Selasa, 03 Maret 2009

Oleh-oleh dari Kampung: Saat banjir datang lagi

Niat awal sih pengen nyenengin keponakan jalan-jalan naik dokar, tapi akhirnya tujuan perjalanan ke lokasi banjir juga. Ternyata, banjir yang menerjang kabupaten Bojonegoro dan diberitakan menerjang hampir seluruh wilyah kabupaten bukan isapan jempol. Menurut berita yang dilansir Kompas (Jum’at 27/02/09), kabupaten Bojonegoro merupakan tempat banjir terparah, dengan menenggelamkan 8.ooo lebih hektar sawah dan 13.000 lebih rumah serta pengungsian besar-besaran. Nah, ternyata air itu telah mencapai tempat yang hanya berjarak 3 km ke arah utara dari rumahku. Dan kesanalah dokar itu membawa rombongan kecil itu, rombongan aku dan keponakan-keponakanku yang berjumlah 7 orang Plus ibu-ibunya keponakanku yang masih kecil, jadinya 10 orang dalam rombongan itu. Sebenarnya aku masih punya dua orang keponakan, tapi karena dah pada gede alias ABG, jadi ga pada ikutan.
Selama perjalanan, kami melewati jalanan yang sudah rusak parah. Hampir separuh badan jalan ada lubang yang menganga, bahkan ada lubang yang selebar 1 m. Mungkin karena banjir jalanan itu jadi kayak gitu, tapi seingatku jalan ke arah Kanor emang dari dulu kondisinya seperti itu, rusak parah. Dan kalau sudah benar-benar parah cuman ditambal aja, kayak seragamnya partai Kay Pang (partai pengemis). Begitu musim hujan, kembali ke keadaan semula. Begitu seterusnya, selalu berulang-ulang selama bertahun-tahun. Tapi aku denger dari ibuku, bahwa ruas jalan di kecamatan Kanor baru aja 2 bulan dibangun jalan baru mulus beraspal, tapi ga tahu nasib jalannya sekarang setelah diterjang banjir.
Selama perjalanan pula, keponakan-keponakanku yang masih kecil (kurang dari 1 tahun) banyak ketawa riang, sambil m
enunjuk-nunjuk pada kuda. Sepertinya mereka sangat menikmati perjalanan itu. Di tengah jalan, seorang tua menyapa dengan melambaikan tangannya pada kami. Orang tua itu kecil tubuhnya, dengan agak bongkok. Aku inget siapa dia. Kakek-kakek itu adalah orang yang dulu saat aku masih duduk di bangku MI atau MTs jualan es lilin di sekolahku. Aku ga tahu dia sekarang kerja apa, tapi yang aku lihat saat itu dia hanya mencari rumput. Aku juga ga tahu untuk apa rumput-rumput itu. Kalo untuk ternak, ternak siapa? Ternak dia sendiri ataukah ternak orang lain? Kayaknya hidup itu makin lama makin sulit bagi dia dan ga jelas kepastiannya.
Di tempat kami ketemu kakek itu pula, aku melihat air sudah menggenangi persawahan dan halaman depan rumah penduduk, dan halaman depan sekolah dasar. Kayaknya sekolah itu diliburkan, karena tidak tampak satupun murid atau aktifitas belajar didalamnya. Bahkan, air sudah merendam jalan kecil, satu-satunya akses bagi warga desa menuju jalan raya terdekat.aku bisa membayangkan betapa repotnya mereka kalau harus ke pasar misalnya. Dimana-mana yang terlihat hanya genangan air. Air..air…saat jumlahnya kecil
dinanti-nanti, saat melimpah malah tidak diharapkan. Mungkin emang kita harus lebih bijak lagi dalam mengelola alam agar kita hanya mendapatkan jumlah yang dibutuhkan, ga lebih dan ga kurang.
