut saat itu sangat tinggi. Mau tidak mau, saya harus naik kapal nelayan yang ukurannya lebih kecil untuk menyeberang ke laut. Pertama kali dalam hidupku, berada terombang ambing di laut selama sekitar 4 jam dengan tinggi gelombang lebih dari 3 meter. Maka, bisa dibayangkan kalau gelombang pasang terus-terusan menerpa laut (selat) pulau Rote, distribusi barang kebutuhan sehari-hari ke Pulau Rote terganggu, seperti yang saya hadapi pada kunjungan kedua kemarin. Bensin menghilang dari pasaran, sehingga harganya melambung. Beberapa warga mengeluhkan beredarnya bensin eceran dengan harga yang melangit.
Istana Raja Thie
Komposisi etnis di Pulau Rote sangat menarik. Menuruti informasi dari perangkat desa yang kami temui, di Rote terdapat 10 suku utama dengan hampir 25 anak suku. Uniknya, meskipun antar- suku (dan anak suku) diakui memiliki hubungan kekerabatan, tetapi bahasa yang digunakan antar-suku dan anak suku pada umumnya berbeda-beda. Jadi bisa dibayangkan pulau sekecil itu memiliki banyak suku –anak suku- dengan bahasa berbeda-beda. Biasanya, suku-suku besar terkelompok dalam satu kerajaan. Kami cukup beruntung, karena selama kunjungan pertama, saya berkesempatan tinggal di rumah salah satu raja di Rote (Raja Thie) selama 2 malam. Jangan bayangkan rumah raja di sana seperti istana raja-raja di Pulau Jawa atau Sumatra. Dulu, antarkerajaan bisa saling menyerang dan terjadi perang suku. Menurut informasi, perang suku terakhir terjadi tahun 80-an.
Meskipun pulau terluar Indonesia, pulau Rote boleh dikatakan tidak terbelakang. Mereka mengklaim sebagai pelaut yang handal. Mereka sangat bangga apabila menceritakan nelayan-nelayan mereka yang sanggup berlayar sampai Australia hanya dengan perahu kecil. Masih melihat budaya yang dominan adalah budaya agraris dengan peran air yang sangat sentral. Tidak heran bila nama desa di sana diberi nama dengan awalan oe yang berarti air, seperti misalnya oebafok, oebobo, dsb. Ini bisa dibandingkan dengan daerah di Jawa Barat yang kebanyakan menggunakan awalan ci yang berarti air, seperti Cileunyi, Cinunuk, Cibubur, dsb. Corak kerajaan yang ada, upacara adat serta perkawinan yang masih berlangsung, masih mencerminkan dominannya budaya agraris tersebut. Demikian juga dengan sistem sosial dan kekerabatan yang dibangun di sana. Mayoritas penduduk memeluk agama Kristen. Salib banyak terlihat di sepanjang jalan, baik itu pada ornamen, hiasan pada makam-makam ataupun gereja. Ada kecenderungan untuk menempatkan makam nenek moyang (leluhur) di depan rumah. Kebiasaan seperti ini dapat ditemui di tempat lain, seperti misalnya di Pulau Nias. Masyarakat sudah memegang kepercayaan Kristen, tetapi adat budaya sebagai masyarakat agraris yang memuja roh nenek moyang tidak ditinggalkan sepenuhnya.
Rumah penduduk Pulau Rote dan kebun kelapa dibelakangnya

Hubungan kekerabatan antarwarga sangat erat. Dalam satu desa biasanya memiliki hubungan kekerabatan yang dekat. Terdapat beberapa aturan dalam hal kawin mawin yang diatur oleh adat, bahkan dalam beberapa suku tertentu dilarang kawin dengan suku tertentu pula, dan ada suku yang membolehkan kawin dengan semua suku yang ada di sana (sumber menyebutkan dengan (anak) suku yang paling muda). Peran masyarakat adat beserta pranatanya sangat penting dan dominan, dan peran lembaga resmi negara (seperti camat, kepala desa dsb) cenderung agak kurang. Namun karena pada umumnya orang yang menjadi kepala desa adalah orang yang berpengaruh di lingkungan adat, maka kadang-kadang permasalahan adat di selesaikan oleh kantor desa tetapi dengan pendekatan adat.
Saya tidak banyak mengetahui tentang struktur sosial masyarakat Rote, karena informasi yang sangat terbatas. Sistem kerajaan sebagai sebuah kesatuan sosial politik sudah lama menghilang, dan kerajaan yang ada sekarang lebih berfungsi budaya sebagaimana keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Penyebab hilangnya sistem tersebut juga tidak banyak informasi. Ada yang bilang sejak masuknya agama Kristen, ada yang bilang sejak masuknya orang Belanda ke Rote. Sepertinya, struktur masyarakat hanya dibedakan antara rakyat biasa dan keluarga kerajaan saja, itupun jangan dibayangkan memiliki hubungan sosial yang rumit sebagaimana antara raja dan masyarakatnya di kerajaan di Jawa. Terkadang, raja juga memainkan fungsi-fungsi religius (sebelum masuknya agama Kristen tentunya). Cara orang Rote bertutur agak unik. Sebagaimana orang Indonesia Timur, nada bicaranya seperti orang marah, meledak-ledak dengan intonasi yang tinggi dan frekuensi yang cepat. Kadang kadang agak menakutkan juga dengan diksi yang dipakai. Untuk mematikan lampu saja, orang Rote harus berteriak: “Kasih bunuh itu lampu!!!...”.
Modernisme di pulau Rote mula-mula harus disebutkan ditandai dengan adanya agama Kristen di sana. Hal ini menunjukkan adanya interaksi antara orang Rote dengan orang luar, dalam hal ini saya yakini adalah missionaris Belanda atau Portugal. Karena dominan Kristen (Protestan), saya meyakini adalah Belanda yang masuk ke sana, meskipun tidak banyak peninggalan-peninggalan Belanda di sana, kecuali istana (lebih tepatnya rumah) Raja Rote. Yang perlu dicatat, Raja ini tidak pernah diakui oleh orang Rote, karena dianggap hanya semacam “boneka” Belanda untuk menguasai Rote. Selanjutnya, kehadiran modernisme ditandai oleh produk-produk modern seperti motor atau mobil, produk-produk industri lain, alat-alat komunikasi serta informasi kendati masih serba terbatas. Modernisme dalam arti lain, seperti sikap, etos kerja (berdasarkan standar Barat yang kapitalistik materialistik tentunya), masih belum tampak.
Kehidupan ekonomi masih menampakkan ciri-ciri ekonomi subsisten Produksi ekonomi masyarakat yang terlihat hanyalah produk pertanian dan peternakan. Dengan pola iklim yang hanya 4 bulan mengalami musim hujan, serta minimnya sistem irigasi di Rote, lahan pertanian hanya dapat ditanami sekali dalam setahun. Hasil pertanian (beras) hanya dipakai sendiri oleh pemilik sawah, tidak untuk dijual. Ketika musim panen tiba, banyak tumpukan karung beras di dalam rumah. Industri belum berkembang di sana. Kelapa, lontar tersedia dalam jumlah yang melimpah. Sepanjang jalan terlihat perkebunan kelapa dan lontar (jawa: Siwalan). Potensi yang sangat luar biasa tetapi belum terolah dengan baik. Buah kelapa di Rote hanya dibiarkan jatuh berserakan di jalanan dan pekarangan rumah tanpa diolah lebih lanjut. Masyarakat hanya menggunakan kelapa untuk kebutuhan sendiri, baik untuk diambil minyaknya ataupun untuk masak. Bahkan, kelapa tersebut digunakan sebagai bahan pakan babi. Meskipun demikian, produksi tetap melimpah dan tidak termanfaatkan. Kelapa/lontar tidak dapat dijual di pulau Rote, karena hampir semua orang di sana memiliki kebun (kelapa/lontar sendiri. Apabila di jual di luar Rote masyarakat kesulitan dalam distribusinya, karena mahal. Apabila ada pengepul yang datang ke Rote, satu biji buah kelapa hanya dihargai Rp. 500,- sampai Rp. 1000,-.