Terus ke arah utara, tiba juga rombongan ke desa Simbatan. Kecamatan Kanor. Dari jauh udah tampak palang larangan untuk masuk bagi kendaraan bermotor. Yang masang palang itu adalah warga, untuk sebuah alasan yang kupikir masuk akal. Warga takut bila ada mobil atau kendaraan bermotor masuk, akan terjadi gelombang air yang akan
menghantam perumahan dan permukiman warga. Gelombang ini ditakutkan akan memperparah tingkat kerusakan rumah warga yang sebagian besar masih dari gedhek (anyaman bambu). Kekhawatiran lain adalah gelombang tersebut dapat mempercepat jebolnya tanggul. Tanggul yang menahan luapan air sungai bengawan solo emang masih dibangun dari tumpukan tanah aja. Apabila tergerus air, sedikit demi sedikit akan jebol juga. Akibat banjir aja udah banyak kerusakan yang ditimbulkan, jadi ga usah ditambah lagi lah kerusakannya, mungkin demikian pikir warga.
Saat melihat banjir itu, kami ditawari orang untuk naik perahu kalau mau melihat banjir. Dalam hati aku pikir, hebat juga orang desa ini menangkap peluang dari bencana ya
ng terjadi. Tapi aku menolak, karena beberapa pertimbangan. Yang pertama kayaknya karena hatiku menolaknya. Mana mungkin aku jalan-jalan “berwisata” menikmati kesusahan orang lain sambil jepret sana jepret sini dengan kamera digital yang kubawa. Aku ga mau menyakiti perasaan warga korban banjir. Jadinya, ya kita ngeliat banjir hanya dari jauh aja, dari tempat kereta kuda itu berhenti, dari tempat perbatasan genangan air dengan daratan. Yang kedua, karena aku ingat tragedy yang menimpa keluarga temen MTs-ku. Seluruh anggota keluarganya, bapak, ibu, dan adik-adiknya, tewas seluruhnya (hanya benar-benar menyisakan dia seorang) saat naik perahu ketika terjadi banjir besar beberapa tahun lalu. Bayangan itu bikin aku merinding dan memutuskan untuk tidak naik perahu.
Setelah puas melihat banjir (masya Allah), dan keponakanku main air di tempat bencana, maka kami memutuskan kembali pulang. Di tengah perjalanan pulang,
kusir dokar ketemu koleganya sesama petani. “Piye mbah? Kelem (gimana kek? Tenggelam?) ”, sapa kusir itu. “iyo, blas ra siso (iya, ga ada yang tersisa)”, jawab kakek itu dengan tatapan mata yang kosong dan nanar. Tampak jelas guratan kesedihan itu. Kesedihan ditambah dengan kebingungan. Mungkin yang ada dalam pikiran dia saat itu adalah gimana nglunasi utangnya, sementara panen gagal. Gimana nasib anak istrinya? Gimana ini gimana itu, sepertinya berjibun pertanyaan yang sulit dijawab. Mungkin juga saat itu kakek itu berharap ada keajaiban, ada caleg yang melunasi hutangnya, ga hanya pasang tampang di poster atau baliho dengan janji-janji kosong mau menyejahterakan petani.
Kayaknya emang petani itu lapisan masyarakat atau kelompok sosial yang emang di
kutuk untuk selalu mengulang-ngulang kesialan seumur hidupnya. Sepertinya mereka mewarisi kesialan dari nenek moyangnya sebagai petani. Mulai dari jaman feodalisme (kerajaan-kerajaan tradisional), masa kolonial dan pasca-kolonial, termasuk era orde lama dan orde baru, nasib petani hanya dimain-mainkan dalam pusaran kekuasaan yang saling berebut pengaruh. Penderitaan mereka hanya dieksploitasi untuk mendapatkan simpati demi kursi. Sementara petani, selamanya berkubang dalam lumpur kemiskinan. Kebijakan harga, kebijakan pupuk, kebijakan pasar, ga pernah berpihak pada petani. Entah kapan lingkaran setan penderitaan itu putus.
Akhir perjalanan menyisakan kebahagiaan buat keponakanku, tapi juga menyisakan pertanyaan buatku. Saat aku mau kembali ke Bandung, tersiar kabar bahwa tanggul di Semambung kecamatan kanor, dan di Bayeman jebol, sehingga banjir menjadi semakin tidak terkendali. Jalur transportasi terputus dan dialihkan ke jalur lain, sehingga membuatku hampir ketinggalan bus yang akan membawaku ke Bandung karena susuhnya transportasi menuju kota Bojonegoro. Sebelum pulang, dering telp berbunyi dan dari seberang sana suara Pak De-ku mengabarkan kalau tanggul di Widang – Tuban jebol, sehingga merendam rumahnya dan sedang siap-siap untuk mengungsi. Sabar ya Pak de…