Potensi lain adalah ternak. Ternak yang sangat banyak di Rote adalah sapi, kerbau, kambing/domba, babi, dan kuda. Cara pemeliharaan binatang ternak juga tergolong unik, yaitu binatag ternak dibiarkan saja berkeliaran di jalanan dan ladang.  Pernah dalam satu kesempatan, kendaraan yang kami naiki harus berhenti selama beberapa saat karena puluhan sapi yang sedang tidur di tengah jalan, dan bukan perkara mudah mengusir sapi tersebut untuk keluar dari jalan. Potensi ternak ini didukung oleh panas matahari yang panas terus-terusan sepanjang tahun sehingga rumput tumbuh cepat dan banyak tersedia di sana. Kepemilikan ternak (kecuali babi) hanya ditandai oleh stempel pada binatang tanda lain seperti anting-anting di telinga binatang, kalung, lonceng, dsb. Babi umumnya dipelihara di kandang dekat rumah dan apabila berkeliaran pun tidak jauh-jauh dari seputaran rumah, sehingga babi jarang ditandai secara khusus sebagai bukti kepemilikan. Umumnya setiap keluarga memelihara babi dengan jumlah yang tidak begitu banyak. Babi, serta ternak lain, memegang peranan penting dalam sistem budaya masyarakat setempat, baik sebagai mahar perkawinan, pesta perkawinan dan pesta adat lain
Masih belum berkembangnya tahap perekonomian di Rote mungkin lebih banyak disebabkan oleh faktor terbatasnya infrastruktur pendukung ekonomi saja. Meskipun demikian, ada beberapa faktor penghambat dari dalam diri masyarakat sendiri yang harus diatasi agar pulau Rote mengalami akselerasi kemajuan, sebagaimana pernah dibahas oleh Koentjaraningrat. Yang bisa mengatasi hambatan tersebut, dalam hemat saya, adalah masyarakat itu sendiri dengan trigger dari pemerintah. Keterbukaan masyarakat terhadap sesuatu hal yang baru dari luar adalah modal berharga untuk menghadapi perubahan-perubahan yang sedang dan akan terjadi.
Pohon jarak di pulau Rote tersedia dalam jumlah yang sangat melimpah. Menurut informasi, pohon jarak tersebut tidak ada yang menanam, tetapi tumbuh dengan sendirinya. Dalam perjalanan ke Nemberala, pohon jarak tersebut terlihat terhampar sejauh mata memandang di lahan-lahan kosong. Ini adalah potensi yang luar biasa untuk energi terbarukan. Tetapi sayangnya masyarakat di Rote belum mengenal potensi tersebut. Pohon-pohon tersebut sejak dulu hanya dibiarkan saja dan diperlakukan seperti tanaman belukar lain yang tumbuh ketika musim hujan berakhir. Petugas pemerintah setempat yang mengantar kami berkeliling mengaku tidak mengetahui bahwa ada potensi besar tersebut dan tidak tahu bagaimana mengolah pohon jarak.
What Next?
Seorang pejabat di provinsi NTT pernah bilang: “Ancaman yang sesungguhnya bagi keutuhan NKRI adalah wilayah perbatasan”. Ucapan ini masuk akal ketika akhir-akhir ini banyak pemberitaan “pencaplokan” wilayah perbatasan, maupun iming-iming “kesejahteraan” dari negara lain. Itulah yang hampir terjadi ketika warga pulau Ndana (perbatasan dengan Australia) hendak disediakan saluran air oleh salah satu LSM asal Australia. Dan seperti biasa, pemerintah kita bersikap reaksioner dan akhirnya membangun saluran air sendiri di sana. Daerah perbatasan harus diberi perhatian oleh pemerintah bila tidak ingin kasus Sipadan dan Ligitan terulang kembali, serta demi keutuhan negara.
Infrastruktur dasar seperti pendidikan, kesehatan, jalan, energi/listrik, air bersih perlu segera disediakan oleh pemerintah. Terlihat sekali di sana bagaimana fasilitas pendidikan dan kesehatan sangat terbatas. Air bersih juga sangat terbatas, serta beberapa akses jalan sangat buruk sekali sehingga membatasi mobilitas penduduk. Pendidikan dan kesehatan akan meningkatkan kualitas sumberdaya manusia, sementara jalan akan memacu perkembangan perekonomian.
Kampung nelayan yang mayoritas muslim sekaligus pelabuhan alternatif

Sektor energi juga perlu perhatian. Sulitnya transportasi ke sana menyebabkan suplai BBM ke sana kadang-kadang terhambat. Di satu sisi, potensi energi terbarukan seperti energi matahari dan pohon jarak belum digunakan secara optimal. Memang, di beberapa tempat yang terpencil masyarakat mendapatkan bantuan panel surya untuk menyediakan listrik. Tetapi masih banyak tempat lain yang belum terlayani energi listrik maupun sumber-sumber energi lain, seperti minyak tanah.
Kadangkala, hati ini seperti teriris ketika membaca dan melihat berita betapa banyak rupiah digelontorkan untuk mengembangkan (dan memperluas) bandara dan pelabuhan di Jawa, sementara di wiayah perbatasan dan terpencil lain di Indonesia fasilitas umum masih sangat terbatas. Indonesia bukan hanya Jawa, bung !!!